Aa tersenyum ke arahku, entah kenapa dua netra ini langsung menatap ke depan memastikan siapa supir taksi ini. Seketika harus kumembuang napas kasar menyaksikan senyum semringah Mas Rian yang duduk di balik kemudi. "Silahkan masuk Mbak, saya akan mengantar sampai tujuan." Entah kenapa melihat kelakuannya aku sedikit kesal. "Nggak ada kerjaan lain, Mas?" Mas Rian terdiam, tahu aku tidak suka. "Ini taksi siapa?" "Taksi orang Ma, Papa bayar untuk jemput Mama dan ajak aku jalan-jalan." Aku menghela napas panjang melihat sikap mantan suamiku itu. "Mas nggak perlu repot-repot seperti ini, aku bisa pulang sendiri." Masih berdiri di depan pintu, aku mencoba menolak ajakannya. "Nggak repot kok, tadi Aa yang bilang kalau mobilmu di pinjam Arif. Makanya Mas sekalian yang jemput." "Ayo Ma, masuk." Ajakan Aa membuat egoku sedikit turun, lalu dengan sungguh terpaksa aku melangkah masuk dan duduk di samping Aa. "Mau langsung pulang atau keliling-keliling dulu." "Pulang." "Keliling-kel
Sudah dua hari aku di Jakarta untuk menjalani serangkaian pemeriksaan guna menunjang diagnosa pasti, setelah pemeriksaan biopsi kemarin. Hari ini hasil pemeriksaan MRI tersebut keluar, entah kenapa ada rasa deg-degan saat memasuki ruangan teman sekaligus dokter yang menanganiku saat ini. Aku melihatnya mengeluarkan sebuah amplop besar, lalu menghela napas berat."Glioblastoma?" tanyaku lirih tanpa membaca sendiri penampakan pada lembaran pemeriksaan itu.Dia mengangguk, sungguh membuat dada ini menyentak kuat."Apa ini tidak salah? Mungkin hasilnya keliru, lakukan MRI sekali lagi," ucapku dengan suara bergetar sembari menggoyang-goyangkan bahunya."Pemeriksaan yang sudah dilakukan itu dikerjakan dengan sangat teliti."Tubuhku terhempas kembali pada sandaran kursi mendengar jawabannya, sementara degup jantung seolah berhenti. Sungguh kecewa dengan apa yang kuketahui kini."Aku tidak percaya, aku akan ke Singapura untuk mengecek ulang. Pasti ini ada yang keliru,"ucapku kemudian menund
"Rian sakit, Sya. Ca otak."Sejenak, jarum jam seperti berhenti berdetak. Aku tak ingin percaya dengan apa yang kudengar ini."Tolong jangan beritahu Aa, sebenarnya Rian tak mengijinkan Mama memberitahu siapapun termasuk kamu karena dia tidak mau membuat kalian susah. Tapi Mama nggak sampai hati melihatnya berjuang seorang diri. Mungkin dengan kehadiranmu, Aa dan Talita, semangat hidup Rian akan semakin besar."Aku masih terdiam, bibir ini terasa kelu."Papa kenapa, Ma?"Suara Aa membuyarkan lamunanku yang tengah menelaah perkataan mantan mama mertua."Papa sakit demam, Nak."Aku terpaksa berbohong demi mengiyakan perkataan ibunda Mas Rian untuk tidak berterus terang pada Aa."Kalau begitu, ayo Ma kita jenguk Papa.""Iya Nak, sebentar Mama tanya sama Nenek Papa sekarang dirawat dimana?"Aa mengangguk dan kembali duduk tenang."Apa Aa menanyakan Papanya?""Iya Ma.""Jangan sampai Aa tahu perihal ini ya, Sya.""Baik, Ma. Aku akan berusaha untuk menutupinya.""Terima kasih Syaina."Baru
Dengan ribuan perasaan bersalah aku menyusul Aa ke kamarnya."Aa, buka pintunya, Nak."Ternyata Aa benar-benar marah padaku hingga ia sengaja mengunci pintu kamar."Maafkan Mama, Nak. Mama benar-benar merasa bersalah.""Aa nggak mau buka pintu. Aa mau sendiri."Aku menghela napas berat, terasa teramat sakit di dalam dada, karena kecewa dan penyesalan menghujam begitu tajam. Ya Allah, kenapa aku bisa lepas diri seperti tadi?Jujur jika tadi Aa mengira aku menampar, sebenarnya tidak. Aku hanya reflek menyentuh pipi Aa sebagai isyarat agar dia bersikap baik. Tapi tetap saja ditengah kemarahan mungkin Aa merasa itu adakah sebuah pukulan."Maafkan Mama, A."Tak bisa kubendung, akhirnya air mata jatuh jua di kedua pipi. Aku takkan bisa duduk tenang jika Aa masih mengurung diri di kamarnya."Tolong Nak, buka pintunya. Ijinkan Mama bicara.""Nggak!""Aa nggak sayang Mama lagi, ya?""Mama yang nggak sayang Aa lagi.""Siapa bilang, anak Mama cuma Aa sama Dedek. Jadi semua kasih sayang yang Mama
Setelah beberapa detik saling berpandangan, Mas Rian menyunggingkan selarik senyum. Sementara diri ini masih terpaku."Ma, Kalau Papa ada di sini. Berarti besok Papa bisa nemani Aa ikut wisuda donk?"Wajah kini tertuju pada Aa yang tingginya hampir sejajar denganku saat ini."Iya, Nak. Kalau Papa nggak ada kesibukan tentu bisa ikut ke acara wisuda Aa.""Yey, asyik."Aa tampak sangat bahagia, bagaimana tidak dari kemarin dia sudah berandai-andai padaku tentang kehadiran papanya. Dan hari ini Allah langsung menjawab tunai doa Aa.Kuajak si Sulung untuk duduk kembali di kursi tamu. Selain Mama, juga ada Talita yang duduk di di sebelah Mas Rian. Tangannya menggandeng lengan sang Papa. Kupandangi kembali mantan suami yang memakai topi untuk menutupi kepala."Nyetir sendirian Mas kemari?""Iya, tapi dari Jakarta ke Purwokerto disupiri Pak Kasim.""Ooh. Sudah berapa hari di sini?""Baru sampai tadi subuh."Aku mengangguk pelan."Gimana pendaftaran masuk pesantrennya, apa ada kendala?" tanya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia