Menjelang sore, di bawah tatapan puas Bu Asih, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Ketika itu aku bahkan belum berganti pakaian sekolah. Aku hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku kemudian menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap pede dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau pena
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m
"Cepat Pak! Cepat!" kataku pada tukang ojek pangkalan yang membawaku dan Gita ke sebuah rumah sakit di Bogor.Siang hari itu, begitu bel sekolah usai, aku pontang-panting membawa Gita ke rumah sakit. Dengan menaiki ojek, kami berbonceng tiga, tanpa helm menembus kemacetan Bogor. Tubuh Gita terkulai lemas bersandar di tubuhku. Sekuat tenaga aku menahannya dengan mencengkram pegangan jok belakang motor. Sedikit saja aku lengah, kami berdua akan jatuh berguling-guling di jalan raya. Begitu sampai di IGD, aku melompat turun dan berlari ke nurse station. "Tolong teman saya. Dia pingsan di atas motor," kataku panik.Dua orang perawat dengan sigap keluar sambil mendorong brankar. Mereka kemudian memindahkan tubuh Gita dan membawanya ke ruang tindakan. Sementara aku membayar ongkos ojek dengan lembaran uang terakhir yang ada di dompetku.Dalam hitungan detik sekelompok para medis mengerumuni ranjang tempat Gita berbaring. Semua sibuk memeriksa kondisi temanku itu. Wajah mereka terlihat tegan
Sore itu aku berjalan kaki untuk pulang ke panti asuhan temnpatku tinggal. Sepanjang perjalanan itu aku memikirkan Gita. Bagaimana bisa cewek semuda itu meninggal dunia? Aku dan Gita masih berusia delapan belas tahun, sama-sama kelas dua belas SMA dan sedang sibuk menyusun rencana untuk masa depan kami. Sudah tiga tahun ini kami duduk berdampoingan di kelas. Dan sekarang, tiba-tiba seorang dokter asing menyatakan bahwa Gita wafat.Ketika aku sampai di panti asuhan, teman-temanku sedang makan malam. Kedatanganku membuat mereka semua melihatku yang sedang berdiri di depan pintu masuk. "Kamu dari mana?" tanya Bu Yati.Aku berjalan gontai kemudian duduk melepas lelah di kursi rotan tua. "Dari rumah sakit?""Siapa yang sakit?" tanya Elis temanku yang duduk di dekat pintu menuju dapur."Gita.""Oooo...Gita." ujar semua anak di ruangan itu. Mereka sudah tidak asing dengan sosok Gita sebab dia sering mengunjungiku. "Lalu gimana keadaannya sekaramg?" tanya Bu Yati."Meninggal. Gita meninggal
Rumah Bu Asih yang menjadi tujuan kami berada tidak jauh dari Taman Sepur, sebuah taman kota yang menjadi tempat warga Bogor bersantai. Rumah itu rumah tua yang masih terawat baik. Desain bangunannya mengingatkan aku pada rumah Belanda. Halaman yang cukup luas dipenuhi dengan tanaman trapis dan dua batang pohon mahoni yang besar dan rimbun.Dari pagar besi yang tertutup rapat, aku mengagumi keindahan rumah itu. Begitu juga dengan Bu Yati."Bu Asih ini bukan orang sembarangan. Dia peranakan Belanda yang sempat lari ke Eropa waktu Jepang masuk ke Indonesia. Tahun 50'an, dia menikah dengan orang Tionghoa, pemilik pabrik gula yang juga membangun bank Tjakra," bisik Bu Yati ketika kami berjalan menuju pintu depan yang dhiasi kaca patri.Aku mendengarkan perkataannya sambil menjinjing tarvel bag berlambang sebuah perusahaan jasa travel umroh. Rasanya kalian bisa menebak dari mana aku mendapatkan tas warna hijau tua itu. Benar sekali, teman. Tas itu adalah tas pemberian salah seorang donatur.
Jam sepuluh malam, mataku belum sedikit pun mengantuk. Padahal biasanya aku sudah menguap lebar-lebar tidak lama setelah azan Isya terdengar.Tapi kali itu pikiranku terpusat pada Dokter Aldo dan Bu Asih. Suasana malam itu begitu sunyi. Sejak makan malam berakhir, Bu Asih memilih masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Sementara Dokter Aldo ada di ruang duduk, tenggelam dalam buku yang dibacanya. Pikiranku benar-benar kacau. Bu Asih menelpon Bu Yati kaoan saja lalu pasti semua akan menuduhku sebagai remaja bermasalah. Padahal yang aku lakukan hanya mengantar Gita ke rumah sakit. Didorong oleh keinginan bertahan hidup, aku memberanikan diri menemui Dokter Aldo. Awalnya dia tidak menghiraukan kehadiranku. Tapi aku tetap mendekatinya. "Dokter Aldo," sapaku. "Saya perlu bicara." Dokter Aldo menutup bukunya. "Ada apa?" "Saya minta izin untuk tetap tinggal di sini." Hening. Dia tidak menanggapi ucapanku. Kami hanya saling tatap beberapa detik sampai kemudian dia mengalihkan pandangannya