Kapokmu Kapan, Mas? (25)"Yakin, kalian siap mendengar alasannya?" Laki-laki itu kembali mengulang tanyanya.Aku dan Ira saling bertatapan sebelum kami kompak menjawab, "Yakin!"Laki-laki itu kembali tertawa terbahak-bahak."Saya yang tidak yakin kalian siap mendengarnya," katanya."Jangan mempermainkan kami!" Ira membentak. Bentakannya berhasil membuat tawa laki-laki itu terhenti.Dia menatap sinis ke Ira."Ini tidak ada urusannya dengan anda!" tegasnya.Ira tampak geram dengan perkataan laki-laki itu. Dia lantas maju dan menjambak rambut laki-laki yang masih terikat itu."Jangan main-main! Segera katakan yang sebenarnya sebelum kesabaran saya habis!" bentak Ira.Laki-laki itu sama sekali tak merespon bentakan Ira. Dia hanya diam seraya fokus menatapku. Entah mengapa, aku merasa ada banyak luka dalam tatapannya.Ira terus berusaha membuat orang itu bicara, tetapi sia-sia. Akhirnya aku memberi kode agar Ira menghentikan usahanya. Percuma kami memaksa bila dia tidak berniat menjawab. M
Kapokmu Kapan, Mas? (25b)Benarkah Bang Robi bersikap demikian? Akan tetapi, mengapa dia malah berselingkuh dengan Miska?"Akhirnya adik saya mengalah. Dia bisa berpikir jernih dan tak mau merusak keutuhan rumah tangga Robi dan Mbak Titi. Adik saya mengalah.""Awalnya saya tetap memaksa adik saya untuk meminta pertanggung jawaban Robi. Saya bahkan sempat berniat membeberkan kenyataan bahwa Robi punya anak dengan adik saya. Tapi adik saya bersikukuh menolak. Dia tidak mau ada wanita lain yang ikut merasakan penderitaan seperti yang dia rasakan. Hal itu yang membuat saya mengalah.""Tapi entah dari mana datangnya bisikan untuk memata-matai Robi. Ternyata Robi berselingkuh. Dia membohongi adik saya. Dia yang seolah laki-laki yang ingin setia pada istrinya, tak lebih dari predator ganas. Dia berselingkuh dengan lebih dari dua wanita."Astaghfirullah ... benarkah demikian?"Saya juga mencaritahu info tentang Mbak Titi. Saya mencaritahu kebiasaan dan semua tentang Mbak Titi. Saya merasa iba
Kapokmu Kapan, Mas? (26)Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan secara berkali-kali demi menetralkan sesak di dada. Ya, pertanyaan Ira dan laki-laki itu membuat sesak di dadaku kian bertambah.Hening sejenak sebelum aku memberikan jawaban."Iya, saya akan tetap melepaskan mereka."Ira menatapku seraya menggeleng. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Dari tatapannya, aku bisa melihat ketidaksukaannya atas jawabanku."Bagaimana saya bisa melepaskan mereka?" Aku bertanya pada laki-laki itu.Dia menggeleng lemah."Mereka hanya bisa dilepaskan oleh dukun yang jasanya saya pakai untuk membuat mereka seperti itu.""Di mana saya bisa menemukan dukun itu?""Sayangnya, kedua dukun itu sudah meninggal.""Mas, tolong ... jangan main-main!" Aku sedikit membentak."Saya tidak main-main, Mbak!" Dia menegaskan."Kapan mereka meninggal?""Mbak tahu persis. Saudara Mbak Titi yang melawan mereka."Mas Aryo?"Ya, saudara Mbak Titi melawan mereka hingga tewas.""Dua kalajengking itu?"Laki-l
Kapokmu Kapan, Mas? (26b)"Dek ... Abang minta maaf, ya!" ucapnya lirih.Tak kuasa kutahan air mata. Permintaan maaf yang terdengar tulus itu begitu menyentuh hatiku. Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Bang Robi setelah beberapa hari ini."Abang minta maaf! Abang minta maaf, Dek! Abang minta maaf ...." Bang Robi terus mengucapkan kalimat itu seraya menatapku dengan tatapan penuh penyesalan."Abang sadar telah salah. Abang sadar banyak salah dan dosa sama kamu, Dek. Abang sadar ....""Abang mau berubah, Dek. Abang gak mau nyakitin kamu lagi. Abang minta maaf, Dek ...."Aku masih diam tak menanggapi. Hanya ujung baju yang kugunakan untuk menyeka air mata. Aku bingung harus menjawab apa.Benarkah Bang Robi telah sadar akan semua kesalahannya? Benarkah dia akhirnya mau mengakui bahwa dirinya bersalah? Benarkah janjinya untuk berubah?Pertanyaan-pertanyaan itu berlarian begitu saja dalam benakku.Bang Robi terus saja menangis penuh penyesalan. Sementara Miska tampak terlelap. En
Kapokmu Kapan, Mas? (27)"Kamu mau membiarkan orang yang sudah membunuh orang tua kamu bebas, Ti?"Pertanyaan Ira benar-benar membuatku syok. Aku yang tadinya berdiri langsung luruh jatuh terduduk ke lantai. Tubuhku seperti tak bertulang.Tak kuhiraukan panggilan Ira yang masih aktif. Kuletakkan ponsel begitu saja di lantai. Duniaku terasa berputar. Lalu semuanya menjadi gelap seketika.Saat aku membuka mata, pelipisku terasa panas. Aroma minyak kayu putih memenuhi indera penciumanku. Ketika menoleh, aku mendapati Kak Elfa sudah berada di sampingku."Alhamdulillah ... akhirnya kamu sadar juga, Ti," ujar Kak Elfa.Aku tak sanggup menjawab Kak Elfa. Kepalaku rasanya masih terlalu berat. Jadi, kuputuskan untuk memijat pelan pelipis dengan dua ibu jari.Saat itu kulihat Kak Elfa berjalan keluar kamarku dan kembali tak lama kemudian dengan membawa segelas air yang langsung disodorkan kepadaku."Minum dulu, Ti!" ujarnya.Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan disertai gerakan mengambil
Kapokmu Kapan, Mas? (28)Aku dan Bang Robi saling tatap. Kak Elfa yang sedang berjalan menuju dapur segera menghentikan langkahnya. Mbok Mina lari dari arah belakang."Ada apa, Bu? Kayak suara benda jatuh," tanya Mbok Mina."Saya gak tau, Mbok. Suaranya dari kamar Miska," jawabku.Detik berikutnya Bang Robi berinisiatif mendobrak pintu kamar Miska. Beruntung tidak butuh banyak waktu untuk bisa membuka pintu kamar itu. Walaupun sudah diperbaiki seadanya setelah dirusak Tante Riri tempo hari, pintunya masih mudah didobrak.Selanjutnya, pintu kamar mandi di kamar Miska yang harus didobrak paksa. Ketika berhasil terbuka, kami mendapati Miska tergeletak di lantai kamar mandi tak sadarkan diri. Bang Robi, aku, Kak Elfa, dan Mbok Mina segera mengangkat tubuh Miska dan membaringkannya di ranjang."Mbok, tolong ambilin minyak kayu putih!" perintah Kak Elfa.Mbok Mina sigap berlari keluar kamar dan kembali tak lama kemudian dengan minyak kayu putih di tangan. Kak Elfa langsung mengambil alih be
Kapokmu Kapan, Mas? (29)Aku segera berlari menuju Ira. Beruntung, aku berhasil menahan tubuh Ira yang ambruk. Ira langsung tak sadarkan diri saat itu juga.Mbok Mina lari ke arahku dan membantuku membaringkan tubuh Ira di sofa ruang tamu."Ya Allah, Ra ... kamu kenapa?" Aku menepuk pelan pipi Ira. Berharap dengan begitu dia bisa sadar. Sayangnya usahaku sia-sia."Mbok, tolong ambilin air hangat di baskom, es batu, sama perlengkapan buat obatin luka!" Aku memberi perintah kepada Mbok Mina. Wanita itu langsung mengangguk dan berlalu dariku.Kuperhatikan wajah Ira yang dipenuhi lebam. Sebelah matanya bengkak. Ada darah mengering di sudut bibir kirinya. Di bawah mata kanan yang tidak bengkak, ada luka goresan yang cukup panjang sampai hampir sejajar dengan garis bibirnya. Hampir seluruh bagian wajahnya lebam kemerahan. Dagu kanannya lebih parah, lebam keunguan."Ya Allah, Ra ... kamu kenapa bisa begini?" Aku bergumam seraya menyentuh wajah kawanku itu secara hati-hati.Mataku lalu turun
Kapokmu Kapan, Mas? (30)Mbok Mina yang melihat perubahan sikapku, lantas bertanya, "Ada apa, Bu?"Aku tak mampu menjawab tanyanya. Hanya kusodorkan kertas pesan dari Ira kepadanya. Mbok Mina menerimanya dengan ragu-ragu."Astaghfirullah ... apa ini benar, Bu?" tanyanya.Aku mengangguk, lalu menggeleng. Air mataku keluar begitu saja. Tubuhku rasanya tidak bertulang menerima kenyataan ini."Kalau ini benar, Ibu harus segera pergi dari sini, Bu!"Aku tak menjawab perkataan Mbok Mina."Bu!" Mbok Mina kembali menegurku dengan sedikit meninggikan suara. Cara itu berhasil mengembalikan kesadaranku."Ya, Mbok?" Aku balik bertanya."Ibu harus pergi dari sini secepatnya, Bu! Mumpung Bapak tidak di rumah."Ah, ya, benar kata Mbok Mina. Ini kesempatanku mumpung Bang Robi sedang tidak di rumah.Tiba-tiba saja aku jadi bertenaga. Aku langsung berjalan menuju kamar untuk melakukan persiapan. Ya, aku harus pergi dengan persiapan matang. Tidak boleh pergi begitu saja tanpa membawa apa pun. Minimal, a