공유

bab 4

MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 4

"Aku nggak bisa, Ran. Aku nggak mau Farraz kehilangan ayahnya. Aku rela menderita demi kebahagiaan anakku."

"Kebahagiaan macam apa yang akan kamu berikan kepada Farraz? Jika suatu saat dia mengetahui tingkah laku ayahnya dari mulut orang lain, itu akan lebih menyakitkan," ujar Rani kesal dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Apa yang harus aku katakan pada anak berusia lima tahun, Rani? Bahkan ayahnya pulang terlambat saja Farraz sudah uring-uringan. Mas Reza selama ini sangat pandai menutupi tabiatnya itu, pulang kerja on time, selalu bisa menyisihkan waktu untuk kami berdua, hampir tak ada cela."

Dua bulir air mata itu meluncur lagi dari sudut mata Kinar setelah dia selesai berucap. Kebahagiaan yang dia rasakan nyatanya semu. Sifatnya yang mudah percaya juga pemaaf membuat Kinar tak menaruh curiga sedikitpun pada sang suami. Padahal sebelumnya pernah terjadi.

Rani hanya menatap sahabatnya itu dengan tatapan iba, tidak tau lagi apa yang harus dia katakan.

"Cerai bukan solusi tepat untuk saat ini. Mungkin iya aku siap, tapi Farraz? Anak itu tidak tau apa-apa, dia hanya korban!" ucap Kinar, setelah hening beberapa saat.

Kinar menunduk, jarinya memainkan cincin pernikahan yang masih tersemat di jari manis tangan kanannya. Dadanya begitu sesak menahan lara hati.

"Ingat Kinar, kamu juga korban, bukan hanya anak kalian. Setidaknya miskinkan Reza, biar dia tau rasa!" geram Rina.

"Miskinkan!" cicit Kinar.

Kinar tampak berpikir, dahinya berkerut-kerut. Ide Rani ada benarnya, kalau Mas Reza tak punya apa-apa, dia tak akan bertingkah. Tapi, bukankan laki-laki yang selingkuh itu seperti penyakit, suatu saat akan kambuh. Dan hal ini pun sudah pernah terjadi. Pikiran Kinar berkecamuk.

"Kalau soal harta, hampir semua atas namaku, Ran. Selama ini Mas Reza hanya mengelola, termasuk keuangan perusahaan. Aku pikir dia bisa dipercaya, toh semua sudah atas namaku kan!" Papar Kinar.

Mendengar penjelasan Kinar, sontak membuat Rani membulatkan mulut. Matanya beberapa kali mengerjap. Dia benar-benar tak habis pikir dengan sahabatnya. Entah saking baiknya atau saking bucinnya. Beda tipis.

"Lantas kalau semua atas nama kamu, kalau perusahaan bangkrut dan banyak hutang, apa kamu akan tetap kaya? Yang ada kamu harus bayar hutang Kinar!"

"Nggak mungkin kan Mas Reza tega menyelewengkan uang perusahaan." Kinar masih berusaha berpikir positif terhadap suaminya, walaupun hati dan pikiran bersimpangan.

Rani membuang napas kasar. Tangannya memijit pelipis yang seketika berdenyut nyeri memikirkan masalah sahabatnya itu.

"Sudah berapa kali dia bangkrut? Kok kamu masih bisa sih ngomong kayak gitu. Dia saja tega nyakitin kamu. Kalau bukan uang perusahaan, lantas dia selingkuh dapat uang dari mana Kinar?" ucap Rani dengan sedikit kesal.

Entah terbuat dari apa hati Kinar, Rani pun heran dengan jalan pikirannya. Terlalu memikirkan orang sampai lupa memikirkan diri sendiri.

"Modal awal kan emang dari ayah mertua. Aku nggak enak kalau semua sudah atas namaku dan aku masih saja ikut campur urusan perusahaan. Aku berusaha menjaga harga diri Mas Reza di kantor, agar tak diremehkan." Kinar bicara tanpa berani menatap Rani, karena dia mulai menyadari kesalahannya.

"Harga diri seperti apa yang kamu jaga, Kinar?" tanya Rani serius.

"Reza sendiri bahkan sudah membuang harga dirinya dengan selingkuh, lantas apa yang mau kamu jaga lagi?" ujar Rani tajam.

Kinar hanya bisa menunduk dengan air mata yang kembali tumpah. Sungguh hatinya teramat sangat sakit. Dikhianati dua orang terdekat sekaligus. Luka yang sekian lama dia kubur, seolah disayat dan ditaburi garam. Kini, di hadapan Rani benteng itu serasa runtuh. Tidak ada lagi Kinar yang nampak tegar.

Rani membiarkan Kinar menangis lagi. Dia menggenggam kedua tangan Kinar, menguatkannya, bahwa di sini masih ada orang yang peduli dan tulus sayang dengannya. Jika Rani di posisi Kinar pun belum tentu akan sekuat itu. Sudahlah tak ada saudara, orang tua sudah berpulang semua, dan sekarang suami yang harusnya bisa melindungi justru menikamnya.

"Semua belum terlambat, sekarang tenangin dulu hati kamu. Pikirkan baik-baik, mau dibawa kemana pernikahanmu ke depannya Kinar, baru ambil keputusan. Aku hanya bisa jadi pendengar dan memberi saran, semua kembali lagi sama kamu. Yang merasakan dan menjalani pernikahan ini kamu!" ujar Rani, setelah beberapa saat mereka saling diam hanya isak tangis Kinar yang terdengar.

Kinar hanya mengangguk, lalu menyeka sudut matanya. Hari ini pikirannya benar-benar kacau. Ibarat kata setelah dilambungkan keatas langit, tapi langsung dihempaskan kebawah dengan sangat kuat. Kabar keberhasilan perusahaannya menggaet investor untuk ekspor usahanya dibidang kerajinan kayu dan bambu, berbanding terbalik dengan kenyataan pahit rumah tangganya yang harus Kinar terima.

"Ada baiknya kamu mulai periksa data-data dan keuangan perusahaan. Bukan maksud curiga, tapi ini lebih ke bentuk kewaspadaan saja!" Rani mencoba memberi saran.

"Bukankah orang tua Niken bekerja denganmu juga, Kinar?" tanya Rani kemudian.

Kinar mendongak, menatap sahabatnya itu.

"Ya, Ibu dan Bapaknya salah satu pengrajin kayu yang aku rekrut di perusahaan. Kenapa memang?" jawab dan tanya Kinar.

"Mungkin nggak kalau mereka tau hubungan terlarang anaknya?" tanya balik Rani.

Kinar mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Rani. Apakah mungkin mereka tau dan sekongkol? batinnya bertanya. Namun, sisi baik hatinya berkata, tidak mungkin karena selama ini mereka sangat baik dengan Kinar.

Kinar menggeleng-gelengkan kepala, menampik pikirannya sendiri. Begitulah dia, bahkan dalam keadaan disakiti pun pikirannya masih terus positif.

"Aku rasa itu, tidak mungkin Ran. Tapi ada baiknya aku mulai berhati-hati. Makasih udah ingetin!"

Rani hanya mengulas senyum dan mengangguk sebagai jawaban.

Tak berapa lama ponsel Kinar berdering, menandakan ada panggilan telpon masuk. Dia buru-buru menggeser gambar gagang telpon berwarna hijau itu keatas untuk menerima telpon.

"Hallo..."

"........"

"Apa?"

"......"

"Oke, aku pulang sekarang!"

Setelah telpon terputus, Kinar memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Kenapa, Kinar?" tanya Rani, karena melihat raut wajah Kinar yang cemas setelah menerima telpon tadi.

Kinar menghembuskan napas kasar dan memejamkan mata. Tangan kanannya memijit pelipis yang berdenyut nyeri. Hari ini hidupnya benar-benar penuh kejutan.

"Farraz, Ran!"

"Ada apa dengan, Farraz?" tanya Rani penasaran.

"Dia ...."

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status