Pagi pun menjelang. Terdengar ada suara dokter dan perawat yang masuk ke ruangan ini dan berbicara dengan Mas William. Aku? Tentu masih bertahan dalam posisi mata terpejam walau semalam memang tertidur sungguhan."Kenapa istri saya enggak sadar-sadar, Dok?" Ada nada kehawatiran dan kecemasan di nada bicaranya."Istri Bapak sudah sadar.""Tapi sejak saya datang, dia sama sekali belum buka mata. Istri saya baik-baik saja 'kan, Dok?""Istri Bapak baik-baik saja. Mungkin, ada sesuatu hal yang membuatnya enggan membuka mata. Tenang, ya, Pak. Suhu tubuh istri Bapak juga sudah kembali stabil. Tapi jangan sampai terulang kembali. Jika demam, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit. Jika terlalu disepelekan, bisa berakibat buruk terhadap kondisi Ibu dan janinnya."Iya, Dokter.""Coba Bapak ajak bicara dari hati ke ha
Bi surti bergegas keluar saat mendengar deru mobil. Dengan sigap dia membantu dan memapahku ke kamar."Abang enggak enak pada William, Dek. Dia pasti kaget pas ke rumah sakit, tapi ternyata kamunya enggak ada," ujar Bang Leon yang datang ke kamar ini dengan membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air."Enggak apa-apa, Bang. Biar itu jadi urusanku. Abang jangan kabari Mas William, ya?"Bang Leon menghela napas pelan, lalu mengangguk." Abang ke bawah lagi, ya. Mau suapi Alva."Aku mengangguk. "Titip Alva dulu, ya, Bang."Bang Leon mengangguk, kemudian pergi dari kamar ini bersama Bi Surti.🌺🌺🌺Tak berselang lama, Mas William datang saat aku tengah makan bubur di kamar. Sedikit tersentak kaget ketika pintu dibuka dengan cukup kasar. Aku menoleh, menatap datar padanya dan kembali menyantap bubur dalam diam.
"Liburan dengan Alex dan Indira, kan?" Aku membuka mata dan menatapnya dingin. "Kalian memang cocok disebut keluarga yang bahagia dan harmonis. Selamat, ya, Mas! Semoga apa pun niat baik kalian bisa segera terwujud.""Maksud kamu apa, sih, Sayang?"Aku tersenyum sinis seraya menggeleng. "Kalian akan rujuk kembali, kan? Enggak apa-apa, Mas. Aku ikhlas. Biar aku saja yang pergi dari kehidupan kalian.""Apa, sih? Siapa juga yang mau rujuk? Aku dan Indira enggak ada hubungan apa pun!" tegasnya dengan tatapan tajam."Oh, ya?" Aku tersenyum mengejek. "Masihkah aku harus percaya dengan semua kata-katamu, Mas? Semalam saja kamu sudah bohong, kan? Kamu bilang ada urusan bisnis, tapi nyatanya apa? Mas malah diam-diam berlibur dengan Alex dan Indira. Masih mending kalau hanya Alex, tapi ini ada Indira juga, Mas. Indira! Kalian bahkan ada dalam satu kamar! Kenapa, Mas? Kenapa?" cecarku menggebu-gebu dengan dada bergemuruh hebat. "Apa jangan-jangan ... kalian berdua sudah menikah diam-diam. Iya?"
"Itu hanya—""Aaargh!"Mas William terkesiap kaget ketika kurebut kembali ponsel itu, lalu melemparkannya ke dinding sekuat tenaga hingga pecah."Sayang ...." Bola matanya bergerak-gerak gelisah memindaiku.Bibir bergetar hebat. Berkali-kali aku harus mengusap air mata yang memburamkan tatapan tajamku padanya."Berbulan-bulan aku menahan sabar, Mas. Berbulan-bulan aku memendam rasa sakit sendirian. Apa itu masih kurang? Enggak cukupkah perlakuan kasar Alex sampai Mas William juga selalu menambahkannya dengan luka lain? Kalau memang sudah enggak cinta, lepaskan saja aku. Biarkan aku hid—"Mas William dengan cepat membekap mulut ini hingga perkataanku teredam."Enggak boleh ngomong begitu!" tegasnya pelan, tapi penuh penekanan. "Iya, iya. Mas akui mas salah. Mas sudah egois karena selalu menomorsatukan perasaan Alex
Namun, lipatan kertas yang terjatuh dari saku celananya berhasil mengalihkan fokus ini. Lekas kuambil dan membuka lipatan kertas tersebut.Maaf."Maaf?" Aku membacanya pelan.Apa ini untukku? Benarkah? Ah, tapi rasanya tidak mungkin. Mungkin ini tulisan dia untuk teman sekolahnya.Kulipat kembali kertas itu seperti semula dan meletakkannya di meja makan."Mama, Mama! Papa datang!" seru Alva dari ruang keluarga.Aku menoleh. Bang Leon datang dan langsung menyambut Alva yang melompat-lompat riang meminta digendong. Sekalian kubuatkan kopi untuknya juga, lalu menghampiri mereka yang sedang duduk di ruang keluarga."William ada, Dek?""Ada, Mas. Lagi ganti baju di kamar. Kenapa?""Enggak apa-apa. Hanya mau minta izin untuk ajak Alva jalan-jalan besok.""Dalan
Kurasakan kasur bergoyang. Hingga tak lama kemudian, ada tangan melingkari pinggang dan mengusap lembut perutku."Kamu sengaja menghindar, ya?" tanyanya lirih.Aku diam."Sayang ....""Itu hanya perasaan Mas saja kali. Sudah lama juga kita memang jarang menghabiskan waktu berdua, kan? Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?" balasku santai dengan mata terpejam."Mas 'kan sudah minta maaf, Sayang. Kita sudah baikan.""Yang bilang aku belum memaafkan siapa? Sudah kumaafkan, kok.""Tapi kamu berubah. Sikapmu jadi dingin padaku dan Alex. Mas rindu Lusi yang ceria dan manis. Lusi yang selalu bermanja-manja," ucapnya seraya mendaratkan kecupan di bahu."Aku ngantuk, Mas. Tolong ...."Hening.Terdengar helaan napas berat darinya seiring pelukan yang terlepas. Mataku terpejam erat seraya mengigit bibir bawah yang bergetar menahan tangis.Lusi yang Mas rindukan sudah lenyap ditelan waktu. Karakternya sudah dibuat mati oleh semua tindakan Mas sendiri.Kuubah posisi tidur menghadap langit-langit d
Aku masih bungkam.Namun, kebungkaman ini berubah menjadi keterkejutan, ketika Mas William tiba-tiba berlutut sambil memeluk kedua kaki ini."Mas apaan, sih? Enggak boleh begitu. Bangun enggak?" Aku berusaha menariknya berdiri, tapi dia malah semakin mengeratkan pelukannya di kaki."Mas rela sujud kalau itu bisa membuatmu kembali ceria dan tersenyum," lirihnya."Aku bukan Tuhan. Mas tidak boleh bersujud pada manusia. Bangun, Mas!" tegasku tak suka seraya terus mencoba menariknya berdiri.Mas William menggeleng. "Mas akan bangun kalau kamu janji enggak akan bersikap dingin lagi.""Iya, tapi Mas-nya bangun dulu," pintaku dengan suara sedikit bergetar. Tak tega melihatnya terisak sambil berlutut.Perlahan Mas William melepaskan pelukan dari kaki, lalu berdiri dan memegang kedua bahuku samb
Aku semakin dibuat bingung ketika mobil Mas William tiba di sebuah rumah sakit swasta yang cukup jauh dari rumah kami. Alex dan Mas William sudah turun, sedangkan aku sendiri masih bergeming di tempat. Perasaan tak enak ini membuat kaki enggan untuk bergerak."Ayo turun," ajaknya lembut walau itu tak berhasil menutupi raut kesedihan di wajahnya."Kenapa kita ke sini, Mas? Siapa yang sakit?" tanyaku seraya meremas-remas ujung khimar."Ayo!" ajaknya lagi tanpa menggubris pertanyaanku.Meskipun ragu, pada akhirnya aku tetap menyambut uluran tangan itu, lalu turun. Kami berjalan bersama menyusuri lorong rumah sakit dengan satu tangannya yang merangkul bahu, sedangkan satu lagi menggenggam erat jemari ini.Jantung mulai berdetak cepat ketika ruang operasi sudah terlihat jelas di depan mata. Aku menoleh pada Mas William, tapi dia diam dan terus menatap ke depan. Seolah eng