Share

bab 6

MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 6

Tok tok tok

Terdengar suara pintu diketuk, membuat Kinar yang baru saja selesai mandi mengurungkan niatnya menuju meja rias. Dia berjalan kearah pintu dengan handuk yang masih melilit rambut di kepala.

Kinar membuka pintu perlahan. Saat sudah terbuka Farraz langsung menghambur, memeluk kakinya.

"Hei, jagoan!" ucap Kinar sambil mengelus kepala putranya.

Farraz mendongak, menatap wajah Kinar dengan mata yang sembab. Raut mukanya masih cemberut.

Kinar lalu menoleh pada Tari. "Ditinggal saja, Mbak!" ujarnya dengan seulas senyum.

"Baik, Mbak Kinar," jawab Tari tersenyum lalu mengangguk dan meninggalkan kamar Kinar.

"Ayo, masuk!" ajak Kinar pada putranya.

Perlahan Kinar menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia lalu berjongkok, mensejajarkan tinggi dengan Farraz. Menangkup kedua pipinya yang sangat menggemaskan.

"Anak Mama, gimana sekolahnya hari ini?" tanyanya dengan tersenyum hangat. Bersikap seperti biasa, seolah tidak tau dengan apa yang terjadi.

Farraz tidak menjawab, justru matanya mulai berembun. Membuat wajahnya makin menggemaskan. Kinar pun menciumi pipi gembil itu.

"Hei, ada apa, hmm?" tanyanya lagi.

Farraz menghambur kepelukan Mamanya. Dia terisak. Kinar pun mengusap punggungnya dengan sayang. Membiarkan Farraz menumpahkan emosi terlebih dulu. Dia berusaha membuatnya nyaman. Dengan begitu sang putra akan menceritakan dengan sendirinya, tanpa paksaan. Begitulah Kinar mendidik Farraz.

Setelah dirasa putranya cukup tenang, Kinar melonggarkan pelukan. Menggenggam kedua tangan mungil itu dengan lembut dan menciumnya.

"Mau cerita sama, Mama?" tanyanya. Dibalas anggukan oleh Farraz.

Kinar lalu menggendong Farraz. "Haduh, udah besar ternyata. Mama kepayahan nih, gendong Mas Farraz," candanya, lalu diikuti gelak tawa keduanya.

Kinar lalu mendudukkan Farraz di sofa dekat jendela. Setelah memastikan putranya duduk dengan nyaman, dia beralih membuka jendela. Udara sore yang hangat langsung menerpa wajahnya. Dia mengalihkan pandang ke arah barat, gurat senja sudah mulai terlihat di sana.

Jendela kamarnya menghadap langsung ke taman samping rumah. Kinar bisa leluasa menatap taman di bawah balkon kamarnya, juga sedikit kebun sayur di belakang rumah. Ada beberapa tanaman buah juga, mangga dan jambu, serta kelengkeng. Semua tanaman itu terawat dengan baik oleh tangan Bi Sumi.

"Jadi, Farraz mau cerita apa sama, Mama?" tanya Kinar, setelah dia duduk di samping sang putra.

"Mama, jangan marah, ya!" ucap bocah lima tahun itu dengan muka yang menggemaskan.

"Janji!" ujar Kinar dengan seulas senyum. Dia lalu mengangkat jari kelingking tangan kanannya, sebagai janji tidak akan marah. Farraz pun mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Kinar sambil tersenyum, hingga memperlihatkan gigi depannya yang mulai geripis.

"Farraz ... Farraz, tadi dorong Bilal, Mama!" Farraz mulai bercerita, dengan sedikit ragu. Kinar hanya mengerutkan dahi, tidak mau menyela cerita anaknya. Membiarkan dia bercerita sampai selesai, barulah Kinar akan menanggapi. Hal itu dia lakukan agar yang ditangkap tidak sepotong-sepotong.

"Bilal, nakal sama Naura. Dia rebut bekalnya Naura. Kan Naura udah baik mau bagi makanan, ehh Bilal malah rebut semua. Terus ... dia dorong bahunya, gini, Ma!" celoteh Farraz, lalu dia mendorong pelan bahu Mamanya, memperagakan apa yang dia lihat tadi di sekolah.

"Kata Mama ... anak cowok kan nggak boleh kasar sama cewek. Iya kan?! Harus melindungi," lanjutnya lagi.

Kinar menyimak dengan seksama. Mengangguk dan tersenyum. Dia menatap Farraz, membayangkan, entah apa jadinya jika anak itu tau tentang ayahnya. Kinar mengerjapkan mata dan menggeleng. Mencoba mengusir pikiran yang sempat terlintas.

Tanpa dia sadari, Farraz sudah berlutut dengan kedua tangan mungilnya memegang pipi Kinar.

"Mama, kenapa? Sakit?" tanyanya, lalu menempelkan punggung tangannya di dahi Kinar. Sama seperti saat dia demam, Kinar akan melakukan hal itu.

"Manis sekali, anak Mama!" ujar Kinar. Dia lalu mengecup pipi Farraz.

"Mama, nggak sakit kok. Dahi Mama nggak panas, kan. Mama akan selalu sehat untuk Farraz," lanjutnya.

"Besok lagi, kalau ada teman Farraz yang bandel, kasih tau ibu guru. Jadi, kamu tidak berantem sama temennya. Biar bu guru yang nasehatin. Kalau ada temen cewek yang nyebelin, diemin. Nggak boleh kasar." Nasehat Kinar panjang lebar, lalu dia menjawil hidung Farraz.

Farraz mendengarkan sambil mengangguk-anggukan kepala. "Kan, lama kalau nunggu bu guru, Ma. Kasihan Naura, dia nangis!" katanya.

"Jagoan Mama, melindungi temen cewek nggak harus berantem. Biar apa sih kalau berantem?" tanya Kinar dengan bergaya seperti anak-anak.

"Biar, keren lah!" ucap polos Farraz.

"Jadi ... Bilal nggak nakal lagi, kan takut sama aku," ujarnya lagi lalu berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang, dan mengangkat dagu.

Kinar tertawa geli sekali melihat tingkah putranya. Och, pengen disegani, batinnya. Dia lalu menepuk-nepuk sofa, menyuruhnya duduk lagi.

"Kalau Farraz pengen teman Farraz segan sama kamu, bukan dengan cara berantem. Kamu harus tunjukin sama teman-teman kalau Farraz berbuat baik tanpa kekerasan. Harus tegas, tapi bukan keras."

"Aku, nggak ngerti, Mama!" ujar Farraz sambil menggaruk pipinya.

Kinar nampak berpikir agar anaknya paham dengan apa yang dia maksud. "Kalau ada yang bandel dinasehatin aja, nggak boleh dibales, oke?"

"Oke, Mama!" jawab Farraz dengan senyumannya.

"Aku mau ke bawah, mau nunggu Ayah pulang," ucapnya lagi setelah melihat jam dinding yang jarum pendeknya sudah ada di angka lima. Farraz memang sudah hafal angka, sekali diajari tentang jam langsung paham. Ya, walau hanya sekedar jarum pendek. Dia belun paham betul membaca tentang jarum panjang di jam.

Setelah mencium pipi Mamanya, Farraz berlari keluar kamar. Mencari pengasuhnya untuk diajak menunggu sang Ayah di depan teras. Begitulah kebiasaannya. Dan Kinar biasanya akan menyambut di ruang tamu. Tapi kali ini dia hanya ingin mengurung diri di kamar.

Kinar beranjak dari duduknya. Menatap senja dari balik jendela. Meraup rakus udara di sekitar, dan menghembuskannya perlahan.

Dia menutup jendela, karena langit mulai gelap. Lalu membuka pintu balkon, berjalan keluar sekedar melihat sekeliling. Kinar bersandar pada pagar balkon, menatap senja di ujung barat yang perlahan berganti gelap.

Tak berapa lama terdengar suara teriakan Farraz menyambut Ayahnya. Kinar pun melihat ke bawah. Dia lalu tersenyum miris. Entah akan seperti apa jika putranya sampai tau. Melihat teman sekolahnya dinakalin saja sampai berantem, apalagi kalau tau Mamanya disakiti.

"Astagfirullah," lirih Kinar.

"Aku, harus segera menyelesaikan masalah ini. Ya Allah ... sakit sekali," gumamnya sambil memejamkan mata dan mengusap dadanya.

Dia lalu menyeret langkah kakinya masuk ke kamar. Menutup pintu balkon dan menguncinya. Juga menutup hordeng jendela. Dia mendesah pelan, lalu menuju saklar lampu yang letaknya tidak jauh dari pintu.

Sementara di bawah, seperti biasa Farraz meminta gendong Ayahnya. Mereka bergurau seolah tidak terjadi apa-apa di rumah itu. Reza begitu pandai menutupi semuanya. Pantas jika Kinar tidak menaruh curiga. Padahal ini bukan kali pertama.

"Mama kemana, jagoan?" tanya Reza dengan menjawil gemas pipi Farraz dalam gendongannya. Dia paham istrinya pasti tidak akan menyambut seperti biasa, setelah apa yang terjadi hari ini.

"Tadi, ada di kamar. Aku tadi habis cerita banyak sama, Mama!" celoteh anak itu.

"Och, ya, Pasti seru!"

Farraz hanya mengangguk menanggapi ucapan Ayahnya.

Setelah menurunkan Farraz di sofa ruang tamu, Reza menoleh ke lantai dua rumahnya. Dia melihat Kinar ada di ujung tangga, hendak turun tapi ragu.

Mereka saling menatap cukup lama. Sampai akhirnya Kinar balik badan, mengurungkan niatnya untuk turun.

"Kinar!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status