"Cepat Pak! Cepat!" kataku pada tukang ojek pangkalan yang membawaku dan Gita ke sebuah rumah sakit di Bogor.
Siang hari itu, begitu bel sekolah usai, aku pontang-panting membawa Gita ke rumah sakit. Dengan menaiki ojek, kami berbonceng tiga, tanpa helm menembus kemacetan Bogor. Tubuh Gita terkulai lemas bersandar di tubuhku. Sekuat tenaga aku menahannya dengan mencengkram pegangan jok belakang motor. Sedikit saja aku lengah, kami berdua akan jatuh berguling-guling di jalan raya.Begitu sampai di IGD, aku melompat turun dan berlari ke nurse station. "Tolong teman saya. Dia pingsan di atas motor," kataku panik.Dua orang perawat dengan sigap keluar sambil mendorong brankar. Mereka kemudian memindahkan tubuh Gita dan membawanya ke ruang tindakan. Sementara aku membayar ongkos ojek dengan lembaran uang terakhir yang ada di dompetku.Dalam hitungan detik sekelompok para medis mengerumuni ranjang tempat Gita berbaring. Semua sibuk memeriksa kondisi temanku itu. Wajah mereka terlihat tegang dan serius."Panggil Dokter Aldo,' kata salah seorang perawat dengan suara nyaring.Aku tentu tidak punya wewenang apapun untuk memanggil Dokter Aldo. Lagipula aku tidak mengenal dokter yang dimaksud.Tiba-tiba tubuhku didorong keras oleh seorang pria dewasa. "Permisi," ujarnya sambil setengah berlari menuju ranjang Gita.Seorang perawat langsung menarik tirai rapat-rapat. Situasi saat itu terasa mencekam. Aku bisa mendengar suara seseorang memberikan instruksi. Suaranya jelas dan tegas tapi tidak menakutkan. Lalu tiba-tiba tirai itu kembali dibuka. Seorang pria berjas snelli putih menatapku."Kamu datang bersama pasien ini?" tanya pria itu. Usianya sekitar awal tiga puluhan. Cukup pantas untuk dipanggil dengan sebutan Om. Tubuhnya tinggi, pasti tidak kurang dari 180 cm.Aku menjawab iya sambil melihat ujung kaki Gita yang ditutupi selimut bergaris."Panggil orang tuanya sekarang juga ke sini," ucap pria itu dengan nada memerintah."Ayahnya berkerja di Parung. Ibunya dagang di Mangga Dua.""Aku nggak sedang bertanya di mana orang tuanya bekerja. Aku minta orang tuanya segera ke sini. Sebab tanpa persetujuan orang tuanya, kami nggak bisa melakukan tindakan apa pun.""Teman saya sakit apa sih?" tanyaku bingung.Pria itu semakin gusar. "Aku hanya bisa menjelaskan kondisi pasienku pada yang berwenang.""Saya berhak tahu. Dia teman sekelas saya."Pria itu tersenyum geli. "Aku mau bicara dengan orang tuanya. Apa kalimat itu kurang jelas?"Aku menghela napas menahan kesal. "Saya 'kan sudah bilang posisi mereka jauh," ujarkku sambil mengambil ponsel Gita dari dalam tasnya. "Saya akan coba telepon ibunya dulu."Tidak sulit untuk menemukan nomor ponsel ibunya Gita. Jelas tertulis dalam kontaknya nama 'Mama Tersayang'. Aku langsung menekan lambang telepon di ponsel itu."Ini saya, Marla" ujarku begitu berhasil menghubungi ibu Gita. "Sekarang saya sedang di rumah sakit. Gita yang sedang sakit. Ada petugas medis yang ingin bicara dengan pihak keluarga Gita."Aku langsung menyerahkan ponsel Gita pada pria galak yang berdiri menjulang di depanku."Selamat siang. Saya Dokter Aldo," ujar pria itu begitu dia berhasil bicara dengan ibu Gita. Seakan tidak ingin pembicaraannya didengar olehku, pria itu berjalan menjauh hinngga ke sudut ruang IGD. Dari kejauhan aku mengamati raut wajahnya, tegang dan serius. Tidak lama kemudian Dokter Aldo segera mengembalikan ponsel itu padaku."Dokter Aldo," kataku pelan dengan nada sesabar mungkin."Ya, Marla," sahutnya. Ternyata dia ingat namaku."Saya khawatir sekali dengan kondisi teman saya, Gita. Saya belum pernah melihat darah sebanyak itu keluar dari tubuh seseorang."Dokter Aldo mengamati wajahku. "Kamu sungguh nggak tahu apa yang terjadi dengan temanmu?"Aku menggeleng. "Saya hanya tahu dari tadi pagi dia mengeluh kram perut. Lalu begitu jam pelajaran pertama selesai, dia minta izin ke UKS. Saat jam pulang sekolah, saya ke UKS untuk mengajaknya pulang. Tapi dia bilang perutnya tambah sakit. Waktu saya memapahnya, saya melihat rok abu-abunya penuh darah. Saya jadi panik dan bermaksud memanggil guru. Tapi Gita menangis dan bilang dia nggak mau ada orang yang tahu dan hanya minta ditemani ke rumah sakit. Saya hanya tahu itu aja."Dokter Aldo tersenyum kecil. "Kamu benar-benar polos," katanya kemudian kembali ke ruang tindakan.Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Suasana IGD siang itu tidak ramai. Di nurse station hanya terlihat dua orang perawat berjaga. Sisanya masuk ke ruang tindakan membantu Dokter Aldo.Walaupun berteman dekat, nasibku dan Gita sangat jauh berbeda. Aku adalah anak panti asuhan yang terbiasa dengan hidup sederhana. Sementara Gita memiliki kehidupan yang sempurna. Ayahnya bekerja di sebuah pabrik sepatu di Parung. Ibunya memiliki kios pakaian di Pasar Pagi Mangga Dua. Dan dia juga punya kakak perempuan yang sedang kuliah di sebuah PTN di Jakarta. Gita juga punya pacar seorang mahasiswa kedokteran hewan.Sambil menunggu kabar baik dari Dokter Aldo, aku duduk di salah satu kursi ruang tunggu IGD. Tapi belum lama aku duduk, tirai ruang tindakan dibuka. Dengan langkah lebar dan raut wajah sedih dia menghampiriku.Jantungku terdetak lebih cepat. Alarm di otakku berdering memberi peringatan, "Gimana, Dok?" tanyaku memberanikan diri."Aku minta maaf," kata Dokter Aldo. "Temanmu terlalu banyak kehabisan darah.""Jadi?" tanyaku bingung."Kita kehilangan pasien," ujar Dokter Aldo. Wajahnya terlihat lelah dan lesu.Duniaku mendadak gelap. Tubuhku lunglai jatuh ke lantai.****Sore itu aku berjalan kaki untuk pulang ke panti asuhan temnpatku tinggal. Sepanjang perjalanan itu aku memikirkan Gita. Bagaimana bisa cewek semuda itu meninggal dunia? Aku dan Gita masih berusia delapan belas tahun, sama-sama kelas dua belas SMA dan sedang sibuk menyusun rencana untuk masa depan kami. Sudah tiga tahun ini kami duduk berdampoingan di kelas. Dan sekarang, tiba-tiba seorang dokter asing menyatakan bahwa Gita wafat.Ketika aku sampai di panti asuhan, teman-temanku sedang makan malam. Kedatanganku membuat mereka semua melihatku yang sedang berdiri di depan pintu masuk. "Kamu dari mana?" tanya Bu Yati.Aku berjalan gontai kemudian duduk melepas lelah di kursi rotan tua. "Dari rumah sakit?""Siapa yang sakit?" tanya Elis temanku yang duduk di dekat pintu menuju dapur."Gita.""Oooo...Gita." ujar semua anak di ruangan itu. Mereka sudah tidak asing dengan sosok Gita sebab dia sering mengunjungiku. "Lalu gimana keadaannya sekaramg?" tanya Bu Yati."Meninggal. Gita meninggal
Rumah Bu Asih yang menjadi tujuan kami berada tidak jauh dari Taman Sepur, sebuah taman kota yang menjadi tempat warga Bogor bersantai. Rumah itu rumah tua yang masih terawat baik. Desain bangunannya mengingatkan aku pada rumah Belanda. Halaman yang cukup luas dipenuhi dengan tanaman trapis dan dua batang pohon mahoni yang besar dan rimbun.Dari pagar besi yang tertutup rapat, aku mengagumi keindahan rumah itu. Begitu juga dengan Bu Yati."Bu Asih ini bukan orang sembarangan. Dia peranakan Belanda yang sempat lari ke Eropa waktu Jepang masuk ke Indonesia. Tahun 50'an, dia menikah dengan orang Tionghoa, pemilik pabrik gula yang juga membangun bank Tjakra," bisik Bu Yati ketika kami berjalan menuju pintu depan yang dhiasi kaca patri.Aku mendengarkan perkataannya sambil menjinjing tarvel bag berlambang sebuah perusahaan jasa travel umroh. Rasanya kalian bisa menebak dari mana aku mendapatkan tas warna hijau tua itu. Benar sekali, teman. Tas itu adalah tas pemberian salah seorang donatur.
Jam sepuluh malam, mataku belum sedikit pun mengantuk. Padahal biasanya aku sudah menguap lebar-lebar tidak lama setelah azan Isya terdengar.Tapi kali itu pikiranku terpusat pada Dokter Aldo dan Bu Asih. Suasana malam itu begitu sunyi. Sejak makan malam berakhir, Bu Asih memilih masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Sementara Dokter Aldo ada di ruang duduk, tenggelam dalam buku yang dibacanya. Pikiranku benar-benar kacau. Bu Asih menelpon Bu Yati kaoan saja lalu pasti semua akan menuduhku sebagai remaja bermasalah. Padahal yang aku lakukan hanya mengantar Gita ke rumah sakit. Didorong oleh keinginan bertahan hidup, aku memberanikan diri menemui Dokter Aldo. Awalnya dia tidak menghiraukan kehadiranku. Tapi aku tetap mendekatinya. "Dokter Aldo," sapaku. "Saya perlu bicara." Dokter Aldo menutup bukunya. "Ada apa?" "Saya minta izin untuk tetap tinggal di sini." Hening. Dia tidak menanggapi ucapanku. Kami hanya saling tatap beberapa detik sampai kemudian dia mengalihkan pandangannya
Setibanya di sekolah, aku segera turun dari mobil Dokter Aldo. Aku sempat tersenyum padanya. Tapi dia tidak membalasnya. “Cepat turun. Aku bisa terlambat ke rumah sakit,” kata dokter itu dingin. Aku berlari kecil menuju pintu masuk gedung sekolah. Terselip malu dalam hatiku mendapati sikap dingin Dokter Aldo. Riuh suara para murid sesaat mengalihkan perhatianku. Di antara ratusan murid yang ada di sekolah ini aku adalah murid yang berada di level B dalam semua hal. Beberapa murid terkenal karena kecantikannya. Beberapa murid lainnya memiliki otak encer sehingga berkali-kali menang dalam lomba di luar sekolah. Ada juga yang terkenal karena kekayaan orang tuanya. Tapi aku tidak masuk dalam kelompok manapun. "Woi!" kata Wini yang menghadang langkahku di selasar. "Lu yang bikin Gita meninggal 'kan?" Matanya melotot garang. Seharusnya orang kalau marah mukanya akan menjadi jelek. Tapi Wini beda. Dia tetap terlihat cantik. Aku memberanikan diri untuk mulai menjelaskan situasinya. "Gu
Waktu berlalu dengan sangat lama. Aku tidak mendengar suara lain kecuali napasku sendiri. Sunyi. Aku tahu percuma untuk berteriak. Tidak ada yang bisa mendengar suaraku. Aku kini hanya berharap ada guru yang menyadari ketidakhadiranku. Tapi sepertinya harapanku sia-sia. Akhirnya yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Jam sekolah usai. Matahari mulai redup. Aku bisa melihat dari semakin gelapnya bilik toilet. Dari cahaya matahari yang masuk lewat ventilasi luar, aku bisa mengintip sinar matahari yang main condong ke barat. Aku menangis ketakutan, membayangkan melewati malam seorang diri di toliet yang gelap gulita. Aku berada di titik putus asa terendah dalam hidup saat mendadak aku mendengar keributan di luar bilik."Periksa satu-satu," ujar suara yang akrab di telingaku. Suara Dokter Aldo.Semangatku langsung menyala. "Tolong! Tolong! Dokter Aldo, aku di sini.""Marla, kamu di mana?" tanya Dokter Aldo."Di sini. Toilet bilik yang paling ujung."Tidak perlu lama aku menunggu pi
Dokter Aldo tidak menepati janjinya. Pagi hari saat aku bangun tidur, yang kulakukan pertama kali adalah bergegas ke dapur. Aku berharap akan menemukan sosoknya tengah duduk di balik meja makan, tersenyum dengan wajah lelah. Tapi sayangnya harapanku buyar. Rasa khawatir kuat mencengkram hatiku. Bagaimana bisa seseorang tidak pulang ke rumah semalaman hanya karena pekerjaannya? Aku pernah membaca di koran lama perihal seorang dokter yang meninggal dunia karena kelelahan. Setelah merasakan kesedihan ditinggal teman baik, aku tidak akan mau lagi menerima kabar buruk dari orang sebaik Dokter Aldo. "Mana Aldo?" tanya Bu Asih ketika aku sudah siap berangkat ke sekolah. Aku menjawab sambil mengikat tali sepatuku. "Dokter Aldo pergi ke rumah sakit sejak dini hari tadi, Bu." Setelah itu aku berpamitan sesopan mungkin. Kucium pinggung tangannya seraya berkata, "Saya ke sekolah, Bu."Wanita itu hanya melengos lalu berbalik badan, meninggalkan aku sendirian di teras. Tidak ingin terlambat tib
Di bawah tatapan penuh kebencian Weni dan Bima akhirnya aku bisa menyelesaikan semua jam pelajaran di sekolah hari itu. Jam demi jam kulewati dengan keteguhan hati untuk terlihat tegar dalam pandangan semua orang. Ketika akhirnya bel pulang berbunyi, aku segera membereskan peralatan pribadiku. Lalu tanpa menunda waktu segera kutinggalkan ruang kelas. Sambil menenteng kantong plastik hitam berisi seragam kotor, aku berjalan menuju halte. Di halte itu terdapat beberapa murid lainnya yang sedang menunggu angkot. Aku mengenali mereka. Begitu pun mereka. Tapi alih-alih menyapa dan tersenyum, kami justru berdiri berjauhan dan menghindari kontak mata. Di halte, dalam keheningan yang aneh, aku mengamati satu per satu angkot yang datang. Murid-murid teman sekolahku datang dan pergi sesuai angkot tujuan mereka. Setelah sepuluh menit berdiri, aku mulai merasa lelah. Akhirnya kuputuskan untuk duduk. Namun sebuah suara klakson membuat aku mengurungkan niatku. Aku hampir tidak percaya dengan peng
"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar. "Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag."Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?"Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost. Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu."Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini.""Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk."Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami penola