Siang ini, aku bersiap-siap akan ke kantor Mas Arka untuk mendiskusikan beberapa hal. Setelah mengantar Naya untuk beristirahat di kedai bersama Mba Tina, aku langsung bergegas. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan padaku. Dia tidak sempat ke kedai karena sedang mempelajari beberapa materi berkas katanya. Aku tak tahu tentang apa.Sekitar dua puluh menit berlalu, aku pun sampai di kantor. Lokasi tempat tinggalku dan kantor Advokat milik Mas Arka tidak terlalu jauh. Kurang lebih sekitar sepuluh kilometer. Kalau pun perjalanan ditempuh dalam hitungan jam itu karena macet.Setelah membayar biaya ongkos taksi, aku keluar dari mobil. Aku mencocokkan kembali gedung di depanku dengan gambar yang dikirim oleh Mas Arka ke WA-ku. Gambarnya sesuai dengan gedung yang berdiri gagah di depan. Aku pun melangkah ke dalam. Seorang lelaki menghampiriku. Dari perawakannya dia terlihat masih sangat muda, mungkin pegawai baru atau anak magang. "Dengan Bu Jihan?""Iya, benar.""Mari, Bu. Silakan ke
"Menurutmu bagaimana? Coba tebak," tatapnya padaku dengan mengembangkan senyum.Aku pikir dia hanya bercanda, tetapi ternyata dia menunggu responku. Matanya masih melihat padaku. Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Seketika aku mengarahkan kembali pandanganku ke depan, tidak kuat melihat tatapan matanya yang menusuk. Entah apa arti tatapan mata itu. "Oh, taksinya sudah tiba. Mari, Mas. Aku harus pergi sekarang. Terima kasih, ya." Aku beranjak dan bergegas menuju taksi.Mas Arka hanya melambaikan tangan ke arahku. Sekilas, aku melihatnya dari dalam mobil. Dia masih bergeming dari tempatnya berdiri, menatap mobil yang aku tumpangi.Setelah beberapa lama, mobil yang aku tumpangi sampai ke tujuan. Aku langsung beristirahat di rumah, tidak sempat ke kedai. Mba Tina sudah aku beritahu lewat WA sekaligus memintanya, mengantarkan Naya ke rumah.Seharian aku sangat kelelahan. Lelah hati karena memikirkan langkah Mas Adnan mengajukan banding. Aku tidak menyangka dia sekejam itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku hendak menutup pintu kembali, tetapi dicegat olehnya."Aku ingin menemui putriku.""Semalam ini? Ini sudah terlalu larut malam. Mas bisa datang besok pagi.""Mas hanya ingin melihat Naya, putriku.""Naya sudah tidur, Mas. Sebaiknya Mas pergi dari sini. Tidak baik malam seperti ini Mas di sini.""Ini rumah Mas juga. Jadi tidak ada salahnya kan aku ingin berkunjung atau mungkin beristirahat sebentar.""Mas!" Dadaku berdegup cukup kencang. Aku tidak mengerti isi pikiran lelaki di depanku. "Mas harus keluar dari rumah ini. Kalau Mas tidak keluar, aku akan berteriak minta tolong."Ia sudah masuk ke dalam dan hendak ke kamar, tetapi langkahnya terhenti karena mendengar suaraku meninggi. "Mas, aku peringatkan sekali lagi. Lekas keluar dari rumah ini!"Ia berbalik dan menatapku tajam. Ia sudah mendekat padaku, mungkin jarak kami sekitar dua hasta. Aku tidak bisa menahan deru di dada, berguncang sangat hebat."Mas ... kau ...." Aku melangkah ke belakang."K
Pagi ini aku bersiap-siap untuk mengantar Naya ke sekolah. Mba Tina sudah izin ke kedai belum lama tadi. Ia menemani kami di rumahtadi malam karena khawatir lelaki itu kembali lagi.Semalam, aku ketiduran karena sangat kelelahan dan tidak menuntaskan membaca isi pesan di WA. Setelah semua sudah siap, aku menuntun putriku keluar rumah dan siap mengantarnya ke sekolah. Hanya motor matic ini yang selalu menemani kami bepergian. Dua puluh menit berlalu, kami tiba di sekolah Naya. Hari ini agak macet karena jam kantor dan sekolah, jadi kami sedikit lama di perjalanan. Biasanya bisa sepuluh menit saja waktu tempuh ke sekolah.Aku hanya mengantarnya ke depan gerbang sekolah. Naya sudah masuk ke kelasnya. Aku pun hendak pergi ke kedai. Namun langkah kakiku terhenti karena sebuah notifikasi pesan masuk ke gawai. Aku meraih gawai di dalam tasku dan membaca isi pesan tersebut. [Jihan, kamu jadi datang kan ke acara reuni malam ini?]Aku baru ingat isi obrolan semalam di grup dan juga pesan d
"Orang ketiga! Siapa Tsa?" tanya ketiga teman di sampingnya."Hei, kalian mau tahu juga, gak?" tanya Tsania ke meja di sekelilingnya. "Mau dong. Gosip apaan, sih?" "Ayo ngumpul ke sini!"Hingga akhirnya beberapa teman yang lain mendekat dan tak sabar mendengar penjelasan wanita yang memiliki bibir seperti Angelina Jolie tersebut, menurut pengakuannya sendiri. Akan tetapi bagi teman-teman yang lain bibirnya lebih tepat disebut dower. Bukan Tsania namanya kalau tidak membawa gosip terbaru. Di grup WA saja, dia yang selalu membawa informasi yang up to date. "Ingat gak, Raisya?""Apa! Serius?""Jangan bilang kalau orang ketiga itu, Rai-sya. Oh my God!" Mata mereka membulat sambil menutup mulut dengan tangan."Aku gak percaya ini. Apakah benar, Han?"Meta sesekali menatapku bingung. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap, menghentikan obrolan mereka atau menanyaiku. Aku masih diam. Wajahku sudah memerah. Kalau aku tahu akan seperti ini keadaannya, aku tidak akan datang ke acara ini, m
Kami berpisah di depan hotel. Masing-masing dari kami menaiki taksi yang berbeda tujuan. Taksi melaju di atas jalan raya mengantarku ke tujuan. Aku menyandarkan kepala di jok mobil sambil menghembuskan napas berat. Udara yang terperangkap di dada mulai berangsur plong. Setidaknya menghindari mereka tidak membuat lelah hati dan telinga. Dering notifikasi pesan di smartphone-ku berulang. Aku sempat berpikir pesan tersebut dari Meta, tetapi bukan. Pesan tersebut tidak memiliki nama.Pesan masuk ke WA. Aku mengeklik aplikasi berwarna hijau tersebut kemudian membaca isi pesan di dalamnya.[Dasar wanita licik! Harusnya kau berkaca dulu sebelum menjelek-jelekkan orang di depan orang lain][Aku tahu kau hanya ingin mencari belas kasihan orang]Aku mengernyitkan dahi seketika. Deru dadaku memompa. Terasa sangat sesak. Aku tidak mengerti siapa yang dia maksud. Siapa yang aku jelekkan?Nama pengirimnya tidak tersimpan di gawaiku. Aku tidak tahu siapa yang mengirim pesan ini.Setelah beberapa
Mba Tina dan Naya sudah menghilang dari pandangan ekor mata. Aku mengalihkan kembali pandanganku ke wanita di depanku. Ia sangat tidak senang. Wanita ini sangat tidak ada malunya. Merebut milik orang, tetapi dia juga yang merasa terzolimi. Wanita aneh!"Kamu minta penjelasan apa. Bukankah aku yang harus meminta penjelasanmu, kenapa?" tanyaku padanya geram."Jihan, jika suami ingin berpoligami, tidak ada larangan dalam agama. Bahkan disunnahkan. Aku yakin kau sudah tahu hal itu.""Disunnahkan bagi yang mampu lahir dan batin, bukan hanya karena nafsu. Camkan itu!""Apakah kau yakin karena nafsu? Mungkin ini jalan ibadahnya dia agar terhindar dari dosa.""Raisya, kau berbicara seperti itu karena tidak berada di posisiku sekarang. Kau hanya ingin menyelamatkan harga dirimu. Apakah Mas Adnan sudah mempertimbangkan perasaan istri pertamanya? Sudahkah dia pertimbangkan hati yang disakiti, dikhianati, dan dibohongi?""Suami tidak butuh izin dan restu seorang istri jika dia mau berpoligami." I
"Dia tidak bertanya sesuatu atau apapun itu?""Tidak, Bu. Dia datang sambil mengedarkan pandangannya, kemudian langsung ke dalam bagian dapur tanpa berkata apa-apa. Kami tidak berani bertanya padanya.""Baik, lupakan saja. Mari lanjutkan pekerjaan kita! Pesanan dari sekolah SMA Bakti 12, sudah siap?""Iya, Bu. Sudah diantar oleh kurirnya. Pesanan yang 30 kotak dibatalkan. Mereka hanya minta 20."Seketika aku mengembuskan napas. Beginilah resiko berusaha, ada saja rintangannya. "Iya, tidak apa. Ini sudah resiko. Yang penting sudah ada kesepakatan awal.""Iya, Bu."Kami pun melanjutkan pekerjaan kami. Jarum jam terus berputar. Tidak terasa matahari telah meninggi dan sangat terik. Posisinya tepat di atas kepala. Setelah menyelesaikan makan siang, aku menundukkan hati dengan berserah diri kepada sang Maha Pelindung, menyerahkan segala sesuatu padanya.Tidak berselang lama, sebuah taksi memasuki halaman dan memarkir di depan kedai. Hari ini, aku akan pergi ke kantor advokat milik Mas Ark