"Tante enggak bermaksud ganggu. Dari tadi Tante sudah coba ajak kamu ngomong baik-baik, tapi kamu enggak peduli."
Dengan wajah cemberutnya, Alex kembali menyalakan play station itu, tapi kumatikan lagi hingga dia semakin menatap benci.
"Mau Tante apa, sih? Sana! Keluar dari kamarku!" Dia mendorong tubuhku sampai mundur selangkah.
"Apa yang kamu lakukan pada Alva tadi?" tanyaku tetap tenang.
"Enggak ngapa-ngapain! Emangnya aku ngapain dia?" Alex membuang muka seraya melipat kedua tangannya di dada.
"Bener kamu dorong dia sampai luka begitu? Kenapa, Lex?"
"Enggak!" bantahnya cepat.
"Tolong jujur, Alex. Kenapa kamu sampai tega dorong adik kamu sendiri? Dia itu—"
"Udah kubilang dia itu bukan adikku!" tukasnya dengan nada tinggi.
"Iya. Maksud tante ... dia itu masih kecil, Lex. Dia b
See? Dugaanku benar."Aku enggak marahi. Aku justru bertanya padanya dengan lembut dan baik-baik. Justru Alex sendiri yang berteriak kasar padaku, Mas," balasku tenang."Tapi bukan berarti kamu bisa semudah itu menyalahkan Alex karena lukanya Alva," debatnya masih dengan nada datar."Memang itu faktanya, Mas. Alva sendiri yang bilang, kalau dia didorong sampai kebentur meja karena mau ngajak main.""Bisa saja Alva salah paham. Dia itu masih sangat kecil. Yang enggak sengaja, bisa saja dibilang sengaja.""Justru karena dia masih sangat kecil, Mas, aku percaya dia enggak akan bohong," balasku dengan hati berdesir perih."Ok. Kita anggap saja kalau memang Alex yang salah karena sudah dorong Alva. Tapi bukan berarti kamu bisa kasar padanya, dong. Kenapa kamu sampai tega nyubitin lengannya sampai biru-biru?"Sontak aku me
Waktu berlalu cepat. Tak terasa kandunganku sudah memasuki usia bulan ke delapan. Perut yang semakin membesar membuat ruang gerak semakin terbatas. Bang Leon sendiri kembali rutin sebulan sekali datang mengunjungi Alva. Terkadang, dia seminggu berada di kota ini dengan menginap di rumah Mas William yang kosong.Kedatangan Bang Leon cukup membantuku menangani Alva karena Mas William semakin sibuk sejak dibukanya cabang baru di Bali. Hubungan kami memang baik, tapi tak seharmonis dulu. Seperti ada sekat yang memisahkan sejak kedatangan Alex dan Indira dalam kehidupan kami.Alex sampai detik ini belum bisa menerimaku sebagai mama sambungnya. Hanya saja, anak itu tak terang-terangan bersikap jahat seperti dulu. Justru, kali ini dia berubah menjadi sedikit tenang. Entahlah. Aku merasa ada yang mengganjal dari perubahan sikapnya padaku.Aku pun hanya bisa pasrah ketika Mas William dan Indira sering menghabiskan waktu bersama karena alasan Alex. Suamiku itu belum bisa mengalahkan dan menaklu
"Sayang? Kamu masih di situ, kan?" Panggilan Mas William menyadarkanku yang sempat termenung."Iya, Mas. Aku masih di sini." Aku menunduk, mengusap perut dengan pelan."Mas rindu sekali sama kamu dan Alva. Kamu enggak rindu, hm?""Rindu, Mas," jawabku pelan. "Mas pulang malam ini, kan?""Itu dia, Sayang. Mas mau bilang kalau batal pulang malam ini. Paling mas pulangnya besok. Masih ada urusan yang belum selesai. Enggak apa-apa 'kan, Sayang?""Oh ... iya. Enggak apa-apa, Mas.""Maaf, ya, Sayang. Mas enggak bermaksud ingkar janji. Mas janji besok pagi akan langsung berangkat dari sini. Besok juga seharian mas akan ada di rumah terus sama kalian.""Iya, Mas. Kutunggu Mas Will pulang," kataku lembut walau hati ini berdesir perih hingga membuat mataku menghangat."Jaga kesehatan, ya, Sayang. Jangan lupa makan
Aku menangis lirih sambil memukul-mukul pelan dada yang terasa sesak. Berbaring miring dengan air mata yang terus mengalir membanjiri bantal. Entah berapa lama aku menangis sampai kedua mata dan area kening ini terasa menegang.Kurang lebih satu jam setelah pesan tentang demamku dikirimkan, Mas William baru membalasnya dengan menghubungiku. Sayang, aku tak berniat sama sekali menjawab panggilan itu. Hati ini terlalu sakit. Aku memilih mematikan total ponselnya dan kembali terisak sampai tenggorokan dan dada terasa sakit."Bu? Ibu? Ya Allah!"Samar kudengar suara panik Bi Surti, tapi mataku enggan terbuka seiring kepala yang terasa begitu berat dan tubuh yang terasa lemas."Dek! Kamu kenapa, Dek?"Itu seperti suara Bang Leon. Apa aku sedang berhalusinasi?Perlahan mataku terbuka saat merasakan kedua lengan kekar membuat tubuh ini melayang
"Leon?""Wil.""Makasih banyak sudah bawa Lusi ke rumah sakit.""Sama-sama. Kebetulan saja pas aku juga baru datang. Tapi ngomong-ngomong memangnya kamu dari mana? Kok, istri demam dan lagi hamil tua malah ditinggal sendiri, sih?"Bang Leon sudah tahu alasannya, tapi kenapa dia bertanya lagi?"Ada kerjaan di Bali.""Memangnya pentingan mana antara kerjaan dengan istri dan calon anak kalian? Enggak bisa, ya, kalau kerjaan itu diwakili orang dulu? Kalau sampai ada apa-apa dengan Lusi, yakin kamu enggak akan menyesal? Dokternya saja sampai marah padaku. Padahal, aku enggak tahu apa-apa," cecar Bang Leon. Tersirat ada nada kemarahan walau dia tetap berusaha berujar dengan nada pelan."Iya, kamu benar. Harusnya aku enggak pergi atau pulang lebih awal.""Ya sudah. Sekarang, kamu jaga dia baik-baik. Jangan diganggu dulu tapi. biarkan Lusi istirahat. Aku mau ke rumah lihat Alva karena dia juga tadi nangis panik lihat mamanya pingsan.""Tunggu, Leon!""Apa?""Kamu ... masih ada rasa sama Lusi?
Pagi pun menjelang. Terdengar ada suara dokter dan perawat yang masuk ke ruangan ini dan berbicara dengan Mas William. Aku? Tentu masih bertahan dalam posisi mata terpejam walau semalam memang tertidur sungguhan."Kenapa istri saya enggak sadar-sadar, Dok?" Ada nada kehawatiran dan kecemasan di nada bicaranya."Istri Bapak sudah sadar.""Tapi sejak saya datang, dia sama sekali belum buka mata. Istri saya baik-baik saja 'kan, Dok?""Istri Bapak baik-baik saja. Mungkin, ada sesuatu hal yang membuatnya enggan membuka mata. Tenang, ya, Pak. Suhu tubuh istri Bapak juga sudah kembali stabil. Tapi jangan sampai terulang kembali. Jika demam, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit. Jika terlalu disepelekan, bisa berakibat buruk terhadap kondisi Ibu dan janinnya."Iya, Dokter.""Coba Bapak ajak bicara dari hati ke ha
Bi surti bergegas keluar saat mendengar deru mobil. Dengan sigap dia membantu dan memapahku ke kamar."Abang enggak enak pada William, Dek. Dia pasti kaget pas ke rumah sakit, tapi ternyata kamunya enggak ada," ujar Bang Leon yang datang ke kamar ini dengan membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air."Enggak apa-apa, Bang. Biar itu jadi urusanku. Abang jangan kabari Mas William, ya?"Bang Leon menghela napas pelan, lalu mengangguk." Abang ke bawah lagi, ya. Mau suapi Alva."Aku mengangguk. "Titip Alva dulu, ya, Bang."Bang Leon mengangguk, kemudian pergi dari kamar ini bersama Bi Surti.🌺🌺🌺Tak berselang lama, Mas William datang saat aku tengah makan bubur di kamar. Sedikit tersentak kaget ketika pintu dibuka dengan cukup kasar. Aku menoleh, menatap datar padanya dan kembali menyantap bubur dalam diam.
"Liburan dengan Alex dan Indira, kan?" Aku membuka mata dan menatapnya dingin. "Kalian memang cocok disebut keluarga yang bahagia dan harmonis. Selamat, ya, Mas! Semoga apa pun niat baik kalian bisa segera terwujud.""Maksud kamu apa, sih, Sayang?"Aku tersenyum sinis seraya menggeleng. "Kalian akan rujuk kembali, kan? Enggak apa-apa, Mas. Aku ikhlas. Biar aku saja yang pergi dari kehidupan kalian.""Apa, sih? Siapa juga yang mau rujuk? Aku dan Indira enggak ada hubungan apa pun!" tegasnya dengan tatapan tajam."Oh, ya?" Aku tersenyum mengejek. "Masihkah aku harus percaya dengan semua kata-katamu, Mas? Semalam saja kamu sudah bohong, kan? Kamu bilang ada urusan bisnis, tapi nyatanya apa? Mas malah diam-diam berlibur dengan Alex dan Indira. Masih mending kalau hanya Alex, tapi ini ada Indira juga, Mas. Indira! Kalian bahkan ada dalam satu kamar! Kenapa, Mas? Kenapa?" cecarku menggebu-gebu dengan dada bergemuruh hebat. "Apa jangan-jangan ... kalian berdua sudah menikah diam-diam. Iya?"