Share

KEMELUT CINTA
KEMELUT CINTA
Penulis: Terbitha

Tragedi Besar di Hari Biasa

"Cepat Pak! Cepat!" kataku pada tukang ojek pangkalan yang membawaku dan Gita ke sebuah rumah sakit di Bogor.

Siang hari itu, begitu bel sekolah usai, aku pontang-panting membawa Gita ke rumah sakit. Dengan menaiki ojek, kami berbonceng tiga, tanpa helm menembus kemacetan Bogor. Tubuh Gita terkulai lemas bersandar di tubuhku. Sekuat tenaga aku menahannya dengan mencengkram pegangan jok belakang motor. Sedikit saja aku lengah, kami berdua akan jatuh berguling-guling di jalan raya.

Begitu sampai di IGD, aku melompat turun dan berlari ke nurse station. "Tolong teman saya. Dia pingsan di atas motor," kataku panik.

Dua orang perawat dengan sigap keluar sambil mendorong brankar. Mereka kemudian memindahkan tubuh Gita dan membawanya ke ruang tindakan. Sementara aku membayar ongkos ojek dengan lembaran uang terakhir yang ada di dompetku.

Dalam hitungan detik sekelompok para medis mengerumuni ranjang tempat Gita berbaring. Semua sibuk memeriksa kondisi temanku itu. Wajah mereka terlihat tegang dan serius.

"Panggil Dokter Aldo,' kata salah seorang perawat dengan suara nyaring.

Aku tentu tidak punya wewenang apapun untuk memanggil Dokter Aldo. Lagipula aku tidak mengenal dokter yang dimaksud.

Tiba-tiba tubuhku didorong keras oleh seorang pria dewasa. "Permisi," ujarnya sambil setengah berlari menuju ranjang Gita.

Seorang perawat langsung menarik tirai rapat-rapat. Situasi saat itu terasa mencekam. Aku bisa mendengar suara seseorang memberikan instruksi. Suaranya jelas dan tegas tapi tidak menakutkan. Lalu tiba-tiba tirai itu kembali dibuka. Seorang pria berjas snelli putih menatapku.

"Kamu datang bersama pasien ini?" tanya pria itu. Usianya sekitar awal tiga puluhan. Cukup pantas untuk dipanggil dengan sebutan Om. Tubuhnya tinggi, pasti tidak kurang dari 180 cm.

Aku menjawab iya sambil melihat ujung kaki Gita yang ditutupi selimut bergaris.

"Panggil orang tuanya sekarang juga ke sini," ucap pria itu dengan nada memerintah.

"Ayahnya berkerja di Parung. Ibunya dagang di Mangga Dua."

"Aku nggak sedang bertanya di mana orang tuanya bekerja. Aku minta orang tuanya segera ke sini. Sebab tanpa persetujuan orang tuanya, kami nggak bisa melakukan tindakan apa pun."

"Teman saya sakit apa sih?" tanyaku bingung.

Pria itu semakin gusar. "Aku hanya bisa menjelaskan kondisi pasienku pada yang berwenang."

"Saya berhak tahu. Dia teman sekelas saya."

Pria itu tersenyum geli. "Aku mau bicara dengan orang tuanya. Apa kalimat itu kurang jelas?"

Aku menghela napas menahan kesal. "Saya 'kan sudah bilang posisi mereka jauh," ujarkku sambil mengambil ponsel Gita dari dalam tasnya. "Saya akan coba telepon ibunya dulu."

Tidak sulit untuk menemukan nomor ponsel ibunya Gita. Jelas tertulis dalam kontaknya nama 'Mama Tersayang'. Aku langsung menekan lambang telepon di ponsel itu.

"Ini saya, Marla" ujarku begitu berhasil menghubungi ibu Gita. "Sekarang saya sedang di rumah sakit. Gita yang sedang sakit. Ada petugas medis yang ingin bicara dengan pihak keluarga Gita."

Aku langsung menyerahkan ponsel Gita pada pria galak yang berdiri menjulang di depanku.

"Selamat siang. Saya Dokter Aldo," ujar pria itu begitu dia berhasil bicara dengan ibu Gita. Seakan tidak ingin pembicaraannya didengar olehku, pria itu berjalan menjauh hinngga ke sudut ruang IGD. Dari kejauhan aku mengamati raut wajahnya, tegang dan serius. Tidak lama kemudian Dokter Aldo segera mengembalikan ponsel itu padaku.

"Dokter Aldo," kataku pelan dengan nada sesabar mungkin.

"Ya, Marla," sahutnya. Ternyata dia ingat namaku.

"Saya khawatir sekali dengan kondisi teman saya, Gita. Saya belum pernah melihat darah sebanyak itu keluar dari tubuh seseorang."

Dokter Aldo mengamati wajahku. "Kamu sungguh nggak tahu apa yang terjadi dengan temanmu?"

Aku menggeleng. "Saya hanya tahu dari tadi pagi dia mengeluh kram perut. Lalu begitu jam pelajaran pertama selesai, dia minta izin ke UKS. Saat jam pulang sekolah, saya ke UKS untuk mengajaknya pulang. Tapi dia bilang perutnya tambah sakit. Waktu saya memapahnya, saya melihat rok abu-abunya penuh darah. Saya jadi panik dan bermaksud memanggil guru. Tapi Gita menangis dan bilang dia nggak mau ada orang yang tahu dan hanya minta ditemani ke rumah sakit. Saya hanya tahu itu aja."

Dokter Aldo tersenyum kecil. "Kamu benar-benar polos," katanya kemudian kembali ke ruang tindakan.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Suasana IGD siang itu tidak ramai. Di nurse station hanya terlihat dua orang perawat berjaga. Sisanya masuk ke ruang tindakan membantu Dokter Aldo.

Walaupun berteman dekat, nasibku dan Gita sangat jauh berbeda. Aku adalah anak panti asuhan yang terbiasa dengan hidup sederhana. Sementara Gita memiliki kehidupan yang sempurna. Ayahnya bekerja di sebuah pabrik sepatu di Parung. Ibunya memiliki kios pakaian di Pasar Pagi Mangga Dua. Dan dia juga punya kakak perempuan yang sedang kuliah di sebuah PTN di Jakarta. Gita juga punya pacar seorang mahasiswa kedokteran hewan.

Sambil menunggu kabar baik dari Dokter Aldo, aku duduk di salah satu kursi ruang tunggu IGD. Tapi belum lama aku duduk, tirai ruang tindakan dibuka. Dengan langkah lebar dan raut wajah sedih dia menghampiriku.

Jantungku terdetak lebih cepat. Alarm di otakku berdering memberi peringatan, "Gimana, Dok?" tanyaku memberanikan diri.

"Aku minta maaf," kata Dokter Aldo. "Temanmu terlalu banyak kehabisan darah."

"Jadi?" tanyaku bingung.

"Kita kehilangan pasien," ujar Dokter Aldo. Wajahnya terlihat lelah dan lesu.

Duniaku mendadak gelap. Tubuhku lunglai jatuh ke lantai.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status