Arc Dewa PenempaTrailer secara garis besar dan terpotong-potong, alur cerita nanti tidak musti sama persis dengan ini. Hanya sebagai kerangka dan pedoman arah cerita mau ke mana.Aura ranah jiwanya telah hancur, hanya menyisakan aura naganya. Adlar menaruh penuh curiga kepada Akara, berusaha mengorek informasi dan memanfaatkannya. Di wilayah klan Vasto, Akara menghajar seorang pemuda klan Vasto yang ternyata kekasih dari seorang Zur Adlea (Keturunan ranah Dewa). Membuat Akara mendapatkan banyak masalah karena kelakuan gadis itu. Terlihat juga seorang Zurrark (Anak ranah Dewa) dari klan Sheva yang mendeteksi tubuh anaknya, seorang Zur yang Akara bunuh dalam perburuan sebelumnya. Saudari Adlea yang seperti kembarannya bernama Adlia, memiliki perasaan yang berbeda kepada Akara, ia terus mendekati Akara dengan rasa suka. Masalah merembet hingga nenek kedua gadis muncul, bersama beberapa Zurrark dari klan Vasto. Terjadilah pertandingan menempa melawan para Zur. Akara tidak bisa mengguna
Sebuah ruangan yang terlihat seperti gua batu, duduklah pemuda di atas altar. Pemuda yang telah bertelanjang dada dengan bekas luka tebasan, dari pundak kanan hingga ke bawah dada kirinya. Ia menjulurkan satu tangannya, lalu menghentakkan jari-jarinya melebar. Muncullah api hitam yang menyelimuti tangannya, tapi segera menghilang saat ia mengibaskan tangannya pelan dan menyentuh bekas lukanya."Belum bisa hilang sepenuhnya, tapi untunglah apiku tidak terpengaruhi lagi," gumamnya. "Pria klan Vasto itu menyembuhkanmu, pasti ada sesuatu yang dia inginkan. Berhati-hatilah, aura ranahmu telah hancur, jika ada kesempatan langsung saja berteleport pulang." Serin masih tenang menasehatinya dan Akara berdiri sambil menjawab. "Baik mama!"Kilatan listrik merah tiba-tiba menyelimuti tubuhnya, dengan luapan energi yang tak terkendali. "Kenaikan aura naga?" Serin bertanya dengan ragu dan Akara segera mengangguk. Di atasnya muncul empat li
Magma menyelimuti dinding ruangan berbentuk kubah, seakan ada pembatas transparan hingga cairan panas itu tidak tumpah. Ruangan dengan sebuah ranjang, terlihat begitu terang karena magma merah yang terus bergejolak. Salah satu sisi magma bergerak, memberikan sebuah lorong kecil dan muncullah Adlar bersama Akara. "Ambillah!" Pria itu melemparkan lempengan kartu logam kepada Akara dan kembali berkata. "Kartu itu tidak hanya untuk masuk ke ruangan ini, tapi juga semua tempat di kota Laut Panas. Tidak ada yang bisa menyinggungmu jika menunjukkan kartu itu. Jika ingin lebih bersantai, pergilah ke atas." Ia menunjuk ke arah sebuah lubang tepat di atas kubah ruangan. "Baiklah!" jawab Akara sambil menyapu pandangan. Sedangkan Adlar mulai melangkah pergi, tapi segera terhenti dan berbalik sebelum berkata."Masih ada cincin seperti yang dimiliki wanita malam sebelumnya?"Tanpa basa-basi, Akara menjentikkan jarinya dan meluncurlah sebuah cincin yang langsu
Akara mengikuti Adlar, memasuki ruangan dengan altar batu yang sangat luas. Bukan sekedar ukiran batu, namun magma merah menyala mengalir di sela-selanya, membuatnya terlihat seperti lingkaran formasi yang menyala. Ia menyapu pedangan, melihat magma yang juga menyelimuti segala sisi dan akhirnya tertuju ke tengah altar, ada pancuran magma yang bertingkat seperti pagoda. "Jika tidak ada aura Alkemis, bagaimana cara kalian menempa?" Pria abu-abu bertubuh tinggi kurus mengibaskan tangannya, seketika pancuran magma berubah bentuk, menjadi sebuah tungku pembakaran. "Kami memanfaatkan altar. Aliran energi kita saat melakukan pembakaran akan ikut mengalir dengan magma. Aliran ini yang akan menjaga formasi tetap menyala," jawab Adlar sembari menunjuk magma yang mengalir di sekitarnya. "Oh?" Akara lalu berjalan ke samping dan menjulurkan tangannya. Ia merenggangkan jari-jarinya perlahan, namun bilah dimensi terbentuk sangat lebar. Altar rusak, membuat
Aliran magma yang membentuk formasi semakin lebar kerusakannya, hampir seperempat dari seluruh sisi altar. Beberapa senjata tingkat Suci sudah melayang, berselimut energi putih di sekitar tungku penempa. Sang penempa masih nampak bersemangat, bertelanjang dada dengan tubuh kurusnya yang masih terbentuk otot. Sepasang belati melayang di depannya, dengan aliran energi dari formasi di altar magma yang mengalir, masuk ke dalam belati. Merasa bosan, pemuda yang duduk di ujung ruangan segera bangkit dan berkata. "Ada ruangan untuk menempa lainnya?""Pergilah ke ruangan lainnya dengan kartu yang aku berikan!""Kabari aku jika sudah bisa mengendalikan formasi sepenuhnya tanpa bantuan altar." ucapnya seraya melangkah ke salah satu sisi dinding. Tanpa melakukan apapun, dinding magma terbuka otomatis dan kembali menutup saat ia melewatinya. Lorong luas dengan langit-langit setinggi lima meteran yang juga transparan, hingga warna merah menerangi seluruh sisi. Cukup banyak klan Vasto yang berlal
Beberapa hari kemudian, Akara telah selesai menempa, dengan beberapa pasak seperti tombak yang sudah melayang di sekitarnya. Dengan tubuh penuh keringat, ia meraih salah satu pasak dan berjalan ke arah pancuran magma di tengah altar. Begitu santai ia jatuhkan tepat di tengah pancuran, tapi pasak segera melesat memasuki aliran magma. Beberapa pasak lainnya juga menyusul. Ia lalu segera pergi, tidak ada yang berani berkomentar tentangnya lagi. Ketika berpapasan, mereka hanya menyingkir dan bergegas menghindar. Sesampainya di ruangan Adlar, bukan pria berpupil tiga yang tengah berlatih. Namun pemuda berpawakan tenang yang setengah bagian atas wajahnya bernoda hitam. Seperti habis dicelup ke dalam tinta, juga bekas tetesan turun ke pipinya. "Sepertinya kau terlalu fokus sampai tidak mendengar teriakanku dari luar!" seru Adlar yang ada di sisi samping, bersama kedua gadis yang salah satunya menatap sinis Akara. "Oh?" jawab Akara sambil mengamati pemuda di pusat altar yang masih menyempu
Pemukiman berada pada gunung-gunung batu yang mencuat, melubanginya hingga seperti deretan gedung-gedung. Karena bagian bawahnya merupakan lautan air panas, mereka membuat jembatan di atas batu pencakar langit. Ada juga beberapa pulau yang melayang di udara. Keramaian di sana sedang membicarakan satu hal yang sama. Pertandingan menempa? Iya, Zur Adlea yang mengumumkannya. Pantas saja, manusia itu yang sebelumnya menghajar tuan muda Roldan. Pergerakannya sangat cepat sekali seperti tidak terpengaruhi belenggu kota! Kabarnya manusia itu juga diangkat menjadi murid tuan Adlar. Sangat menarik! Manusia misterius yang menjadi murid tuan Adlar melawan salah satu jenius generasi ini! Di tempat lain, tepatnya di sebuah ruangan di salah satu batu pencakar langit. Adlia duduk di samping saudarinya yang sedang menyantap kue. "Adlea, apa perlu sampai seperti itu?" "Memangnya kenapa kak? Budak itu yang memulai masalah!" jawabnya dengan ketus sambil tetap menyantap kuenya, tapi Adlia masih santa
Baru sadar ternyata malah pada spam vote :") Bang Joehandi masih memimpin, disusul bang Harly89 Junior yang juga langsung spam banyak, ada bang Imron Rosid dan yang lainnya juga. Makasih banyak para pembaca lama yang masih ngikutin Akara, buat pembaca baru selamat datang. Kalau ada kekurangan silahkan hujat Author, akan Author coba perbaiki. Author sudah ada catatan sampai end mau bagaimana, nasib karakter akan jadi apa, tapi ada aja yang tanpa disengaja berasa mengendalikanku. Alur sebenarnya mau ke jalur A, tapi berubah gara-gara kemunculannya, nasib karakter lain juga berubah gara-gara dia. Padahal cuma sekedar muncul dan tindakannya gak tertuju langsung pada Akara, bahkan juga tanpa melakukan apapun. Kalau Author tetep maksa ikuti alur awal malah gak jalan, harus mengikuti kemauannya dulu. Dari awal bukan hanya mengendalikan perjalanan Akara, tapi Author sendiri berasa disetir sama dia. Keberadaannya bisa Author katakan tertinggi, tapi kok malah jadi sampai ngendalikan Author sen