Share

Bu Asih dan Rumahnya

Rumah Bu Asih yang menjadi tujuan kami berada tidak jauh dari Taman Sepur, sebuah taman kota yang menjadi tempat warga Bogor bersantai. Rumah itu rumah tua yang masih terawat baik. Desain bangunannya mengingatkan aku pada rumah Belanda. Halaman yang cukup luas dipenuhi dengan tanaman trapis dan dua batang pohon mahoni yang besar dan rimbun.

Dari pagar besi yang tertutup rapat, aku mengagumi keindahan rumah itu. Begitu juga dengan Bu Yati.

"Bu Asih ini bukan orang sembarangan. Dia peranakan Belanda yang sempat lari ke Eropa waktu Jepang masuk ke Indonesia. Tahun 50'an, dia menikah dengan orang Tionghoa, pemilik pabrik gula yang juga membangun bank Tjakra," bisik Bu Yati ketika kami berjalan menuju pintu depan yang dhiasi kaca patri.

Aku mendengarkan perkataannya sambil menjinjing tarvel bag berlambang sebuah perusahaan jasa travel umroh. Rasanya kalian bisa menebak dari mana aku mendapatkan tas warna hijau tua itu. Benar sekali, teman. Tas itu adalah tas pemberian salah seorang donatur.

Kami tidak perlu menunggu lama untuk bertemu dengan pemilik rumah. Sepertinya kedatangan kami sudah ditunggu Bu Asih. Sebab dia sendiri yang membukakan pintu.

Tadinya aku mengira akan bertemu dengan seorang nenek berkebaya, lengkap dengan sirih di mulutnya,. Ternyata aku salah. Bu Asih adalah seorang wanita tua yang cantik terawat . Dia memakai dress bermotif bunga-bunga kecil. Rambutnya putih keperakan dihiasi sirkam mutiara. Entah asli atau palsu. Aku tidak bisa membedakannya.

"Kamu pasti yang bernama Marla," kata Bu Asih ketika kami berada di ruang tamunya.

"Marla Shari lengkapnya," jawabku sambil tersenyum sopan.

"Kelas berapa?"

'"Kelas dua belas SMK Tata boga."

Bu Asih tersenyum. Tampaknya dia puas dengan jawaban yang kuberikan. "Di rumah ini sebetulnya ada pembantu yang menginap. Tapi dia berhenti bekerja sebulan yang lalu. Katanya mau dinikahkan di kampungnya. Tapi jangan khawatir. Kamu nggak akan kuanggap babu. Aku hanya minta pengertianmu sedikit aja. Aku nggak suka keramaian. Jadi tolong, jangan ajak teman-temanmu ngumpul di sini."

"Kalau itu jangan khawatir, Bu," sela Bu Yati. "Marla ini bukan anak gaul. Hari-harinya dihabiskan di sekolah dan panti asuhan kami. Kadang dia kerja sambilan jadi pelayan katering kalau sedang ada wedding party."

Apa yang Bu Yati katakan memang benar. Selain Gita, aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk kujadikan teman. Mengenai pelayan katering juga begitu. Biasanya ketika diminta menjadi pelayan katering aku bisa pulang jam sepuluh malam. Dan sering kali pihak katering menyediakan akomodasi pengantaran sehingga keamananku terjamin sampai di tujuan.

Menjelang siang, Bu Yati pamit pulang. Dengan mengendarai motornya, dia melesat pergi meninggalkan aku bersama seorang nenek yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Ayo, aku tunjukan kamar tidurmu," ajak Bu Asih.

Aku mengiyakan lalu mengikuti langkahnya. Ternyata rumah itu cukup besar. Semua perabotannya tertata rapi, apik dan bersih. Sulit kupercayai seorang wanita tua seperti Bu Asih masih cekatan membersihkan rumah. Tapi pertanyaanku terjawab beberapa menit kemudian.

"Setiap tiga kali seminggu akan ada dua orang tukang bersih-bersih ke sini," kata Bu Asih. "Aku juga jarang masak karena aku berlangganan katering harian untuk makan siang dan makan malam. Pakaianku juga begitu. Aku punya laundry langganan. Nanti kamu pun bisa menitipkan pakaian kotormu di keranjang laundry-ku."

"Nggak, Bu. Saya biasa nyuci sendiri."

Kami terus berjalan hingga ke bagian belakang rumah. Ada sebuah selasar yang menjadi penghubung rumah induk dengan service area termasuk dapur dan kamar tidur belakang.

"Ini kamarmu," kata Bu Asih di depan sebuah pintu bercat biru usang. Perlahan dibukanya pintu kamar itu. "Ada kamar mandi di dalam."

Aku tercenang melihat isi dalam ruangan itu. Kondisi kamar itu sebetulnya cukup baik, hanya kotor. Wajar saja. Mungkin karena lama tidak ditempati. Tapi yang membuat aku takjub adalah ruang kecil di sudut kamar yang disebut sebagai 'kamar mandi."

Kamar mandi yang ada di dalam kamar itu sama sekali tidak berpintu. Dindingnya pun hanya separuh dari ketinggian plafond. Di dalam kamar mandi itu terdapat kloset jongkok dan bak dari plastik untuk menampung air.

"Apa kitra hanya tinggal berdua di sini?" tanyaku pada Bu Asih.

"Nggak. Ada cucuku Tapi sekarang dia sedang bekerja. Nah, sekarang mumpung belum malam kamu bisa beres-beres dulu ruangan ini. Jadi nanti malam kamu sudah bisa tidur di sini."

Ruangan itu nyaris kosong melompong. Yang ada hanya sehelai kardus kulkas. Sepertinya kardus itu yang akan menjadi alas tidurku malam ini.

Seharian aku membersihkan kamar itu. Hasilnya tidak terlallu jelek. Kamar itu kelihatan lumayan. Ketika aku sedang mengepel lantai tiba-tiba terdengar suara di balik punggungku.

"Hei! Siapa kamu?" tanya seorang pria.

Aku langsung menoleh dan takjub melihat sosok yang berdiri di depanku.

"Dokter Aldo? Kok Dokter ada di sini?" tanyaku bingung.

"Seharusnya aku yang bertanya kenapa kamu bisa ada di sini?" Pria itu balik bertanya padaku.

"Saya tinggal sementara di sini."

"Oh, pasti kamu anak panti asuhan yang mengungsi di sini ya? Nenek! Nenek!" paggil Dokter Aldo sambil berjalan cepat ke rumah induk.

Aku hanya bisa berdiri mengamati kehebohannya dari kejauhan. Tidak lama kemudian dia kembali datang bersama Bu Asih.

"Nenek tahu nggak siapa dia? Dia ini penganut seks bebas, Nek," kata Dokter Aldo dengan sangat yakin.

Bu Asih menatapku tidak percaya. "Jangan ngawur!" katanya kemudian.

"Nggak, Nek. Aku pernah bertemu dia di IGD. Namanya Marla 'kan? Temannya menjadi pasienklu belum lama ini. Nenek bisa bayangkan, seorang anak SMA menjadi pasien dokter obgyn. Itu artinya sesuatu yang besar telah terjadi."

Bu Asih menatapku lekat-lekat. "Betul begitu?"

"Iya, Nek," jawabku.

"Kalau begitu kamu nggak bisa tinggal di sini. Aku nggak mau mengambil resiko."

Aku menatap Dokter Aldo dengan sorot mata marah. Bisa-bisanya dia membuat aku tidur di emperan ruko.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status