Share

Kebakaran di Panti Asuhan

Sore itu aku berjalan kaki untuk pulang ke panti asuhan temnpatku tinggal. Sepanjang perjalanan itu aku memikirkan Gita. Bagaimana bisa cewek semuda itu meninggal dunia? Aku dan Gita masih berusia delapan belas tahun, sama-sama kelas dua belas SMA dan sedang sibuk menyusun rencana untuk masa depan kami. Sudah tiga tahun ini kami duduk berdampoingan di kelas. Dan sekarang, tiba-tiba seorang dokter asing menyatakan bahwa Gita wafat.

Ketika aku sampai di panti asuhan, teman-temanku sedang makan malam. Kedatanganku membuat mereka semua melihatku yang sedang berdiri di depan pintu masuk.

"Kamu dari mana?" tanya Bu Yati.

Aku berjalan gontai kemudian duduk melepas lelah di kursi rotan tua. "Dari rumah sakit?"

"Siapa yang sakit?" tanya Elis temanku yang duduk di dekat pintu menuju dapur.

"Gita."

"Oooo...Gita." ujar semua anak di ruangan itu. Mereka sudah tidak asing dengan sosok Gita sebab dia sering mengunjungiku.

"Lalu gimana keadaannya sekaramg?" tanya Bu Yati.

"Meninggal. Gita meninggal," jawabku dengan suara serak.

Hening. Seketika itu juga ruangan itu menjadi sunyi.

"Aku mau mandi dulu sebelum makan malam,." ujarku memecah kesunyian.

"Mandilah Setelah itu makan. Kami ada menyisihkan makan malam untukmu di dapur," kata Bu Yati.

Malam itu aku tidur lebiih awal dari biasanya. Lelah dan sedih bercampur jadi satu dalam hatiku. Seakan mengerti kesedihanku, teman-teman di panti asuhan itu memberiarkan aku sendirian di kamar. Hingga aku jatuh tertidur sebelum pukul sembilan mala.

Rasanya aku baru saja terlelap ketika secara tiba-tiba Erni, temanku yang menempati anjang sebelah, menari tanganku sekuat mungkin. Sementara itu di sekitarku terasa panas luar biasa. Di depan pintu kamar, dari ventilasi, terlihat gumpalan asap menerobos masuk.

"Cepat keluar!" kata Erni panik. "Kita lompat sama-sama dari jendela."

Aku belum sepenuhnya sadar dengan situasi di sekitarku. Tapi Erni tidak mau menunggu. Dia menyeretku melintasi deretan tempat tidur yang sudah kosong.

"Ada apa ini?" tanyaku bingung.

"Kebakaran. Panti kita kebakaran," ujar Erni.

Di depan jendela, aku melihat kerumunan warga yang berteriak histeris melihat Erni berdiri di bibir jendela. Tanpa banyak kata, tubuhnya segera melompat ke bawah.

Buk!Terdengar bunyi nyaring ketika tubuh Erni jatuh ke tanah.

Aku sempat takut meniru apa yang Erni lakukan. Tapi rasa takutku lenyap saat aku menoleh ke belekang, terlihat lidah api menerobos masuk ke dalam kamar dan membakar kasur Erni ang posisinya paling dekat dengan pintu. Aku tidak punya akses lain untuk menyelamatkan diri jadi aku meniru apa yang tadi Erni lakukan.

Tubuhku dengan cepat meluncur ke bawah,. Lalu terdengar suara tubuhku sendiri menghantam tanah. Jeritan ketakutan orang-orang terdengar nyaring.

"Luka. Ada yang luka," teriak salah seorang warga. Jari telunjuknya mengarah padaku.

Saat itu aku belum merasa kesakitan.Tapi kemudian aku merasakan perih di sekitar leherku. Aku menyentuh lembut leherku sendiri. Ada darah mengalir di sela jariku. Dan dari bagian kakiku yterdapat luka robek yan cukup besar dengan serpihan potingan kaca sebesar telapak tangan menancapdi betisku.

Melihat lukaku sendiri aku jadi menangis ketakutan. Mati! Aku pasti mati menyusul Gita sebentar lagi.

'Ayo, Dik. Cepat masuk ambulans," kata seorang pria anggota pemadam kebakaran.

'Secepat kilat aku dibawaa ke rumah sakit. Bunyi sirene ambulans meraung-raung memecah kerumunan warga yang menonton kebakaran.

Di rumah sakit kedatanganku disambut oleh dua orang nurse yang siap dengan brankarnya. Aku segera ditangani dan tidak memerlukan rawat inap. Dua jam kemudian aku diantar pulang oleh dua orang anggota kepolisian. Di luar perkiraanku, ternyata kami diungsikan ke salah satu aula di kantor Camat.

****

Keesokan harinya, wartawan TV dan media online berdatangan mendatangi kami. Mereka mewawancarai Bu Yati.

"Kejadiannya cepat sekali," kata Bu Yati yang menjadi pengurus panti asuhan kami. Dengan mata berkaca-kaca dia bercerita di depan reporter TV. Aku berada di belakang kameramen bisa dengan jelas raut kesedihan di wajahnya. "Kami mendengar ledakan. Lalu jeritan kepanikan. Angin membuat api dengan cepat merambat ke bangunan kami. Nyaris tidak ada barang yang tersisa. Bahkan seragam sekolah dan buku-buku habis semua."

Berita panti asuhan yang terbakar habis dengan cepat menyebar dari satu stasiun TV ke stasiun TV lainnya. Bantuan pun berdatangan dari para donatur. Anak-anak panti diungsikan ke aula kantor Camat sambil menunggu Dinas Sosial mencari solusi.

Siangnya Bu Yati datang membawa kabar baik. Dengan sikap kehati-hatian, dia menyusun kalimat untuk kami.

"Kita beruntung, ada banyak donatur yang menyatakan siap menampung kita sambil menunggu Dinas Sosial membangun gedung baru untuk kita. Masalah ini dipantau langsung oleh Meteri Sosial sehingga kita nggak perlu lama terlunta-lunta. Tapi, ada konsekuensinya. Kita nggak bisa tinggal di dalam satu tempat. Kalian akan tinggal dan menyatu bersama keluarga angkat yang sudah terdaftar. Satu anak untuk satu keluargaa," kata Bu Yati.

Aku memeluk lututku mendengar penjelasan itu. Dingin dan hampa menyusup pelan ke dalam hatiku, seperti kabut yang bergulung-gulung. Hari-hariku terasa kosong. Kenyataan bahwa aku mendapat dua musibah dalam hitungan jam membuatku mempertanyakan garis nasibku. Apakah aku dilahirkan sebagai pembawa sial? Seperti yang orang-orang dulu katakan ketika aku masih kecil.

"Marla, kamu yang terakhir pindah," ujar Bu Yati. "Keluargamu adalah donatur lama panti asuhan kita. Namanya Bu Asih."

Bu Asih. Nama itu jelas asing di telingaku. Tapi aku tidak peduli seperti apa sosoknya nanti. Aku sudah mati rasa. Bahkan jika nanti ternyata dia adalah jelmaan Nek Lampir, aku tidak akan protes. Hidupku tidak bisa lebih suram lagi.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status