Perasaan Hana sedikit tak tenang, tapi ia coba redamkan dengan menyibukkan diri pada hal-hal lain."Ma, udah nelpon Papa belum?" tanya Syaina ketika bocah itu menghampiri sang ibu."Handphone Papa ketinggalan di rumah temannya, Nak.""Yah, kok bisa ketinggalan gitu?""Ya namanya juga lupa Sayang, nggak ada yang bisa halau."Syaina memasang wajah malas."Yuk makan siang dulu ya, Nak.""Nggak mau. Pengen ngomong sama Papa dulu.""Gini deh, sekarang kita makan dulu. Habis itu kita coba telpon Papa lagi, siapa tahu Papa udah balik untuk ambil ponselnya."Syaina bergeming sejenak."Yaudah deh."Akhirnya bocah itu mau menyantap makan siangnya. Sementara di Jakarta, Langit yang baru berjalan sepuluh menit tersadar jika ponselnya tak ada di saku celana. Secepat kilat ia memutar setir untuk kembali ke rumah Lina. Lelaki itu yakin jika tadi tak sengaja neningalkan benda tersebut di atas bangku taman rumah Reno.*"Jadi tadi Hana sempat video call?" tanya Langit sedikit cemas."Iya, Mas. Aku bil
Berada sedekat itu dengan Langit ternyata membuat efek berbeda dalam tubuh Hana. Degup jantungnya menyentak tak biasa tersebab ingatan akan sesuatu yang pernah terjadi empat tahun silam kembali membekas dalam jiwa.Flash back "Aku mau mandi, bisa kamu bantu siapkan air panas."Hal yang aneh, ditengah malam buta Langit pulang dan memintanya menyiapkan air panas untuk mandi. Meski penasaran, Hana menuruti permintaan suaminya kala itu. Tapi ada sesuatu yang aneh, tubuh sang lelaki penuh keringat. Napasnya pun terengah-engah dengan wajah memerah seperti sedang menahan sesuatu.Usai mandi sekitar lima belas menit, dengan hanya memakai handuk Langit keluar dan naik ke ranjang."Aku tidak mampu lagi menahannya."Hanya itu yang diucapkan sang lelaki, lalu ia merenggut kesucian Hana dengan cara yang menurut wanita itu benar-benar seperti tak sadarkan diri.Tak lama dari malam itu, berita kehamilan Hana pun tersebar. Ibu dan ayah mertua sangat bahagia, tapi tidak dengan Langit. Ia terus memasa
"Kita tetanggaan walau nggak pernah saling tegur sapa," jawab Kalila. Hana hanya tersenyum.Dia tahu Kalila, semenjak kecil sudah mengenal. Tapi memang wanita itu jarang keluar rumah, pun tidak pernah bergaul dengan remaja komplek. Dia hanya berteman dengan sahabat-sahabatnya saja teman sekolahan. Berbeda dengan Dafa yang lebih berbaur dengan lingkungan. Hana bahkan tak pernah berbicara dengan Kalila jika bukan suatu hal yang penting."Mbak Kalila ini adiknya Mas Dafa, Mas."Langit tampak mengingat-ingat nama yang disebutkan istrinya itu."Yang kemarin ketemu di pestanya Salsa?" tanya lelaki itu memastikan.Hana mengangguk."Jadi Mas sempat datang juga ke pestanya Salsa?" Kalila kembali melempar pertanyaan."Iya, tapi kita datang udah agak sorean.""Pantesan nggak ketemu, padahal aku juga datang ke acara itu," ucap Kalila lagi."Wah, kenapa jadi kebetulan begini ya?"Langit jadi tak habis pikir bisa sekebetulan itu takdir tertulis."Oya, di sini menginap dimana?"Sang lelaki kembali
Hana hendak bangkit, tapi jemari sang suami yang memegang bahunya membuat wanita itu tak dapat bergerak. Netra Langit tertuju pada bola mata di hadapannya yang menatap tak berkedip. Jemari yang tadi hanya berfungsi untuk menahan kini digerakkan untuk mendorong. Diawal memang terasa tertahan oleh penolakan sang istri, tapi ketika Langit berhasil menyentuh bagian teranum milik sang istri. Perlawanan yang dilakukan Hana perlahan terelai.Inilah malam pertama sesungguhnya. Yang dilakukan Langit atas kesadaran penuh. Semakin lama, Hana pun semakin larut dalam penyatuan cinta mereka. Tasbih dan doa terucap dengan harapan sunnah yang mereka lakukan akan menghasilkan putra dan putri yang shalih serta shalihah.Bagi Langit, malam ini, ia seperti baru pertama kali menyentuh seorang wanita. Sebusuk-busuknya ia, Langit tidak pernah menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Pada Hana lah ia melepas keperjakaan, meski dahulu dilakukannya dalam keadaan mabuk.Dan malam inilah ia sempurna merasakan men
Langit masih ingin memantau, tapi panggilan dari ruangan poli anak membuatnya tak dapat mengelak. Banyak pasien yang sudah mengantri untuk diobati, akhirnya lelaki itu memilih untuk kembali menjalankan tugasnya, dan berjanji akan menemui Dafa selepas dinas nanti.Jam terus bergulir, kini tepat menunjukkan pukul dua belas siang hari. Setelah selesai memeriksa pasien terakhir, Langit segera keluar ruangan dan berjalan menuju ruang bersalin.Ia langsung berjalan ke bed lima, tempat dimana tadi melihat Dafa masuk. Dua netra lelaki itu membelalak, ranjang bersalin sudah kosong."Kemana perginya pasien di bed ini?" tanya Langit pada perawat jaga."Baru keluar sekitar setengah jam yang lalu, Dok."Langit hanya bisa menghela napas. Dia mencoba mengecek ke parkiran, siapa tahu masih ditemukan di tempat tersebut. Namun ia tak mendapatkan apapun di sana. Bahkan Langit juga sudah mengecek ke luar halaman, tak jua mendapati Dafa dimanapun.Meski masih memendam penasaran, ia terpaksa menyimpan rasa
Mereka duduk di taman, pada satu bangku panjang. Hana, Syaina dan Dafa."Ma, es krimku udah habis. Aku boleh main plosotan nggak?""Boleh, Nak. Tapi hati-hati, ya."Syaina mengangguk dan berlari ke arah permainan. Sementara masih di tempat duduk, Hana yang sedikit risih setelah kepergian putri kecilnya, menggeser posisi lebih menjauh dari Dafa."Katanya tadi ada hal penting yang mau diomongin, ayo Mas sampaikan aja terus."Dafa terkekeh perlahan."Cuma mau bilang, Mama titip salam rindu untukmu."Dua netra milik Hana membulat."Itu hal pentingnya, Mas?""Iya. Ini justru lebih penting dari lain hal."Hana tersenyum."Bu Maryam apa kabarnya, Mas?""Mama sehat, diusianya yang sudah tua. Masih suka ngumpul-ngumpul seperti anak muda.""Alhamdulillah."Hana menarik napas dalam, teringat pada kedua orang tuanya yang tak lain adalah sahabat karib orang tua Dafa."Jika kedua orang tuaku masih hidup, mereka pasti seperti Bu Maryam.""Iya benar. Tapi usia manusia itu rahasia Allah, tak ada yang
"Hallo Syaina, gimana keadaan kamu, Nak?" tanya Dafa pada putri Langit dan Hana.Syaina tak menjawab, ia menunjukkan sikap tak bersahabat. Paham diabaikan, Dafa segera menyerahkan hadiah untuk gadis kecil itu dan berniat pamitan dari ruangan tersebut."Ini ada hadiah untuk Syaina, semoga Syaina suka ya hadiah dari Om ini."Sebuah kotak tertuju pada gadis kecil itu, tapi Syaina tak bereaksi. Hingga Hana mengulurkan tangannya untuk meraih benda tersebut."Makasih ya, Mas."Dafa mengangguk dan tersenyum."Yaudah, Om pamit ya. Om doakan semoga Syaina lekas sembuh supaya bisa main lagi sama Mama."Syaina tersenyum paksa, ketika jemari Dafa mengusap kepalanya."Mas pamit ya, Han."Hana mengangguk. Setelah itu, dua netra Dafa tertuju pada Langit, tak ada kata tapi tubuh sang lelaki berbalik dan keluar dari ruangan tersebut.Hana dan Langit saling berpandangan."Apa isi kotak itu, Ma?"Pertanyaan Syaina membuat Hana tersentak. Pandangannya kini tertuju pada sang buah hati."Kita buka di rumah
"Hallo.""Iya, Sayang.""Mas dimana?""Em, Mas masih di jalan.""Tapi udah lebih satu jam?""Iya, tadi Mas habis nolongin teman. Kebetulan dia kena musibah.""Perempuan?""Em, laki-laki.""Musibah apa?""Nggak ada kendaraan untuk pulang. Mobilnya mogok.""Oh, jadi Mas habis nganterin dia pulang? Kemana?""Kembangan.""Jadi sekarang Mas udah dimana?""Udah jalan balik kok, lima belas menit lagi Mas sampai. Masih sanggup nunggu atau mau istirahat duluan?""Udah nanggung Mas kalau tidur, Hana tunggu Mas pulang aja.""Makasih ya, maaf terlambat.""Iya, hati-hati, Mas."Sekitar tiga puluh menit perjalanan, Langit sampai di halaman rumah. Ia menarik napas dalam. Merasa bersalah karena tadi sudah membohongi Hana soal penumpang dalam mobilnya. Begitu saja otak memerintah untuk menukar kata yang ingin dia ucapkan.Salah satu yang menjadi alasan adalah merasa tak enak pada Hana jika wanita itu tahu ada wanita lain yang masuk ke mobilnya di malam hari. Meskipun sifatnya hanya untuk menolong, tap