Kapokmu Kapan, Mas? (26)Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan secara berkali-kali demi menetralkan sesak di dada. Ya, pertanyaan Ira dan laki-laki itu membuat sesak di dadaku kian bertambah.Hening sejenak sebelum aku memberikan jawaban."Iya, saya akan tetap melepaskan mereka."Ira menatapku seraya menggeleng. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Dari tatapannya, aku bisa melihat ketidaksukaannya atas jawabanku."Bagaimana saya bisa melepaskan mereka?" Aku bertanya pada laki-laki itu.Dia menggeleng lemah."Mereka hanya bisa dilepaskan oleh dukun yang jasanya saya pakai untuk membuat mereka seperti itu.""Di mana saya bisa menemukan dukun itu?""Sayangnya, kedua dukun itu sudah meninggal.""Mas, tolong ... jangan main-main!" Aku sedikit membentak."Saya tidak main-main, Mbak!" Dia menegaskan."Kapan mereka meninggal?""Mbak tahu persis. Saudara Mbak Titi yang melawan mereka."Mas Aryo?"Ya, saudara Mbak Titi melawan mereka hingga tewas.""Dua kalajengking itu?"Laki-l
Kapokmu Kapan, Mas? (26b)"Dek ... Abang minta maaf, ya!" ucapnya lirih.Tak kuasa kutahan air mata. Permintaan maaf yang terdengar tulus itu begitu menyentuh hatiku. Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Bang Robi setelah beberapa hari ini."Abang minta maaf! Abang minta maaf, Dek! Abang minta maaf ...." Bang Robi terus mengucapkan kalimat itu seraya menatapku dengan tatapan penuh penyesalan."Abang sadar telah salah. Abang sadar banyak salah dan dosa sama kamu, Dek. Abang sadar ....""Abang mau berubah, Dek. Abang gak mau nyakitin kamu lagi. Abang minta maaf, Dek ...."Aku masih diam tak menanggapi. Hanya ujung baju yang kugunakan untuk menyeka air mata. Aku bingung harus menjawab apa.Benarkah Bang Robi telah sadar akan semua kesalahannya? Benarkah dia akhirnya mau mengakui bahwa dirinya bersalah? Benarkah janjinya untuk berubah?Pertanyaan-pertanyaan itu berlarian begitu saja dalam benakku.Bang Robi terus saja menangis penuh penyesalan. Sementara Miska tampak terlelap. En
Kapokmu Kapan, Mas? (27)"Kamu mau membiarkan orang yang sudah membunuh orang tua kamu bebas, Ti?"Pertanyaan Ira benar-benar membuatku syok. Aku yang tadinya berdiri langsung luruh jatuh terduduk ke lantai. Tubuhku seperti tak bertulang.Tak kuhiraukan panggilan Ira yang masih aktif. Kuletakkan ponsel begitu saja di lantai. Duniaku terasa berputar. Lalu semuanya menjadi gelap seketika.Saat aku membuka mata, pelipisku terasa panas. Aroma minyak kayu putih memenuhi indera penciumanku. Ketika menoleh, aku mendapati Kak Elfa sudah berada di sampingku."Alhamdulillah ... akhirnya kamu sadar juga, Ti," ujar Kak Elfa.Aku tak sanggup menjawab Kak Elfa. Kepalaku rasanya masih terlalu berat. Jadi, kuputuskan untuk memijat pelan pelipis dengan dua ibu jari.Saat itu kulihat Kak Elfa berjalan keluar kamarku dan kembali tak lama kemudian dengan membawa segelas air yang langsung disodorkan kepadaku."Minum dulu, Ti!" ujarnya.Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan disertai gerakan mengambil
Kapokmu Kapan, Mas? (28)Aku dan Bang Robi saling tatap. Kak Elfa yang sedang berjalan menuju dapur segera menghentikan langkahnya. Mbok Mina lari dari arah belakang."Ada apa, Bu? Kayak suara benda jatuh," tanya Mbok Mina."Saya gak tau, Mbok. Suaranya dari kamar Miska," jawabku.Detik berikutnya Bang Robi berinisiatif mendobrak pintu kamar Miska. Beruntung tidak butuh banyak waktu untuk bisa membuka pintu kamar itu. Walaupun sudah diperbaiki seadanya setelah dirusak Tante Riri tempo hari, pintunya masih mudah didobrak.Selanjutnya, pintu kamar mandi di kamar Miska yang harus didobrak paksa. Ketika berhasil terbuka, kami mendapati Miska tergeletak di lantai kamar mandi tak sadarkan diri. Bang Robi, aku, Kak Elfa, dan Mbok Mina segera mengangkat tubuh Miska dan membaringkannya di ranjang."Mbok, tolong ambilin minyak kayu putih!" perintah Kak Elfa.Mbok Mina sigap berlari keluar kamar dan kembali tak lama kemudian dengan minyak kayu putih di tangan. Kak Elfa langsung mengambil alih be
Kapokmu Kapan, Mas? (29)Aku segera berlari menuju Ira. Beruntung, aku berhasil menahan tubuh Ira yang ambruk. Ira langsung tak sadarkan diri saat itu juga.Mbok Mina lari ke arahku dan membantuku membaringkan tubuh Ira di sofa ruang tamu."Ya Allah, Ra ... kamu kenapa?" Aku menepuk pelan pipi Ira. Berharap dengan begitu dia bisa sadar. Sayangnya usahaku sia-sia."Mbok, tolong ambilin air hangat di baskom, es batu, sama perlengkapan buat obatin luka!" Aku memberi perintah kepada Mbok Mina. Wanita itu langsung mengangguk dan berlalu dariku.Kuperhatikan wajah Ira yang dipenuhi lebam. Sebelah matanya bengkak. Ada darah mengering di sudut bibir kirinya. Di bawah mata kanan yang tidak bengkak, ada luka goresan yang cukup panjang sampai hampir sejajar dengan garis bibirnya. Hampir seluruh bagian wajahnya lebam kemerahan. Dagu kanannya lebih parah, lebam keunguan."Ya Allah, Ra ... kamu kenapa bisa begini?" Aku bergumam seraya menyentuh wajah kawanku itu secara hati-hati.Mataku lalu turun
Kapokmu Kapan, Mas? (30)Mbok Mina yang melihat perubahan sikapku, lantas bertanya, "Ada apa, Bu?"Aku tak mampu menjawab tanyanya. Hanya kusodorkan kertas pesan dari Ira kepadanya. Mbok Mina menerimanya dengan ragu-ragu."Astaghfirullah ... apa ini benar, Bu?" tanyanya.Aku mengangguk, lalu menggeleng. Air mataku keluar begitu saja. Tubuhku rasanya tidak bertulang menerima kenyataan ini."Kalau ini benar, Ibu harus segera pergi dari sini, Bu!"Aku tak menjawab perkataan Mbok Mina."Bu!" Mbok Mina kembali menegurku dengan sedikit meninggikan suara. Cara itu berhasil mengembalikan kesadaranku."Ya, Mbok?" Aku balik bertanya."Ibu harus pergi dari sini secepatnya, Bu! Mumpung Bapak tidak di rumah."Ah, ya, benar kata Mbok Mina. Ini kesempatanku mumpung Bang Robi sedang tidak di rumah.Tiba-tiba saja aku jadi bertenaga. Aku langsung berjalan menuju kamar untuk melakukan persiapan. Ya, aku harus pergi dengan persiapan matang. Tidak boleh pergi begitu saja tanpa membawa apa pun. Minimal, a
Kapokmu Kapan, Mas? (30b)Astaghfirullah ... hidup atau mati?"Bu ...."Aku tak mampu menjawab panggilan Mbok Mina sampai akhirnya sentuhan di bahuku mengembalikan kesadaranku. Saat menoleh, Mas Wisnu mengisyaratkan agar aku kembali menjawab telepon dari ibunya."Ya, Mbok?""Ibu tenang aja di situ, ya! Insya Allah di situ aman. Wisnu akan jagain Ibu."Aku menoleh pada Mas Wisnu. Dia memberikan sebuah anggukan mantap sebagai jawaban. Melihat itu hatiku seperti menemukan ketenangan.Aku kembali fokus dengan perbincangan bersama Mbok Mina. Lagi-lagi, Mbok Mina menasehatiku dengan banyak hal. Benar-benar aku merasakan kehadiran seorang Ibu dari sosoknya.Perbincangan kami harus diakhiri karena Bang Robi sudah kembali lagi ke rumah setelah pergi tadi kata Mbok Mina. Walaupun masih banyak yang ingin kubicarakan, aku harus menurut. Jangan sampai Bang Robi tahu tentang persekongkolanku dengan Mbok Mina.Tiga hari berlalu sejak kepergianku dari rumah. Selama itu juga aku terus berhubungan deng
Kapokmu Kapan, Mas? (31)Entah apa yang menjadi pemicu ledakan itu. Aku sama sekali sedang tidak menyalakan kompor. Aneh juga mengapa api dengan sangat cepat merambat.Mukena yang kugunakan mulai dijalari api. Begitu juga dengan tubuh wanita itu yang sudah mulai dipenuhi api. Kami berhenti bergelut dan sibuk menepuk-nepuk tubuh untuk meredakan nyala api.Sayangnya usaha kami sia-sia. Ledakan lain terdengar. Kemudian api semakin menyambar ke arah kami. Kami semakin dikelilingi api dalam sekejap.Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan sekarang?Aku diliputi ketakutan. Tak henti aku berdoa dalam hati. Berharap ada pertolongan di saat seperti ini.Lalu, tiba-tiba aku teringat untuk segera melepas mukena yang kugunakan. Meski sulit, aku akhirnya berhasil melakukannya. Tak kuhiraukan panas di wajahku yang terkena api dari mukena yang terbakar. Aku harus bisa keluar dari rumah Mbok Mina kalau tidak mau mati terbakar.Wanita tadi kulihat sudah menggelepar di lantai. Api memenuhi tubuhnya. Se