Share

Kesempatan dari Bu Asih

Jam sepuluh malam, mataku belum sedikit pun mengantuk. Padahal biasanya aku sudah menguap lebar-lebar tidak lama setelah azan Isya terdengar.Tapi kali itu pikiranku terpusat pada Dokter Aldo dan Bu Asih.

Suasana malam itu begitu sunyi. Sejak makan malam berakhir, Bu Asih memilih masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Sementara Dokter Aldo ada di ruang duduk, tenggelam dalam buku yang dibacanya.

Pikiranku benar-benar kacau. Bu Asih menelpon Bu Yati kaoan saja lalu pasti semua akan menuduhku sebagai remaja bermasalah. Padahal yang aku lakukan hanya mengantar Gita ke rumah sakit.

Didorong oleh keinginan bertahan hidup, aku memberanikan diri menemui Dokter Aldo. Awalnya dia tidak menghiraukan kehadiranku. Tapi aku tetap mendekatinya.

"Dokter Aldo," sapaku. "Saya perlu bicara."

Dokter Aldo menutup bukunya. "Ada apa?"

"Saya minta izin untuk tetap tinggal di sini."

Hening. Dia tidak menanggapi ucapanku. Kami hanya saling tatap beberapa detik sampai kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kejadian siang itu," kataku tersendat. "Saya nggak tahu sama sekali tentang kehamilan Gita. Dokter nggak berhak menilai diri saya seperti itu di hadapan Bu Asih."

"Seperti apa?" tanya Dokter Aldo minta kejelasan.

"Mendukung seks bebas," jawabku tegas.

"Dengar ya, temanmu itu bukan pasien pertamaku yang usianya masih belasan tahun. Alasan mereka pun macam-macam. Ada yang merasa reinkarnasi Perawan Suci, ada yang bilang hamil karena berenang. Nah! Sekarang kamu mau membela temanmu dengan alasan apa?"

"Saya percaya dia hamil seperti yang Dokter bilang. Tapi saya sama sekali nggak mendukung kelakuannya. Dia nggak pernah cerita soal kehamilannya."

"Lalu sekarang apa? Kamu mau kami mengambil resiko menampung cewek seperti kamu?"

"Seperti apa? Saya seperti apa?" tantangku.

"Kamu bisa aja menyeludupkan pacarmu ke dalam kamar. Nenekku penglihatannya sudah rabun. Kamu dengan mudah bisa membawa panda ke kamarmu lalu bilang itu karung beras. Nenekku nggak akan melihat perbedaannya."

"Saya nggak punya pacar!" kataku kesal. "Mana ada cowok yang mau jadian dengan cewek seperti saya. Si yatim piatu yang nggak jelas di mana orang tuanya. Lagi pula saya ini kere. Bahkan ponsel pun saya nggak punya. Setiap tahun saya mendapat baju bekas dari donatur dan baju itu seringkali berupa kaus oblong bukan dress ala Korea. Kesempatan saya untuk dapat pacar saat ini adalah nol persen."

"Lalu sekarang mau kamu gimana?"

"Izinkan saya tinggal di sini. Saya nggak tahu harus tinggal di mana lagi. Sebagai balasannya saya akan memasak dan merapikan rumah sehingga Bu Asih nggak perlu lagi langganan katering."

Dokter Aldo menarik napas panjang. "Oke. Kita coba seminggu. Aku akan bicara dengan Nenek."

Aku tersenyum senang.

"Kamu berhutang budi dengan aku, Marla," kata Dokter Aldo.

****

Keesokan paginya.

Bu Asih menatapku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Dia duduk di sofa tunggal bak Ratu Elizabeth. Di belakangnya, Dokter Aldo berdiri mendampingi wanita itu.

"Aldo memintaku untuk tetap mempertahankanmu di rumah ini," kata Bu Asih, "Dan untuk alasan kemanusiaan aku menyetujuinya. Aku mau memberimu kesempatan untuk membuktikan bahwa kamu nggak seperti yang Aldo bilang."

Aku menarik napas lega.

"Tapi ada syaratnya," sambung Dokter Aldo. "Kami nggak mau jadi penjaga pagar untuk bocah SMA. Jadi kamu sudah harus berada di rumah sebelum malam."

"Siap!" ucapku mantap. "Saya memang nggak suka keluyuran."

'Kamu pernah ikut tawuran?" tanya Bu Asih.

Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan itu. "Nggak, Bu. Biasanya yang tawuran itu anak cowok. Saya 'kan cewek."

"Jadi kenakalan apa yang pernah kamu lakukan?" tanya Dokter Aldo dengan wajah serius.

"Pergi ke kantin waktu pelajaran Bahasa Inggris."

"Itu aja?' tanyanya lagi

Aku menganguk cepat.

Dokter Aldo mengamatiku lekat-lekat. Dia pasti sedang menilai penampilanku yang masih berantakan. Ketika itu aku masih memakai pakaian tidur berupa kaus oblong dan celana pendek.

"Oke," kata dokter itu. "Sekarang kamu punya waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap ke sekolah. Hari ini aku akan mengantarmu sambil kamu mempelajari rute angkot. Jadi besok kamu bisa pergi sendiri," ujar Dokter Aldo,.

Mendengar perkataannya, aku langsung bergegas ke kamar untuk bersiap. Tidak kuhiraukan kamar mandi yang aneh dalam kamar tidurku.

Sebelum tiga puluh menit aku sudah berdiri di hadapan Dokter Aldo yang sudah rapi memakai kemeja hijau muda dan celana kain hitam. Dia tengah menungguku di teras. Matahari pagi bersinar hangat di balik pungungnya. Sehingga seolah dia diliputi cahaya.

Selama beberapa saat aku terpukau melihatnya. Dia tidak setampan pretty boy K-Pop. Tapi garis wajahnya tegas dan dewasa. Dan bagiku itu membuatnya lebih menarik.

"Ayo kita pergi" ajak Dokter Aldo.

Dengan gugup aku mengikuti langkahnya ke garasi mobil. Tidak lama kemudian mobil itu bergerak meninggalkan rumah Bu Asih.

"Perhatikan rute angkot yang menuju ke sekolahmu," kata Dokter Aldo. "Aku nggak mau jadi sopir yang mengantarmu tiap pagi."

"Iya. Sekolah saya nggak jauh-jauh amat dari sini," ujarku ketika kami melewati Istana Bogor.

Kami terjebak macet sebentar di persimpanan lampu merah. Tapi aku tidak keberatan berlama-lama di dalam mobil dengannya. Sebab diam-diam aku sibuk mencuri pandang pada Dokter Aldo.

Apakah aku sedang jatuh cinta?

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status