" Mas Didit, Mas Didit ...." Aku menjerit di tengah malam, pintu terbuka dan Mas Didit langsung datang memelukku."Ada apa Sakinah?""Aku takut, Mas, aku mendengar gema dan bunyi langkah seperti di ruang bawah tanah itu, aku yakin seseorang datang untuk ....""Dengar Sakinah, tidak ada orang di sini, aku akan membawamu pulang, secepatnya, setelah matahari terbit aku akan mengajakmu kembali ke rumah.""Tapi Mas .... Apa rumah kita akan?""Iya, sayang, tentu aja," jawabnya."Kamu yakin ga akan teledor, bagaimana kabar pria gila yang menculikku apa dia mati atau masih hidup?""Dia sudah meninggal, sempat dibawa ke rumah sakit dan ditahan namun akhirnya meninggal," jawab Mas Didit."Siapa pria itu, siapa yang menyuruhnya? Beritahu aku Mas," pintaku serius."Hmm, sepertinya dia memang menderita gangguan kejiwaan, ada kecendrungan untuk bahagia melihat orang lain tersiksa dan mati, namun aku masih menyelidiki lebih lanjut apa benar pria itu ada sangkut paut dengan orang lain atau memang
Dia mengantarku ke kamar lalu membenahi selimut dan membiarkanku tertidur, aku tersenyum dan menerima perlakuannya tapi didalam hatiku mulai timbul rasa tidak nyaman dan curiga.Aku sadar sifatku dari dulu adalah, jika menemukan hal yang mencurigakan maka aku akan menyelidikinya sampai tuntas, sepertinya dalam keadaan sakit seperti ini aku harus menyelidiki suami sendiri, sepertinya memang dunia ini kita tidak boleh menaruh kepercayaan 100% kepada orang lain, meski itu orang terdekat."Hmmm, aku harus menguatkan diri dan segera memulihkan tubuhku."Aku sadar bahwa segalanya berubah mulai saat ini, aku mudah mengalami takut dan gemetar oleh memori akan kejadian traumatis tempo hari. Aku masih teringat bagaimana wajah bengis pria gila yang ingin membunuhku dengan kapaknya, dan bagaimana raungannya ketika ingin menggapaiku dengan wajahnya yang sudah hancur oleh pukulan batu.Setiap kali mengingat itu tubuhku selalu gemetar dan merinding, membayangkan bahwa nyawaku hanya tinggal seteguk
Aku meringkuk di balik selimut, takut dan gemetar, dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku juga bingung harus menelpon suami atau tidak."Ya Tuhan, aku takut," gumamku dalam hati, keringat dingin mengucur. Dan tubuh ini gemetar tidak karuan, Aku tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimanaTring ... Ponsel berdering dan kembali menyentakkan diriku yang sedang ketakutan. Kuraih benda itu dengan cepat namun sesaat kemudian aku ragu, mungkin saja pria itu sedang menunggu jawabanku.Kumatikan benda pipih itu namun kembali benda itu berdering gencar."Ha-halo," jawabku gemetar."Sakinah lagi apa?""Mas ... aku takut, segera pulang Mas," ujarku memelas."Apa yang kau takutkan?""Aku gelisah Mas," jawabku gemetar."Kenapa?""Entahlah aku merasa seseorang tengah mengintai kehadiranku," jawabku takut."Jangan khawatir aku akan menyuruh seorang anggota untuk memeriksa keadaan," jawabnya."Kenapa kamu gak pulang, Mas?""Aku ada rapat, sayang, aku gak bisa pergi.""Ya Allah, aku takut, aku takut
"Adakah hal yang ingin kau minta atau ingin kau bicarakan padaku?" tanyaku suatu pagi."Tidak ada, kenapa bertanya seperti itu?" tanyanya heran."Aku ingin tahu apa isi hatimu jika ada yang kau sembunyikan sebaiknya kau beritahu dari awal agar aku segera memahami apa yang kau mau,"jawabku dengan mimik serius. Aku sudah mampu berjalan sendiri meski perlahan, dan kini duduk di tepi ranjang sambil menatapnya yang wara-wiri membenahi seragam dan sepatu, bersiap berangkat kerja."Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?""Tidak ada, aku hanya merasa perlu berbicara denganmu, Apa kau membutuhkan sesuatu?""Tentu tidak ada, justru aku yang harus menawarkan sesuatu kepada istriku, Apakah kamu membutuhkan sesuatu?" tanyanya sampai mendekat dan membawaku kedalam pelukannya."Tidak ada yang diperlukan lagi, kamu sudah menyempurnakan segalanya," bisiknya sambil mengelus pucuk kepalaku."Aku ingin tahu, adakah hal yang ingin kau minta?"Ia menatap sambil mengernyitkan alisnya, tanda tak paham
Menjalani kehamilan di trisemester pertama, membuatku sedikit lemah dan kerap merasa pusing. Apalagi gejala morning sickness membuatku makin tak kuat beraktifitas di pagi hari.Obat-obat dan vitamin di susun di meja dekat tempat tidurku, ada sekotak susu dan sepiring buah yang sudah disiapkan Mas Didit sejak pagi. Memang sikapnya sebagai suami sangat romantis dan penuh perhatian, sebagai istri harusnya aku bahagia, namun akhir akhir ini, perasaanku makin hari makin tak nyaman.Perlahan-lahan kucoba mengendalikan rasa takut dan trauma akan kejadian mengerikan tempo hari, aku belajar membiasakan diri, karena sedang mengandung bayi, kukontrol rasa syok dan takut yang kerap datang dengan mudah, agar janinku tak terganggu oleh stress dari si Ibu.Anak- anak lebih bahagia dan antusias merawatku demi calon adik mereka. Mendapatkan perhatian demikian tentu aku menjadi wanita yang hampir memiliki kesempurnaan bahagia. "Nyonya, makanan sudah siap, kalo butuh sesuatu, bilang aja," kata si Bi
"Aku tidak pernah menawar kebunmu," ujarnya yang langsung saja menahan langkahku."Lalu?""Kenapa kau tidak sopan sekali datang dan marah kepadaku, aku masih sabar karena tidak membekuk dan memenjarakanmu, sekali lagi kutegaskan bahwa aku tidak menawar kebunmu.""Lalu siapa yang menawarnya?""Kebetulan suamimu bersahabat dengan anakku dan dekat dengan keluarga kami, jadi ia menawarnya pada kami agar kami membelinya.""Apa? Mas Didit bersahabat dengan Letnan Heri?""Iya, dan sebagai istri kau tidak tahu?"Tentu saja aku terkejut mendengarnya, bagaimana aku bisa tidak mengetahui bahwa Mas Didit dan Heri dekat, dipikir-pikir pun rasanya tak habis pikir, bukankah ia sendiri yang mengawal persidangan dan membantuku mendapatkan keadilan bagaimana mungkin dia bisa menahan semua itu tanpa berterus terang, sikapnya seolah bermuka dua. Apakah pernikahan kami hanyalah modus dia mendapatkan harta dan meraup keuntungan dengan kepercayaanku, ini tidak adil rasanya."Kenapa kau diam saja? Apakah s
Dengan penampilan terbaik, aku akan pergi menemui wanita yang telah merusak hidupku, untuk menekannya dan membuatnya mengakui segalanya."Kamu aku kemana?"tanya Mas Didit yang sudah bangun dan mendapatiku sudah rapi dan wangi, bersiap untuk pergi."Kamu terlihat cantik, seperti hendak menemui orang penting.""Iya, tebak aku akan menemui siapa?" ujarku sambil tersenyum."Pasti orang yang penting, melihat dandanan dan perhiasanmu aku yakin kau punya agenda khusus, apa ini akan membahas peternakan?""Uhm, aku tak bisa memberi tahumu," jawabku menyimpan sakit hati karena sekali lagi ia kembali membahas kebun."Aku rasa kau sudah mengambil keputusan terbaik, untuk kita semua. Degan terjualnya kebun itu, kau akan mulai fokus pada anak anak dan rumah kita," imbuhnya sambil mengecup keningku, senyumnya lebih lebar, lebih lebar dar hari kemarin."Oke, aku pergi dulu. Baju dan sarapan sudah kusiapkan jadi pergilah mandi," ujarku sambil mendorong tubuhnya dariku."Aku tak bisa menjauh dari ist
Aku menuju bagian informasi dan langsung meminta izin untuk masuk. Dua orang petugas memberi salam lalu mempersilahkan aku duduk di depan meja kerja Mereka."Kalau tidak salah Anda yang sakinah mantan Ibu Dandim kota ini.""Betul sayangnya saat ini saya sudah tidak terhubung lagi dalam instansi kalian." Aku tersenyum."Ada yang bisa kami bantu ibu?""Saya ingin bertanya di mana keberadaan Letnan Heri anak dari Pak William."Mereka terlihat saling memandang mendengar jawabanku. Rasanya aku menilai mereka hendak mempersulit keadaan ini."Bagaimana Pak? Apa saya bisa dapatkan alamat Letnan Heri?""Begini Bu tugas yang sedang dilaksanakan letnan Heri adalah tugas Rahasia, jadi kami tidak bisa memberi tahu lokasinya.""Hmm, ini darurat," jawabku."Kalau memang darurat Ibu bisa menemui bagian Humas dan mereka akan menyampaikan kepada Letnan Heri dan keluarganya.""Masalahnya saya harus menemuinya langsung," jawabku."Tidak bisa karena dan Heri sedang melaksanakan tugas, maafkan kami, jika i