Hari itu genab 5bulan Admodjo meninggalkan Mursiyem, dan Mursiyem pun mencoba menerima takdir yang harus dia dan anaknya jalani kini. Mursiyem yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan yang serba cukup dan cenderung memanjakannya, kini harus rela hidup serba kekurangan dan harus berjuang walau hanya sekedar untuk mengisi perutnya dari rasa lapar yang lebih sering datang karena anaknya yang masih meminta asi darinya. Mursiyem bahkan hampir melupakan Admodjo, kenangan bersamanya yang tersisa hanyalah rasa sakit dan juga dendam. Namun pada suatu pagi, ketika tanpa sengaja dia bertemu dengan salah satu teman Admodjo yang juga mengenalnya, lelaki itu memberikan kabar bahwa esok adalah hari pernikahan Admodjo, lelaki itu juga dengan suka rela memberikan alamat dimana rumah Admodjo. Mursiyem tak tahu apa maksut dari teman Admodjo yang memberinya informasi selengkap itu, namun katanya lelaki itu iba melihat nasibnya kini, anaknya yang tak lain adalah anak dari Admodjo itu sudah sepantasn
"Sudah nduk ayo naik, kita pulang"Pak Jarno menuntun Mursiyem naik ke andongnya dan segera berlalu dari tempat itu, dia menatap kasian kepada ibu dan anak yang baru saja terenggut haknya itu, orang yang baru saja dia temui namun sudah dia sayangi seperti keluarganya sendiri. Sementara disepanjang perjalanan Mursiyem hanya diam membisu tanpa sepatah katapun. Bahkan dia tidak bergeming atau mencoba menenangkan Sumini kecil yang terus menangis, seolah tahu dan merasakan bahwa dia baru saja ditolak oleh sang bapak. Tangisan bayi itu sungguh terdengar menyayat hati pak JarnoJarno yang sudah lama menginginkan seorang anak namun tak kunjung mendapatkannya hingga hari tua menyapa. Sementara Mursiyem, seakan jiwanya hilang melayang, hancur lebur bersama hatinya. Bayangan Admodjo yang begitu gagah menggunakan beskap sedang menatapnya yang tengah diseret orang-orang suruhannya sungguh menanamkan dendam yang cukup dalam dihati Mursiyem. Berkali-kali dia berjanji, bahwa dia akan datang kembal
Matahari bersinar dengan cerah, burung-burung berkicau dengan merdu, pepohonan pun seakan menari tertiup angin yang berhembus pelan. Sumini kecil sedang bermain bersama pak Jarno, sedangkan Mursiyem sedang membantu mak Surti memasak didapur. Senyum tak pernah terlepas dari bibir mak Surti, kini dia merasakan memiliki keluarga yang utuh, anak dan cucu seperti yang dimiliki teman-teman seusianya, dua hal yang bahkan dalam mimpi pun tak berani dia bayangkan. Sudah genap setahun Mursiyem dan anaknya tinggal bersama mereka, mak Surti dan pak Jarno menerima Mursiyem dan Sumini dengan sangat baik, memperlakukan mereka selayaknya keluarga sendiri. Setelah mendengar cerita hidup Mursiyem, hati mak Surti jatuh iba. Terlebih pak Jarno tahu dari mana orangtua Mursiyem berasal, walaupun tak mengenalnya secara langsung, tapi pak Jarno tahu siapa itu Kuncoro. Seorang lurah yang bijaksana dan kaya raya. Mursiyem mulai menata hidupnya, perjalanan hidupnya mengajari banyak hal, membuatnya menjadi s
Mursiyem kaget dan juga bingung, ketika tiba-tiba Saminah datang dan menangis dipelukannya, karena tidak biasanya sahabatnya yang selalu ceria ini seperti ini, Mursiyem merasa kawatir. Namun Mursiyem tetap menenangkan Saminah terlebih dahulu tanpa banyak tanya, menahan rasa penasarannya sampai sahabatnya itu benar-benar tenang, lalu Mursiyem pun mulai bertanya"Ada apa Nah? Hari masih begitu pagi, apa yang membuatmu menangis tersedu-sedu seperti ini?""Bapak Yem, kenapa bapak begitu tega kepadaku? Dikira aku ini apa? Patung atau hanya hiasan yang tidak punya perasaan sehingga bisa berbuat sesuka hati tanpa memikirkan perasaan ku?""Memangnya apa yang sudah bapakmu lakukan? Ada apa sebenarnya Nah? Coba pelan-pelan saja kamu ceritanya""Tadi malam, ada seorang pria datang kerumahku, dia melamarku untuk menjadi istrinya, padahal sebelumnya aku sama sekali tak mengenalnya. Dan apa kamu tahu Yem, tanpa meminta pendapatku terlebih dulu, bapak langsung menerima lamaran itu, hanya karena dia
Mendekati hari pernikahan Saminah, semua terlihat begitu sibuk menyiapkan segala macam keperluan pesta, dari jauh-jauh hari para kerabat dan tetangga sudah saling bahu-membahu membantu dirumah Saminah, ada yang menggoreng bawang ada yang menggoreng krupuk dan membuat aneka makanan ringan yang awet tahan lama, yang biasanya nanti akan Diberikan kepada tamu undangan untuk tuk dibawa pulang. Mak Surti pun menjadi orang yang paling rajin dalam rewang kali ini, dia begitu senang karena keponakannya akan segera menikah, terlebih dia mendengar bahwa calon suami keponakannya tersebut berasal dari keluarga kaya raya, namun entah kenapa sikap lain terlihat dari pak Jarno, lelaki itu menjadi sering terdiam dan melamun, seperti sedang ada yang dipikirkan, pak Jarno sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaannya menjelang pernikahan sangat keponakan.Mak Surti selalu mengajak Sumini kecil turut serta untuk rewang, dan anak manis yang tak pernah rewel itu selalu duduk didekatnya dan sangat senang ke
Mursiyem baru saja pulang dari pasar, dia begitu kaget ketika melihat kondisi rumah yang sudah berantakan, pak Jarno dengan beberapa luka dan baju yang koyak, dan mak Surti yang menangis dipojokan. Belanjaan di tangannya jatuh, dia tak perduli. Mursiyem langsung berlari masuk kedalam rumah dan bertanya kepada Pak Jarno dan mak Surti tentang apa yang terjadi, namun mereka hanya menggeleng sebagai jawaban."Kami juga tidak tahu nduk, Tiba-tiba datang beberapa orang yang sama sekali tidak kami kenal masuk kedalam rumah tanpa permisi, mereka merusak barang-barang kita. Dan ketika bapak ingin melarang, mereka tak segan-segan menyakiti bapak. Mereka hanya meninggalkan pesan untuk tidak mengusik keluarga tuannya, bapak sama sekali tidak mengerti maksut mereka nduk"Mursiyem sadar, bahwa semua ini pasti perbuatan dari orang-orang suruhan Admodjo, dan pesan itu ditujukan untuk dirinya. Lihatlah, betapa pengecutnya lelaki itu, padahal Mursiyem tak pernah atau belum pernah mengusik hidupnya dan
Mursiyem mencium tangan mak Surti sangat lama, hatinya begitu berat meninggalkan perempuan yang sudah menganggap dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri itu. Wanita yang begitu baik tanpa pamrih. Pun mak Surti, dia mengelus rambut Mursiyem dengan penuh kasih sayang, sejak tadi air matanya tak mau berhenti mengalir, hatinya terlalu berat untuk berpisah dengan orang-orang yang sudah membuat hidupnya sempurna, yang sudah memberinya kesempatan untuk merasakan kesempatan menjadi seorang ibu juga nenek tersebut. "Hati-hati yo nduk, seng gemati sama Suminu, sayangi dia dengan tulus, karena apapun kesalahan orangtuanya, anak ini tidak tahu apa-apa, anak ini suci nduk. Jangan sampai kebencianmu dengan bapaknya kamu lampiaskan kepada Sumini. Bagaimanapun dia tetap anakmu""Iya mak, mohon doanya ya mak. Terimakasih banyak sudah begitu baik dengan kita, maafkan jika kami banyak salah dan selalu merepotkan emak dan bapak""Sttt mak nggak suka kamu bicara seperti itu Nduk, emak dan bapak juga
Mursiyem sempat bimbang, namun akhirnya dia kembali kepada keputusannya untuk kembali bersama pak Jarno saja, dia sudah bagitu malu untuk pulang bersama keluarganya, dia menolak permintaan pengasuhnya untuk kembali, Mursiyem sangat merasa bersalah tentang apa yang sudah menimpa keluarganya, dia menyalahkan diri sendiri, merasa bahwa kamatian sang bapak adalah dia sebagai penyebabnya, merasa bahwa dirinya adalah aib dan tidak pantas untuk kembali. Mursiyem menahan segala kepedihan hatinya dan melawan rasa rindu kepada ibu dan juga saudara-saudaranya, dia terus berjalan menuju tempat dimana andong pak Jarno diparkir kan. Dia berusaha tidak menoleh ataupun menghiraukan sangat pengasuh, karena dia tahu begitu dia menoleh, benteng pertahanannya akan runtuh. "Ndoro tunggu, mbok bahkan belum tahu siapa nama putri cantik ini, biarkan sebentar saja mbok menggendongnya, seperti mbok menggendong ndoro ayu ketika masih kecil dulu"Langkah kaki Mursiyem berhenti, hatinya sedikit melunak. Dia meli