Ibu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Akan tetapi, embun yang menggenang di pelupuk matanya menyiratkan ada kesedihan yang mendalam."Sebaiknya katakan yang sebenarnya, Will. Kasihan.""Iya, Will. Bagaimanapun juga semuanya sudah takdir. Lusi pasti bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas.""Ada apa, sih, Bu?" tanyaku setengah berbisik ketika mendengar perkataan kerabat Mas William.Ibu malah kembali mengusap kepalaku dan tersenyum, tapi air matanya menetes."Sayang ...." Mas William meraih bahu, lalu memutar kembali tubuh ini menghadapnya.Baru saja mulut terbuka dan hendak mengucap sesuatu, tapi dia sudah lebih dulu merengkuh tubuhku erat hingga mulut ini kembali terkatup rapat."Kita ... kita harus ikhlas, Sayang. Kamu harus kuat," ucap Mas William terisak.Aku hendak melepaskan pelukan d
Mas William menatap Mama yang ada di hadapannya seolah meminta pendapat. Setelah itu, dia kembali menatapku setelah mendapat anggukan dari mamanya."Mas akan antar. Tapi kamu harus janji satu hal.""Apa?""Kamu harus kuat. Kamu harus tabah dan ikhlas. Ingat dengan calon bayi yang sedang kamu kandung. Mas dan semua yang ada di sini enggak mau kalian kenapa-napa," ujarnya lembut seraya terus menyeka air mataku yang tidak mau berhenti menetes."Kamu ingat 'kan, betapa sayangnya Alva pada calon adiknya?"Aku mengangguk pelan."Dia pasti akan sangat sedih kalau lihat keadaan kamu begini. Apalagi kalau terjadi sesuatu yang buruk pada calon adiknya. Kamu paham 'kan maksud mas?""I–iya, Mas. A-aku ... kuat. A–aku ... ikhlas," jawabku terbata
Kehilangan Alva benar-benar mempengaruhi mental. Aku serasa hampir gila jika semua orang di sekitarku tidak memberikan dukungan dan semangat.Benar. Ini memang sudah menjadi takdir-Nya, tapi tetap saja sangat menyakitkan. Apalagi Alva perginya dengan cara seperti itu. Membuat hati ini hancur lebur karena merasa bersalah sudah membiarkannya pergi.Andai saat itu aku juga ikut ketika Alva memintanya, mungkin kami bisa bersama di detik-detik terakhir. Andai waktu bisa diputar, akan kucegah Alva dan Bang Leon pergi.Sekarang, semua terasa hampa. Tak ada celotehan dan tawa lucu dia lagi yang biasanya menghiasi rumah ini. Sepi.Seminggu setelah kepergian Alva, aku masih saja murung dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Berbaring sambil memeluk dan menciumi selimut yang biasa dipakainya. Pun memeluk erat mainan robot kesayangan Alva pemberian Bang Leon."Alva ... mama rindu," lirihku sambil terisak memandangi fotonya di layar ponsel."Sayang ...."Lekas kuseka air mata, lalu kembali
Setelah kepergian Alva, aku semakin tidak suka dengan wanita itu. Dia pasti akan memanfaatkan kepergian Alva untuk lebih gencar lagi mendekati Mas William. Aku yakin itu."Mas ambilkan saja makanannya ke sini, ya?" bujuknya seraya menciumi kepalaku. "Enggak apa-apa kalau enggak mau turun. Tapi kamu harus tetap makan."Kuhela napas pelan, lalu mengangguk."Mau dibuatkan jus jeruk kesukaan kamu enggak, hm?""Aku mau jus alpukat saja, Mas. Jus kesukaan Alva," jawabku dengan setitik air mata yang kembali menetes.
Tiga minggu telah berlalu. Kini, aku sudah lebih baik dan bisa mengendalikan perasaan sedih ini. Meskipun, sesekali masih menangis sendiri tanpa sepengetahuan Mas William ketika aku sangat merindukan Alva dan teringat segala aktivitasnya di rumah ini.Hari ini, aku tengah menyiapkan bekal untuk Alex yang katanya akan pergi tour study satu kelas. Setiap murid harus ditemani orangtua atau wali. Alex meminta Mas William pergi dengannya, tapi saat tahu Indira juga ikut, Mas William menolak dengan alasan pekerjaan.Aku merasa lega dan bersyukur karena Mas William menepati janjinya dengan tidak membiarkan Indira berkeliaran di dekatnya. Meskipun, sebenarnya di kantor mereka masih sering bisa bertemu. Namun, aku percaya Mas William tidak akan mengecewakanku lagi.
Taksi yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah sakit. Bergegas aku turun, kemudian berjalan masuk dengan Bi Surti yang memegangi lengan. Menurut yang Mas William infokan di pesan wa, Alex masih menjalani operasi.Sedikit lagi aku tiba, di depan ruang operasi ada pemandangan yang kurang enak di mata apalagi hati. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Perih. Indira sedang menangis dalam pelukan Mas William.Menyadari kedatanganku, wanita itu seolah semakin sengaja mengeratkan pelukannya. Sementara, Mas William yang memang berada dalam posisi membelakangi itu sama sekali tak sadar aku tengah menyaksikan pertunjukan ini."Bu ...."Aku menengadahkan wajah seraya menghela napas berat. Mengerjapkan mata cepat hingga air mata yang hampir luruh ini akhirnya surut kembali."Yang sabar, Bu. Pasti ada penjelasan dari Bapak. Jangan mau terpengaruh dengan ulah wanita ular itu." Bi Surti mencoba menguatkanku."Iya, Bi."Aku mencoba tersenyum walau hati perih. Melanjutkan langkah kembali denga
Alex masih berada dalam ruang pemulihan sebelum nanti dipindahkan ke ruang perawatan. Aku dan Mas William memutuskan untuk ke musala karena belum sempat menunaikan salat isya. Setelahnya, Mas William mengajakku ke kantin yang ada di rumah sakit ini.Kami memesan dua porsi nasi goreng, dua jus jambu dan dua botol air mineral. Kami memang memesan makanan untuk dua orang, tapi yang makan di sini hanya aku. Mas William sendiri sedari tadi malah melamun dengan tangannya yang memainkan sendok di atas piring."Mas ...." Kusentuh punggung tangannya lembut sampai dia tersadar kembali. "Jangan melamun. Dimakan, Mas. Kenapa hanya diaduk-aduk?""Mas
"Mas bisa tidur di luar atau musala, Sayang. Bukan di sini.""Tapi ....""Sudah, Mas. Pulang saja. Kasihan Lusi lagi hamil besar begitu. Nanti aku langsung kabari kalau Alex sudah sadar," ujar Indira dengan seulas senyum ramah, tapi tetap saja aku merasa curiga dan ragu."Ya sudah. Langsung kabari kalau ada perkembangan apa pun soal kondisi Alex. Mama dan Papa baru akan ke sini besok pagi," ujar Mas William seraya beranjak bangun dari sofa."Iya, Mas." Indira mengangguk."Ayo, Sayang!" ajaknya seraya memban