Dengan langkah tertatih dan perlahan, Adinda berjalan ke arah pintu, ia bermaksud membuka pintu kamarnya, namun baru saja ia memegang gagang pintu, tubuhnya ambruk seketika. Ia tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya.
"BRUKK"terdengar suara sesuatu jatuh dari dalam kamar, Amira yang mendengar dengan jelas suara itu, langsung membuka paksa pintunya yang ternyata tidak dikunci. Terlihat tubuh Adinda tergeletak lemas diatas lantai, mukanya tampak pucat. "Ania, bangunlah!!" Amira berteriak karena sangat kaget. Ia bingung harus bagaimana. Sedangkan dirumahnya tidak ada siapa-siapa. Ia segera berlari keluar rumah untuk mencari pertolongan, namun hasilnya nihil.Tak ada satu orangpun yang ia temui, hingga akhirnya ia menelepon suaminya. "Mas...bisakah kau pulang sekarang juga"? tanya Amira dengan suara yang tersenggal, nafasnya terdengar sangat memburu. "Ada apa sayang"? Herman sangat kaget mendengar suara Amira. Ia takut kalau terjadi sesuatu terhadaAdinda terdiam sambil sedikit meneteskan airmata disudut matanya. "Sejijik itukah aku di matamu mas, sampai kau benar-benar tak mau sekedar berdekatan denganku" batin Adinda. Ia menidurkan kembali tubuhnya. Rasanya ia mau mati saja mendapatkan perlakuan Herman yang terus menerus menyakitinya. "Sesakit inikah mencintaimu" lirihnya dalam hati. Amira yang melihat Adinda merasa iba, didekatinya temannya itu. "Kau baik-baik saja Ania?" tanya Amira pelan."Iya Amira, aku hanya tak enak hati telah merepotkanmu dan suamimu" jawab Adinda pelan. "Tidak sama sekali Ania, sudahlah...jangan banyak fikiran begitu, kau harus rileks, kau baru sembuh" timpal Amira sambil mengelus tangan Adinda. Adinda hanya tersenyum lemah. "Sepertinya dia tahu pembicaraanku dan mas Herman tadi" gumam Amira dalam hatinya. "Biar nanti aku bujuk mas Herman lagi, agar dia mau mengantarkan Adinda pulang" batin Amira. Amira hanya merasa tak enak saja de
Semua sudah selesai. Mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanannya. Kali ini Herman meminta agar Amira duduk didepan bersamanya. Ia takut merasa mengantuk saat menyetir. Akhirnya Amira duduk disampingnya, sedangkan Adinda duduk sendiri dibelakang. Barusaja mereka melaju, Amira merasa mengantuk, karena kebanyakan makan, akhirnya dia tidur. Herman yang awalnya ingin ditemani mengobrol, terpaksa harus terdiam lagi, karena istri disampingnya malah meninggalkannya tidur. Suasana didalam mobil kini menjadi hening. Herman fokus pada jalan didepanny, begitu pula Adinda yang hanya melihat jalan dari jendela mobilnya. "Oiya, mobilmu biar besok Andi yang antar" tiba-tiba Herman memulai pembicaraan. Ia terlihat canggung sat berbicara pada Adinda. Adinda hanya bergeming mendengarnya, ia malas untuk berbicara dengan Herman. Ia takut kalau hatinya kembali terluka, karena terlalu besar menaruh harapan pada Herman. "Terimakasih, dan maaf merepotkan" jawabnya singkat. Kini s
Benar saja, barusaja Herman kembali dari dapur, istrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Sudah berapa kali dia bolak-balik ke wc. Tubuhnya tampak lemas. "Kau kenapa sayang? tanya Herman khawatir. Amira hanya mendudukkan tubuhnya dikursi, kepalanya disandarkannya ke belakang. Keringat dingin bercucuran."Entahlah mas, aku merasa sangat lemas. Jawabnya pelan. "Kau terlalu makan pedas tadi, jadi begini akibatnya."Herman terus mengusap kepala Amira yang duduk lemah. "Amira kenapa?" tanya Adinda yang baru datang dengan membawa minuman ditangannya. Amira membuka matanya perlahan. "Tak apa Ania, aku hanya sedikit lemas, mungkin karena kebanyakan makan pedas tadi" ucapnya sambil memejamkan matanya. "Kalau begitu, istirahatlah dulu, jangan dulu pulang" sergah Adinda. Ia kasihan melihat kondisi Amira, kemudian ia bergegas kembali ke dapur untuk membuat teh pahit hangat. Adinda kembali dengan membawa secangkir teh pahit hangat. Dia duduk disamping Amira. "Minuml
"Kamu sedang apa sayang?" tanya Amira sambil mendekati Herman, dan memeluknya. Herman yang tak ingin Amira curiga membalas pelukan Amira. "Tak apa sayang, ini pesan dari Andi tentang jadwalku besok." Jawabnya berbohong. "Mas, apa benar kau akan mencarikanku seorang pembantu baru?" Amira bertanya sambil mendongakkan wajahnya menatap mata suaminya. "Iya sayang...., kasihan kalau kau selalu sendirian" ucapnya pelan, sambil mengecup pucuk kepala istrinya. "Hmmm....mas, kalau misalkan selama kita menunggu pembantu baru, aku meminta Ania yang menemaniku sementara, apa kau mengjinkannya mas...?" tanya Amira pelan. Dia seakan sangat berhati-hati mengucapkan nama Ania, pasalnya dulu Herman sangat tidak menyukai sikap Ania. Herman kaget setengah mati mendengar usul Amira. Begitu polosnya istrinya itu, dia tak tahu apa yang dia inginkan akan menjadi boomerang baginya. Bagaimana tidak? jika Adinda diam dirumah mereka, maka dengan leluasa Adinda menggoda suaminya, dan
"Sayang, ini sudah sore...sebaiknya aku bersiap dulu, nanti lepas maghrib, mungkin aku akan pergi dinas Seperti dulu lagi." Tiba-tiba Hati Amira merasa sedih mendengarnya. Herman yang sudah mulai berubah seperti sediakala, akan kembali meninggalkannya seperti dulu. Terlintas dalam fikirannya tentang ketakutannya dulu. Ia takut kalau Herman akan main serong lagi dibelakangnya. Mendengar pepatah, " satu kali selingkuh, maka selamanya akan selingkuh." Begitu kiranya pepatah yang didengar Amira. Namun kali ini, ia berusaha percaya pada suaminya. Amira mendongakkan kepalanya, memandang lekat maga suaminya. "Kau berjanji dulu, untuk tidak tergoda lagi dengan Adinda, dan Adinda lain diluar sana." mohon Amira. Herman hanya gelagapan mendengar permintaan Herman. Seperti anak panah yang kena sasaran. Pas sekali Amira berkata tentang dirinya. "Tidak sayang, aku benar-benar dinas luar kota malam ini, besok juga sudah beres. Jadi aku bisa langsung pulang.." jawabnya ngeles.
Waktu menunjukkan pukul 12.00 malam. Namun matanya masih tak bisa terpejam. Herman terus menerus mengubah posisi tidurnya, memang tidur diatas sofa membuat tubuh terasa nyeri. Ia terbangun, dilihatnya sekelilingnya, semua lampu utama dimatikan. Hanya lampu yang terang samar-samar mengisi ruangan. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Ia luruskan kakinya kedepan. Diputar-putarnya tubuhnya kesana kemari. "Aaah...rasanya sangat menyiksa sekali." Tenggorokannya terasa kering, ia langkahkan kakinya menuju dapur. Ia nyalakan listrik diruangan itu. Matanya memandang ke arah meja makan. Kagetnya Herman, ketika ia lihat sederet makanan tersaji dimeja makan. Dilihatnya makanan itu dari dekat. "Mungkin ini makanan yang tadi ia masak untukku." ujarnya dalam hatinya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya, "ternyata dia sudah berkorban untukku." Ada rasa menyesal dalam hatinya, Tadi ia menolak makan dirumah Adinda, karena ia sudah makan bersama Amira. Dibukanya kulkas milik Adinda.
Mereka bertiga terjaga dalam malamnya. Tak ada satupun yang bisa tidur. Setelah sekitar 3 jam Amira berada diruang operasi, akhirnya Dokter pun menemui mereka. "Bagaimana keadaan Nyonya saya Dokter?" tanya Dina cemas."Bersyukurlah, ibu dan bayinya sehat." ucap dokter lembut.Mereka bertiga saling melempar pandangan. "Bayi? maksud Dokter?" tanya Dina lagi."Ya...untuk menyelamatkan bayinya, terpaksa kita harus lahirkan sebelum waktunya. Tapi semua berjalan lancar, dan sekarang bayinya berada diruang incubator, karena bayi lahir prematur." jawab Dokter menjelaskan.Mereka hanya menganggukan kepalanya tanda setuju."Apa kita bisa menemuinya?""Silahkan, tapi butuh waktu agak lama untuk nyonya Amira sadar kembali. Saat ini dia masih dipengaruhi obat bius." terang Dokter. Mereka bertiga memasuki ruangan Amira. Dilihatnya saat ini majikannya masih terkulai lemas. Selang infus masih tertancap dihidungnya. Wajahnya nampak pucat pasi. *** Adinda terbangun saat sinar hangat
"Beliau sedang dalam perjalanan kemari nyonya." ucap Dina. Amira merasa tenang mendengarnya. Tak lama, Herman dan Andi sampai. Dengan tergesa, Herman masuk ke ruangan dimana Amira dirawat. "Sayaang..." peluk Herman kuat. Airmatanya menetes, melihat keadaan istrinya. Amira memeluk balik Herman. Airmatanya tumpah seketika. "Anak kita mas, dia sudah lahir." terang Amira, dengan masih menangis. "Aku sudah tahu sayang, kau tenang ya.." Herman mendaratkan kecupan dikepala istrinya."Apa kau sudah melihatnya?" "Belum sayang, nanti kita lihat sama-sama ya..!" balas Herman lagi."Anak kalian laki-laki tuan, ucap Dina memotong pembicaraan Amira dan Herman. Herman semakin tak sabar ingin segera melihat keadaan anaknya. Apalagi anaknya seorang laki-laki. Anak yang sangat diinginkannya. "Kau cepat pulih sayang, nanti kita lihat anak kita bersama.." ucap Herman dengan airmata yang masih menetes. Ini adalah airmata pertama Herman. Selama ia menikah dengan Amira, belum pernah ia me