Aku masih bungkam.
"Mas apaan, sih? Enggak boleh begitu. Bangun enggak?" Aku berusaha menariknya berdiri, tapi dia malah semakin mengeratkan pelukannya di kaki.
"Mas rela sujud kalau itu bisa membuatmu kembali ceria dan tersenyum," lirihnya.
"Aku bukan Tuhan. Mas tidak boleh bersujud pada manusia. Bangun, Mas!" tegasku tak suka seraya terus mencoba menariknya berdiri.
Mas William menggeleng. "Mas akan bangun kalau kamu janji enggak akan bersikap dingin lagi."
"Iya, tapi Mas-nya bangun dulu," pintaku dengan suara sedikit bergetar. Tak tega melihatnya terisak sambil berlutut.
Perlahan Mas William melepaskan pelukan dari kaki, lalu berdiri dan memegang kedua bahuku samb
Aku semakin dibuat bingung ketika mobil Mas William tiba di sebuah rumah sakit swasta yang cukup jauh dari rumah kami. Alex dan Mas William sudah turun, sedangkan aku sendiri masih bergeming di tempat. Perasaan tak enak ini membuat kaki enggan untuk bergerak."Ayo turun," ajaknya lembut walau itu tak berhasil menutupi raut kesedihan di wajahnya."Kenapa kita ke sini, Mas? Siapa yang sakit?" tanyaku seraya meremas-remas ujung khimar."Ayo!" ajaknya lagi tanpa menggubris pertanyaanku.Meskipun ragu, pada akhirnya aku tetap menyambut uluran tangan itu, lalu turun. Kami berjalan bersama menyusuri lorong rumah sakit dengan satu tangannya yang merangkul bahu, sedangkan satu lagi menggenggam erat jemari ini.Jantung mulai berdetak cepat ketika ruang operasi sudah terlihat jelas di depan mata. Aku menoleh pada Mas William, tapi dia diam dan terus menatap ke depan. Seolah eng
"Alva!"Aku terperanjat bangun dengan napas teesengal. Semua mimpi tadi bagaikan nyata. Dalam mimpi itu, Alva pergi meninggalkanku sendiri dalam kegelapan. Kami sama-sama menangis dengan tangan mungilnya yang melambai-lambai."Alhamdulillah, Ibu sudah sadar," lirih Bi Surti, lalu menyeka air matanya."Memangnya aku kenapa, Bi?" tanyaku bingung."Ibu pingsan tadi. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali. Minum dulu, Bu." Bi Surti menyodorkan segelas air putih."Makasih, Bi," ucapku seraya mengembalikan gelas tersebut. "Oh, ya, Bi. Alva sudah pulang dari jalan-jalannya belum?" Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Bi Surti berubah kaget sebentar, lalu sedih."Sudah diantarkan Bang Leon belum, Bi? Aku takut ada apa-apa, soalnya barusan mimpi buruk.""Bu, istighfar, Bu." Bi Surti menangis sambil mengusap-usap lenganku."Apa, sih, Bi? Aku 'kan hanya tanya Alva sudah pulang belum. Kok, disuruh istighfar. Bibi ini lucu." Aku tersenyum seraya menggeleng, lalu mengambil posisi duduk di tepi ranj
Ibu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Akan tetapi, embun yang menggenang di pelupuk matanya menyiratkan ada kesedihan yang mendalam."Sebaiknya katakan yang sebenarnya, Will. Kasihan.""Iya, Will. Bagaimanapun juga semuanya sudah takdir. Lusi pasti bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas.""Ada apa, sih, Bu?" tanyaku setengah berbisik ketika mendengar perkataan kerabat Mas William.Ibu malah kembali mengusap kepalaku dan tersenyum, tapi air matanya menetes."Sayang ...." Mas William meraih bahu, lalu memutar kembali tubuh ini menghadapnya.Baru saja mulut terbuka dan hendak mengucap sesuatu, tapi dia sudah lebih dulu merengkuh tubuhku erat hingga mulut ini kembali terkatup rapat."Kita ... kita harus ikhlas, Sayang. Kamu harus kuat," ucap Mas William terisak.Aku hendak melepaskan pelukan d
Mas William menatap Mama yang ada di hadapannya seolah meminta pendapat. Setelah itu, dia kembali menatapku setelah mendapat anggukan dari mamanya."Mas akan antar. Tapi kamu harus janji satu hal.""Apa?""Kamu harus kuat. Kamu harus tabah dan ikhlas. Ingat dengan calon bayi yang sedang kamu kandung. Mas dan semua yang ada di sini enggak mau kalian kenapa-napa," ujarnya lembut seraya terus menyeka air mataku yang tidak mau berhenti menetes."Kamu ingat 'kan, betapa sayangnya Alva pada calon adiknya?"Aku mengangguk pelan."Dia pasti akan sangat sedih kalau lihat keadaan kamu begini. Apalagi kalau terjadi sesuatu yang buruk pada calon adiknya. Kamu paham 'kan maksud mas?""I–iya, Mas. A-aku ... kuat. A–aku ... ikhlas," jawabku terbata
Kehilangan Alva benar-benar mempengaruhi mental. Aku serasa hampir gila jika semua orang di sekitarku tidak memberikan dukungan dan semangat.Benar. Ini memang sudah menjadi takdir-Nya, tapi tetap saja sangat menyakitkan. Apalagi Alva perginya dengan cara seperti itu. Membuat hati ini hancur lebur karena merasa bersalah sudah membiarkannya pergi.Andai saat itu aku juga ikut ketika Alva memintanya, mungkin kami bisa bersama di detik-detik terakhir. Andai waktu bisa diputar, akan kucegah Alva dan Bang Leon pergi.Sekarang, semua terasa hampa. Tak ada celotehan dan tawa lucu dia lagi yang biasanya menghiasi rumah ini. Sepi.Seminggu setelah kepergian Alva, aku masih saja murung dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Berbaring sambil memeluk dan menciumi selimut yang biasa dipakainya. Pun memeluk erat mainan robot kesayangan Alva pemberian Bang Leon."Alva ... mama rindu," lirihku sambil terisak memandangi fotonya di layar ponsel."Sayang ...."Lekas kuseka air mata, lalu kembali
Setelah kepergian Alva, aku semakin tidak suka dengan wanita itu. Dia pasti akan memanfaatkan kepergian Alva untuk lebih gencar lagi mendekati Mas William. Aku yakin itu."Mas ambilkan saja makanannya ke sini, ya?" bujuknya seraya menciumi kepalaku. "Enggak apa-apa kalau enggak mau turun. Tapi kamu harus tetap makan."Kuhela napas pelan, lalu mengangguk."Mau dibuatkan jus jeruk kesukaan kamu enggak, hm?""Aku mau jus alpukat saja, Mas. Jus kesukaan Alva," jawabku dengan setitik air mata yang kembali menetes.
Tiga minggu telah berlalu. Kini, aku sudah lebih baik dan bisa mengendalikan perasaan sedih ini. Meskipun, sesekali masih menangis sendiri tanpa sepengetahuan Mas William ketika aku sangat merindukan Alva dan teringat segala aktivitasnya di rumah ini.Hari ini, aku tengah menyiapkan bekal untuk Alex yang katanya akan pergi tour study satu kelas. Setiap murid harus ditemani orangtua atau wali. Alex meminta Mas William pergi dengannya, tapi saat tahu Indira juga ikut, Mas William menolak dengan alasan pekerjaan.Aku merasa lega dan bersyukur karena Mas William menepati janjinya dengan tidak membiarkan Indira berkeliaran di dekatnya. Meskipun, sebenarnya di kantor mereka masih sering bisa bertemu. Namun, aku percaya Mas William tidak akan mengecewakanku lagi.
Taksi yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah sakit. Bergegas aku turun, kemudian berjalan masuk dengan Bi Surti yang memegangi lengan. Menurut yang Mas William infokan di pesan wa, Alex masih menjalani operasi.Sedikit lagi aku tiba, di depan ruang operasi ada pemandangan yang kurang enak di mata apalagi hati. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Perih. Indira sedang menangis dalam pelukan Mas William.Menyadari kedatanganku, wanita itu seolah semakin sengaja mengeratkan pelukannya. Sementara, Mas William yang memang berada dalam posisi membelakangi itu sama sekali tak sadar aku tengah menyaksikan pertunjukan ini."Bu ...."Aku menengadahkan wajah seraya menghela napas berat. Mengerjapkan mata cepat hingga air mata yang hampir luruh ini akhirnya surut kembali."Yang sabar, Bu. Pasti ada penjelasan dari Bapak. Jangan mau terpengaruh dengan ulah wanita ular itu." Bi Surti mencoba menguatkanku."Iya, Bi."Aku mencoba tersenyum walau hati perih. Melanjutkan langkah kembali denga