Mas William menatap Mama yang ada di hadapannya seolah meminta pendapat. Setelah itu, dia kembali menatapku setelah mendapat anggukan dari mamanya.
"Mas akan antar. Tapi kamu harus janji satu hal."
"Apa?"
"Kamu harus kuat. Kamu harus tabah dan ikhlas. Ingat dengan calon bayi yang sedang kamu kandung. Mas dan semua yang ada di sini enggak mau kalian kenapa-napa," ujarnya lembut seraya terus menyeka air mataku yang tidak mau berhenti menetes.
"Kamu ingat 'kan, betapa sayangnya Alva pada calon adiknya?"
Aku mengangguk pelan.
"Dia pasti akan sangat sedih kalau lihat keadaan kamu begini. Apalagi kalau terjadi sesuatu yang buruk pada calon adiknya. Kamu paham 'kan maksud mas?"
"I–iya, Mas. A-aku ... kuat. A–aku ... ikhlas," jawabku terbata
Kehilangan Alva benar-benar mempengaruhi mental. Aku serasa hampir gila jika semua orang di sekitarku tidak memberikan dukungan dan semangat.Benar. Ini memang sudah menjadi takdir-Nya, tapi tetap saja sangat menyakitkan. Apalagi Alva perginya dengan cara seperti itu. Membuat hati ini hancur lebur karena merasa bersalah sudah membiarkannya pergi.Andai saat itu aku juga ikut ketika Alva memintanya, mungkin kami bisa bersama di detik-detik terakhir. Andai waktu bisa diputar, akan kucegah Alva dan Bang Leon pergi.Sekarang, semua terasa hampa. Tak ada celotehan dan tawa lucu dia lagi yang biasanya menghiasi rumah ini. Sepi.Seminggu setelah kepergian Alva, aku masih saja murung dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Berbaring sambil memeluk dan menciumi selimut yang biasa dipakainya. Pun memeluk erat mainan robot kesayangan Alva pemberian Bang Leon."Alva ... mama rindu," lirihku sambil terisak memandangi fotonya di layar ponsel."Sayang ...."Lekas kuseka air mata, lalu kembali
Setelah kepergian Alva, aku semakin tidak suka dengan wanita itu. Dia pasti akan memanfaatkan kepergian Alva untuk lebih gencar lagi mendekati Mas William. Aku yakin itu."Mas ambilkan saja makanannya ke sini, ya?" bujuknya seraya menciumi kepalaku. "Enggak apa-apa kalau enggak mau turun. Tapi kamu harus tetap makan."Kuhela napas pelan, lalu mengangguk."Mau dibuatkan jus jeruk kesukaan kamu enggak, hm?""Aku mau jus alpukat saja, Mas. Jus kesukaan Alva," jawabku dengan setitik air mata yang kembali menetes.
Tiga minggu telah berlalu. Kini, aku sudah lebih baik dan bisa mengendalikan perasaan sedih ini. Meskipun, sesekali masih menangis sendiri tanpa sepengetahuan Mas William ketika aku sangat merindukan Alva dan teringat segala aktivitasnya di rumah ini.Hari ini, aku tengah menyiapkan bekal untuk Alex yang katanya akan pergi tour study satu kelas. Setiap murid harus ditemani orangtua atau wali. Alex meminta Mas William pergi dengannya, tapi saat tahu Indira juga ikut, Mas William menolak dengan alasan pekerjaan.Aku merasa lega dan bersyukur karena Mas William menepati janjinya dengan tidak membiarkan Indira berkeliaran di dekatnya. Meskipun, sebenarnya di kantor mereka masih sering bisa bertemu. Namun, aku percaya Mas William tidak akan mengecewakanku lagi.
Taksi yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah sakit. Bergegas aku turun, kemudian berjalan masuk dengan Bi Surti yang memegangi lengan. Menurut yang Mas William infokan di pesan wa, Alex masih menjalani operasi.Sedikit lagi aku tiba, di depan ruang operasi ada pemandangan yang kurang enak di mata apalagi hati. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Perih. Indira sedang menangis dalam pelukan Mas William.Menyadari kedatanganku, wanita itu seolah semakin sengaja mengeratkan pelukannya. Sementara, Mas William yang memang berada dalam posisi membelakangi itu sama sekali tak sadar aku tengah menyaksikan pertunjukan ini."Bu ...."Aku menengadahkan wajah seraya menghela napas berat. Mengerjapkan mata cepat hingga air mata yang hampir luruh ini akhirnya surut kembali."Yang sabar, Bu. Pasti ada penjelasan dari Bapak. Jangan mau terpengaruh dengan ulah wanita ular itu." Bi Surti mencoba menguatkanku."Iya, Bi."Aku mencoba tersenyum walau hati perih. Melanjutkan langkah kembali denga
Alex masih berada dalam ruang pemulihan sebelum nanti dipindahkan ke ruang perawatan. Aku dan Mas William memutuskan untuk ke musala karena belum sempat menunaikan salat isya. Setelahnya, Mas William mengajakku ke kantin yang ada di rumah sakit ini.Kami memesan dua porsi nasi goreng, dua jus jambu dan dua botol air mineral. Kami memang memesan makanan untuk dua orang, tapi yang makan di sini hanya aku. Mas William sendiri sedari tadi malah melamun dengan tangannya yang memainkan sendok di atas piring."Mas ...." Kusentuh punggung tangannya lembut sampai dia tersadar kembali. "Jangan melamun. Dimakan, Mas. Kenapa hanya diaduk-aduk?""Mas
"Mas bisa tidur di luar atau musala, Sayang. Bukan di sini.""Tapi ....""Sudah, Mas. Pulang saja. Kasihan Lusi lagi hamil besar begitu. Nanti aku langsung kabari kalau Alex sudah sadar," ujar Indira dengan seulas senyum ramah, tapi tetap saja aku merasa curiga dan ragu."Ya sudah. Langsung kabari kalau ada perkembangan apa pun soal kondisi Alex. Mama dan Papa baru akan ke sini besok pagi," ujar Mas William seraya beranjak bangun dari sofa."Iya, Mas." Indira mengangguk."Ayo, Sayang!" ajaknya seraya memban
Menduakan?"Tapi ini permintaan Alex, Mas. Dari dulu dia sering bilang ingin sekali mama papanya itu bersatu lagi. Apa itu salah?" kata Indira sambil terisak."Ya jelas salah. Aku sudah menikah lagi, Indira. Kamu tahu itu, kan?""Alex ingin keluarga yang utuh, Mas. Dia butuh kasih sayang dari Mama dan papanya.""Kasih sayang? Kurasa Alex selalu mendapatkan itu. Lusi sayang sekali padanya biarpun Alex selaku nakal dan kasar. Lusi sudah anggap dia anaknya sendiri. Kurasa Alex enggak akan kekurangan kasih sayang biarpun kita enggak bersama.""Tapi itu beda, Mas. Lusi hanya mama tiri, sedangkan Alex butuh aku —mama kandungnya.""Sudahlah, In. Berhenti menggunakan Alex sebagai senjatamu. Aku ini sudah punya keluarga baru. Salahmu sendiri dulu yang memilih pergi mencampakkanku," debat Mas William."Bukan alasan! Memang Alex sering bilang begitu, kan? Mas jangan membohongi diri sendiri, deh. Lagipula, aku 'kan sudah minta maaf. Kenapa Mas masih saja bahas dan ungkit masa lalu itu?""Yaa kare
Aku spontan meremas khimar di dada mendengar Alex menyebut namaku lirih.Permintaan? Mungkinkah Alex akan meminta ...."Kenapa dengan Tante?""Pah ... aku mau Tante ...."Tidak!Aku tidak sanggup mendengarkan lebih banyak lagi. Ini terlalu menyakitkan. Tanpa harus mendengar pun, aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Aku akan semakin hancur lebur jika ternyata jawaban Mas William adalah setuju. Ditambah lagi kondisi Alex dan keluarga yang mendukung, pasti dia tidak akan berkutik dan tidak sanggup menolaknya.