Share

Senasib

Di bawah tatapan penuh kebencian Weni dan Bima akhirnya aku bisa menyelesaikan semua jam pelajaran di sekolah hari itu. Jam demi jam kulewati dengan keteguhan hati untuk terlihat tegar dalam pandangan semua orang. Ketika akhirnya bel pulang berbunyi, aku segera membereskan peralatan pribadiku. Lalu tanpa menunda waktu segera kutinggalkan ruang kelas.

Sambil menenteng kantong plastik hitam berisi seragam kotor, aku berjalan menuju halte. Di halte itu terdapat beberapa murid lainnya yang sedang menunggu angkot. Aku mengenali mereka. Begitu pun mereka. Tapi alih-alih menyapa dan tersenyum, kami justru berdiri berjauhan dan menghindari kontak mata.

Di halte, dalam keheningan yang aneh, aku mengamati satu per satu angkot yang datang. Murid-murid teman sekolahku datang dan pergi sesuai angkot tujuan mereka. Setelah sepuluh menit berdiri, aku mulai merasa lelah. Akhirnya kuputuskan untuk duduk. Namun sebuah suara klakson membuat aku mengurungkan niatku.

Aku hampir tidak percaya dengan pengelihatanku. Ada mobil Dokter Aldo berhenti tepat di depan halte. Kaca kiri bagian depan mobil itu diturunkan hingga aku bisa melihat wajah pengemudinya. Siapa lagi kalau bukan si Dokter yang kutunggu sejak pagi.

"Ayo naik!" kata Dokter Aldo.

Aku tersenyum lalu bergegas mengikuti perkataannya. Penderitaanku seakan musnah seiring dengan kemunculannya di halte bis, berbaur dengan penjual soto mie dan angkot yang ngetem.

"Dokter Aldo kok bisa datang ke sini?" tanyaku begitu aku duduk di sampingnya.

“Kebetulan lewat aja,” jawabnya singkat.

Mobil Dokter Aldo mulai bergerak perlahan menjauhi halte. Aku mengamati lalu lintas di sekitarku. Beberapa angkot berjalan selambat siput. Klakson berkali-kali dibunyikan oleh beberapa pengendara kendaraan pribadi yang terpaksa mengekori angkot itu.

"Aku mengalami pagi yang buruk," kataku membuka keheningan.

"Kenapa? Ada masalah apa?" tanya Dokter Aldo tanpa menoleh.

"Karena Dokter Aldo ingkar janji. Katanya kalau aku bangun tidur Dokter akan ada di dapur. Nyatanya nggak ada," protesku.

"Maaf," kata Dokter Aldo singkat. Hening menyelimuti kami. "Kadang sesuatu nggak berjalan sesuai rencana."

Aku mengangguk tanda setuju. "Betul sekali. Kenapa sih, Dokter nggak bisa pulang subuh?" tanyaku.

"Kondisi pasiennya gawat. Lebih gawat dari perkiraanku."

Aku diam menunggu dia bicara lebih banyak. Tapi yang kudengar hanya suara helaan napasnya. Aku langsung menangkap sesuatu telah terjadi. "Jadi selanjutnya gimana?" tanyaku kemudian.

Dokter Aldo menggeleng lemah. "Ibu dan bayinya nggak bertahan. Bayinya terlilit tali pusar sementara ibunya mengalami perdarahan. Dua kondisi itu semestinya bisa ditangani kalau mereka nggak terlambat dibawa ke rumah sakit."

"Tapi Dokter 'kan sudah berusaha sekuat tenaga."

"Kadang menyampaikan berita duka cita juga jadi masalah tersendiri. Sering kali keluarga pasien malah emosi dan menuduh paramedis sebagai pihak yang nggak becus melakukan tugasnya."

"I fell you," bisikku.

"Really?" tanya Dokter Aldo sambil menoleh.

"Iya. Aku juga merasakan itu lho. Padahal aku hanya anak SMK biasa yang berusaha menolong temannya. Tapi sayang gagal. Akhirnya malah aku sekarang dicap sebagai pembunuh."

"Maksudmu masalah medis pada almarhumah Gita ya?"

"Benar," ujarku lalu membuka ikatan kantong plastik yang kuletakkan di lantai mobil. "Lihat nih. Ini seragamku tadi pagi."

Kening dokter itu berkerut tanda tidak suka. "Bau banget! Cepat tutup lagi."

Aku segera mengikat kembali kantong itu. "Iyalah. Bau pastinya. Itu 'kan kotor karena disiram air got. Temanku yang melakukan itu."

"Kenapa?"

"Karena dia menganggap aku yang membunuh Gita. Aku yang menyebabkan Gita meninggal dunia. Aku udah susah payah menjelaskan pada teman-teman sekolahku bahwa semua nggak semudah yang mereka kira. Tapi tetap aja aku dianggap sebagai si jahat. Sampai hari ini nggak ada satu pun teman yang mau bicara dengan aku."

"Sepertinya kita sama-sama mengalami hari yang buruk."

"Iya."

"Ayo kita jalan-jalan ke Sentul. Kita cari restoran yang enak."

"Ayo!" sambutku penuh semangat. "Tapi kenapa ke Sentul? Apa nggak kejauhan?"

"Aku pingin mencari suasana lain. Kamu mau?"

"Mau, kalau dibayarin."

Dokter Aldo tertawa.

Mobil itu semakin melaju menuju jalan tol Jagorawi. Lagu pop dari Armada band mengiringi perjalanan kami. Beberapa lagu membuat kami menyanyi bersama. Beberapa lagu lagi membuat kami terdiam merenungi liriknya. Hingga kemudian kami tiba di sebuah kafe dengan view gunung Pancar.

Hari itu suasana di kafe itu tidak terlalu ramai. Aku membiarkan Dokter Aldo memilihkan hidangan untukku.

"Apa aja pasti enak," kataku.

Aku mengamati sekelilingku. Tidak semua meja terisi. Kalau pun ada meja yang terisi semua terlihat seperti mahasiswa dan profesional muda. Kami adalah pasangan yang anomali di tempat itu -seorang cewek berseragam SMA duduk berhadapan dengan pria dewasa yang memakai pakaian kerja. Beberapa pasang mata melirik dengan rasa ingin tahu.

Jangan-jangan mereka mengira aku adalah sugar baby.

"Apa rencanamu besok?" tanya Dokter Aldo.

"Maksudnya?"

"Setelah kejadian hari ini, apa yang akan kamu lakukan besok di sekolah."

"Nggak ada. Aku akan tetap sekolah seperti biasa."

"Nggak takut?"

"Takut. Tapi aku nggak punya piihan lain."

"Setelah ini kita ke toko ponsel ya. Aku ingin membelikan kamu HP."

Mataku melotot heran. "Buat apa?"

"Kalau ada kejadian seperti tadi di sekolah, kamu bisa menelpon aku secepatnya. Aku akan langsung ke sekolahmu."

Mataku menatap Dokter Aldo dengan perasaan haru. Dia seperti bisa membaca kekhawatiranku. Air mataku perlahan menetes.

"Terima kasih," kataku pelan.

Dokter Aldo tersenyum. Ujung jarinya menyapu bulir air mataku yang mengalir di pipi.

****

Hari menjelang malam ketika mobil Dokter Aldo masuk di halaman. Dari kejauhan aku melihat pintu ruang tamu terbuka. Dan ada Bu Asih berdiri di ujung teras.

Ternyata Bu Asih menunggu kepulangan kami. Sejuta pertanyaan berkelebat di otaknya. Dia menunggu kepulanganku dan Dokter Aldo untuk dua alasan yang berbeda. Aku yakin dia menunggu kepulangan cucunya dengan hati cemas. Sementara aku terlambat pulang karena dikira terlibat tawuran.

"Marla," kata Dokter Aldo sebelum turun dari mobil. "Aku nggak suka kamu panggil dengan sebutan Dokter Aldo atau Dokter. Aku merasa sedang bicara dengan rekan kerjaku. Bukan dengan anak SMA yang numpang tinggal di rumahku.”

“Kalau dipanggil Kak Aldo boleh ‘kan?” tanyaku.

"Nah, begitu lebih baik."

Aku menatap paper bag di pangkuanku. Lalu aku menoleh pada Dokter Aldo seraya berkata, "Kak Aldo."

"Ya, Marla," jawabnya.

"Terima kasih untuk hari ini."

"No, aku justru yang berterima kasih karena kamu membuat aku nggak merasa sendiri. I mean, kamu tahu rasanya dipojokkan setelah perjuangan berat menyematkan nyawa seseorang," ucap Dokter Aldo sambil menatapku. "Ayo turun," ajakanya.

Bu Asih tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat melihat aku turun dari mobil Dokter Aldo. Keningnya berkerut dengan ekspresi tidak suka yang tergambar jelas di wajahnya.

"Kok kamu bisa nebeng mobil cucuku?" tanya Bu Asih.

"Saya nggak nebeng, Bu," jawabku.

Dokter Aldo berjalan menghampiri kami. "Aku yang menjemputnya pulang sekolah, Nek," jawabnya seakan ingin mengambil alih situasi.

"Apa? Kenapa?" tanya Bu Asih terkejut.

"Sebab ada janji yang mesti aku tepati," jawab Dokter Aldo lagi.

Mata Bu Asih lalu mengarah pada paper bag yang ada ditanganku. Paper bag itu berlambang merk sebuah ponsel Android. "Apa itu?" tanya Bu Asih.

"Ponsel, Bu," jawabku.

"Dari mana kamu punya uang untuk membeli ponsel?"

"Aku yang membelikannya, Nek.” Dokter Aldo mengambil alih jawabanku.

PLAK!

Sebuah tamparan keras melayang di pipiku. Perih sekali.

"Nek!" Dokter Aldo menjerit kaget. Secara spontan dia menarik tubuhku hingga berada di balik punggungnya.

"Keluar kamu dari rumah ini!" teriak Bu Asih sambil berusaha untuk menarik tanganku. Tapi Dokter Aldo menepis tangan neneknya dengan keras.

Tubuhku gemetaran mendengar ucapan itu. "Salah saya apa, Bu?" tanyaku.

Rekasi Dokter Aldo yang jelas-jelas melindungiku, membuat kemarahan Bu Asih memuncak. "Kamu sudah menggoda cucuku. Iya 'kan? Rayuan apa yang kamu ucapkan pada Aldo?"

Aku mengusap pipiku. "Saya nggak seperti yang Ibu katakan," ujarku.

"Kalau nggak dirayu, mana mungkin kamu dibelikan ponsel," kata Bu Asih dengan wajah garang.

"Ponsel itu aku yang beri. Marla nggak meminta," sanggah Dokter Aldo dengan suara tegas.

"Kamu masih terlalu polos, Aldo. Hanya karena dia masih SMA bukan berarti dia masih lugu. Kamu sendiri yang bilang, teman baiknya adalah pasienmu." Bu Asih lalu memincingkan matanya. "Kamu, Marla. Malam ini juga kamu harus keluar dari rumah ini. Aku nggak peduli kamu bakal tidur di mana."

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status