Ansel berdiri mematung di tempatnya sambil menatap Aruna yang berada di ambang pintu. Bahkan kelopak matanya sampai berkedip beberapa kali karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kamu benar-benar mabuk,” ucap Ansel dengan tatapan tak teralihkan dari sang istri. “Tidak juga,” jawab Aruna sambil berjalan perlahan ke arah Ansel. Aruna berganti pakaian dengan lingerie hitam yang kontras dengan kulitnya. Pakaian kurang bahan itu sudah disiapkan sejak siang sehingga Ansel tak tahu kapan Aruna mendapatkan pakaian itu. “Jangan memancing, Runa. Kamu tahu kita belum boleh melakukannya,” ujar Ansel mencoba menahan diri meski tak mau mengelak jika terpesona dengan penampilan Aruna. Aruna berjalan mendekat ke Ansel, lantas berdiri di depan suaminya sambil merangkulkan kedua tangan di leher Ansel. “Siapa belum boleh? Aku sudah bersih sejak satu atau dua minggu lalu, sudah berkonsultasi dengan dokter juga. Hanya saja, aku belum boleh hamil sebelum 3 bulan. Jadi, kalau hanya berhubungan
“Katanya jalan-jalan, kenapa malah tidak pulang?” tanya Bintang sambil menatap Aruna dengan rasa curiga. Ansel berdeham lantas memilih pergi ke kamar lebih dulu. Bintang mengamati menantunya yang pergi menaiki anak tangga, lantas menatap Aruna yang masih di hadapannya. “Ih … Mommy kayak ga tahu aja. Kami kadang butuh waktu berdua, Mom. Mumpung aku juga sudah boleh, siapa tahu bisa jadi cucu buat Mommy,” ujar Aruna menjelaskan agar Bintang tak marah karena mereka tak memberi kabar jika tak pulang. “Hm … merayu?” Bintang memicingkan mata. Aruna tertawa melihat Bintang yang bersikap posesif seperti itu. Dia lantas memeluk sang mommy. “Mommy makin cantik kalau sedang marah.” Aruna kembali merayu. “Kalau begitu bagus mommy marah, kan. Biar kelihatan makin cantik,” balas Bintang menyindir. Aruna semakin tergelak mendengar ucapan Bintang. Dia gemas sampai mencium lama pipi wanita itu. “Runa, ish!” Bintang berusaha melepaskan diri dari sang putri. “Aku sayang Mommy yang selalu mence
Aruna dan Ansel mengajak Emily jalan-jalan, tapi sebelum itu mereka pergi ke kafe Bumi. “Paman Bumi!” Emily langsung menyapa Bumi yang menyambut kedatangannya. “Dipanggil dengan sebutan Paman, kenapa aku merasa sangat tua?” Bumi bicara dengan nada candaan sambil menatap Emily. Emily tersenyum lebar mendengar ucapan Bumi. “Kan biar sopan, mana bisa aku manggil Bumi saja seperti Mami dan Papi kalau manggil Paman,” celoteh Emily. Bumi menghela napas, lantas menatap Aruna dan Ansel yang menahan tawa. “Lagian, kamu memang sudah tua, kenapa tidak mau dibilang tua,” protes Aruna. “Suamimu juga tua, kenapa hanya aku yang dibilang tua!” protes Bumi balik. “Suamiku memang tua, tapi dia tampan dan sudah ada yang punya,” balas Aruna tak mau kalah, lantas diakhiri dengan gelak tawa. “Aku juga laku, nunggu sah saja,” ujar Bumi penuh percaya diri. Emily pusing sendiri melihat Bumi dan Aruna berdebat. Bahkan anak kecil itu sampai berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala. “Sama-sama tu
Hanzel masih menunggu di depan gerbang. Dia berdiri bersandar sisi mobil sambil menyilangkan kedua tangan di dada, hingga dia melihat satpam berjalan bersama Jill menuju gerbang.Hanzel langsung menegakkan badan sambil mengamati Jill yang sedang berjalan ke arahnya.“Kenapa kamu ke sini?” tanya Jill saat sudah sampai di hadapan Hanzel.Hanzel menatap wajah Jill yang masih pucat, tapi wanita itu masih bisa tersenyum.“Kamu tidak membaca pesanku sejak semalam. Aku hanya cemas karena kondisimu semalam,” ujar Hanzel.Jill tersenyum mendengar ucapan Hanzel, lantas membalas, “Aku belum melihat ponsel sama sekali. Bahkan ponselku masih di tas. Semalam aku langsung tidur, jadi tak tahu kalau kamu mengirim pesan. Bahkan aku mungkin masih tidur kalau tidak dibangunkan pembantu.”Hanzel menatap Jill dengan cemas. Dia mengulurkan tangan ingin menyentuh kening Jill, tapi wanita itu secara spontan mundur.Jill merasa canggung saat Hanzel hendak menyentuh keningnya. Dia pun memilih mundur untuk meng
Hanzel tampak kesal setelah membaca pesan dari sang oma. Dia sedang berada di mobil dalam perjalanan pulang, tapi sang oma mengirim pesan untuk membeli sesuatu.[Bukankah Oma biasanya buat sendiri, kenapa sekarang beli?]Hanzel mengirim pesan sambil menyetir. Dia menyetir dengan kecepatan rendah sambil menunggu balasan dari sang oma.[Opamu bilang ingin makan kue seperti yang dimakan di pesta kemarin. Oma sudah menghubungi karyawan tokonya untuk menyiapkan agar kamu tinggal ambil saja.]Hanzel menghela napas kasar. Dia malas pergi ke toko waktu itu karena takut jika tiba-tiba melihat Milea lagi. Dia pun belum tahu kalau toko itu milik Milea.[Baiklah.]Hanzel tak bisa menolak permintaan sang oma. Dia pun akhirnya memutar arah mobil untuk pergi ke toko kue yang dimaksud sang oma.Hanzel sudah sampai di parkiran toko. Dia tak langsung turun, tapi memilih mengamati lebih dulu apakah ada kemungkinan akan bertemu Milea lagi atau tidak.Setelah merasa aman dan tak ada tanda-tanda Milea di d
“Kai, kenapa tadi marahin orang seperti itu?” tanya Milea saat sudah berada di dalam bersama Kainan.Milea berlutut di depan Kainan yang duduk di kursi sambil menggenggam kedua telapak tangan Kainan.Milea harusnya bersyuku karena Hanzel tak mengejarnya lantas membahas masa lalu.“Kai ga suka kalau ada yang jahat sama Mama,” jawab Kainan sambil menggelembungkan kedua pipi, menunjukkan kalau dia sedang marah.“Dia tidak jahat. Mama saja yang salah, makanya tadi dia marah-marah,” ujar Milea menjelaskan.“Tapi dia ga boleh bentak-bentak Mama! Oma dan Opa bentak saja, Kai tidak suka. Apalagi dia!” Kainan kekeh tak terima ada yang menyakiti ibunya.Milea mencoba tersenyum dengan kemarahan Kainan. Putranya itu sangat menyayanginya, sehingga kadang begitu posesif meski sebenarnya penakut.“Iya, nanti kalau ketemu dia lagi atau orang lain, mama akan minta agar tidak bentak-bentak biar Kai tidak marah,” ujar Milea sambil menggenggam erat kedua telapak tangan mungil putranya itu.Kainan mengang
“Lain kali jangan suruh aku ke sana, Oma.” Hanzel memberikan kue yang dibawanya ke sang oma dengan ekspresi wajah kesal. “Lho, kenapa?” Sang oma bingung karena Hanzel terlihat kesal dan marah. Hanzel tak menjawab pertanyaan sang oma. Dia langsung pergi begitu saja. Hanzel berpapasan dengan Cheryl, tapi dia juga tak menyapa wanita itu. “Kenapa lagi dia?” Cheryl kebingungan melihat sikap Hanzel. Cheryl menoleh ke sang mertua yang sedang menatap bingung ke Hanzel. Dia pun mendekat ke wanita tua itu. “Hanz kenapa lagi, Mi?” tanya Cheryl. “Mami tadi minta dia ambilin pesanan kue, eh pulang-pulang kok kesel dan bilang jangan menyuruhnya ke sana lagi,” jawab wanita tua itu, lantas membuka paper box yang diberikan Hanzel, takut ada masalah dengan kuenya karena Hanzel emosi. “Tumben-tumbenan dia disuruh marah-marah?” Cheryl pun ikut bingung. Sang oma mengecek kue yang dibawa Hanzel, tidak ada masalah tapi keheranan karena Hanzel kesal. “Padahal yang punya toko sangat ramah, anaknya
Hanzel benar-benar pergi menemui Jill. Mereka janji bertemu di sebuah kafe setelah Jill mengiakan menemui Hanzel.“Maaf kalau sebelumnya aku tidak menjawab panggilanmu. Apa karena itu sekarang kamu ingin bertemu? Padahal besok masih ada waktu lain untuk bertemu,” ucap Jill sambil menatap Hanzel yang kini sudah ada di hadapannya.Hanzel menatap Jill yang kini bersamanya. Sejak bersama Jill, banyak hal yang bisa dilepaskannya, termasuk beban kerja yang berat.“Entahlah, aku tidak bisa menunggu besok,” balas Hanzel.“Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Jill sambil menatap serius ke Hanzel.“Jill, apa kamu akan pergi meninggalkanku?” tanya Hanzel tiba-tiba.Jill sangat terkejut mendengar pertanyaan Hanzel. Bahkan secara impulsif sedikit memundurkan tubuh, padahal sebelumnya dia sedikit maju ke meja.“Ap-apa? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”Hanzel menarik napas panjang lantas menghela perlahan seolah siap bicara.“Tidak ada, aku hanya takut kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Aku tahu i