"Tunggu saja! Sebentar lagi juga keluar. Jangan sampai lolos dia!""Lu tenang aja, ini urusan kecil buat gue," sahut lelaki yang punya anting di hidungnya itu.Teriknya sinar matahari membuat kepala gundul preman ini terasa terbakar."Ini panasnya udah sama kayak api neraka," umpat salah satu preman. Mereka berdua tengah berhenti di pinggir jalan, yang tak jauh dari toko bakery milik Ratna."Emang lu udah pernah ke neraka, bisa-bisanya bilang begitu. Dasar oon lu!" ejek hidung bertindik."Kata ustad begitu.""Lagak lu takbotak, pake ngomong kata ustad. Ngaji aja lu kagak bisa. Bahas kata ustad," ejekannya semakin menjadi."Terus lu pikir, seumur hidup gini nggak pernah lewat mesjid, nggak pernah dengar ceramah ….""Udeh, gue nggak butuh ceramah dari lu. Noh liat, perempuan yang dimaksud udah keluar dari sarangnya. Fotonya sama kan sama yang ini!" ucap preman hidung bertindik seraya menatap foto Ratna yang dikirim Laura."Iyee bener, sikat."Ratna masuk ke dalam mobil tanpa curiga sedi
Devina pasrah dalam ketakutannya. Laura berhasil membujuk Devina untuk masuk ke dalam mobil. Mereka berjalan sekitar sepuluh meter dari posisi berdiri tadi.Dengan cepat pintu mobil dibuka, Laura mendorong tubuh Devina ke dalam mobil dan dengan sigap preman yang duduk di kursi penumpang depan langsung membekap mulut Devina dengan sapu tangan yang sudah diteteskan dengan obat bius. Sepersekian detik, tubuh anak kesayangan Ratna itu hilang kesadaran.Laura yang berdiri dekat pintu mobil yang terbuka. Menyisir pandangannya ke segala arah. Kondisi aman dalam pandangan matanya."Jalan!" titah Laura.Mobil pun perlahan meninggalkan area sekolah Devina, detik kemudian, Laura memperbaiki posisi Devina yang hampir jatuh ke kolong jok mobil. Warga sekitar benar-benar tidak ada yang curiga atas penculikan Devina.Menunggu gedung yang terbengkalai, mereka harus menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Itupun kalau tidak macet.Di tempat lain, Ratna masih belum lepas dari ugal-ugalan
Pak Joko langsung memutar hasil rekaman CCTV. Dan, Ratna tampak begitu seksama melihatnya."Devina dibawa perempuan itu, Bu!" seru Pak Joko seraya menunjuk layar komputer."Iya, Pak. Saya lihat," sahut Ratna sekenanya."Ibu kenal?" tanya Pak Joko seraya menatap kaget.Ratna mengangguk, "ya, saya kenal.""Lihat itu, Pak. Mereka berjalan ke kanan gerbang, ada CCTV bagian samping sini nggak?" tanya Ratna seraya menunjukkan arah ke layar komputer."Ada, Bu. Sebentar. Saya setting untuk tampil keseluruhan yang diberi CCTV saja ya!" usulnya seraya mengutak-atik keyboard. Dan, beberapa detik kemudian muncullah 12 kolom rekaman."Yang kanan, yang ini ya, Pak?" tanya Ratna memastikan seraya menunjukkan salah satu kolom rekaman CCTV."Iya, Bu. Yang ini.""Tuh Devina, Pak."Mata Ratna sempat tak berkedip kala melihat Devina masuk ke dalam mobil putih."Jangan-jangan mobil yang lewat pelan di depan rumah tadi … itu … kamu, Lau," batin Ratna seolah diingatkan dengan kejadian tadi pagi sebelum dia
Melihat tak ada perlawanan dari Devina, membuat Laura menghentikan ceritanya dan bertanya."Kenapa Kau diam? Apa ingin mendengar kisahnya dengan khidmat? Hmm!" Laura membesarkan kedua bola matanya dengan mendekatkannya pada Devina, mungkin jarak pandang keduanya hanya tiga ruas jari."Ceritain aja semuanya, Tan. Aku siap dengerin!" sahut Devina dengan nada santai.Laura tersentak, reflek menarik kepalanya."Waw … amazing!" Laura menyambut ucapan Devina yang begitu membuatnya terkejut dengan tepuk tangan."Mental kamu lumayan ternyata, ya. Keren … keren … berarti nggak masalah ya, kalau gue lanjutin?""Nggak masalah, Tan. Lanjut aja. Aku malah pengen denger ceritanya dari tante.""Oh … oke … oke ….""Kamu bayangin aja tuh, Devina. Mama kamu yang berberes di rumah. Ngabisin duitnya sama tante. Makanya tuh, mama kamu milih pisah, karena tante sama papa kamu mau nikah. Tante sih mau aja jadi yang kedua, yang jelas ada uangnya, tapi mama kamu sok-sok an mau pisah."Eh tapi nih, bagus juga
Dirasa puas menangis walau hanya beberapa menit, tiba-tiba terbersit di pikirannya merasa bersalah dengan Arjuna yang tak hanya sekali mengingatkan Ratna."Kesombongan dan balas dendam ku berbalik arah. Maafkan mama, Devina. Harusnya, bukan kamu yang menjadi tumbalnya.""Apa sebaiknya aku ngasih tahu, Mas Arjuna? Tapi siapa dia? Berarti sama saja aku dengan Laura pengganggu hubungan orang lain."Ratna masih saja bergelut dengan pikirannya. Sesak bercampur dendam membuat dirinya kesulitan mengambil keputusan yang diambil."Mei, saya nggak balik ke toko. Anak saya diculik!" ucap Ratna mengabari salah satu karyawannya.Ratna yang biasanya tertutup untuk hal pribadi meskipun sepahit apapun yang dia hadapi tak satupun dia beri tahu. Namun, buah kepanikannya yang belum berujung, membuat Ratna mengabari karyawannya itu."Astagfirullah, Bu. Saya turut prihatin. Semoga saja Devina lekas ketemu dalam kondisi sehat dan tak kurang satupun, Bu," ucap Meisha penuh harap."Anak Bu Ratna diculik? Sam
Seruan Ratna membuat Laura dan Devina menoleh ke sumber suara."Mama …," teriak Devina."Devina bukan lawan setimpal untuk kamu, Lau. Kalau benar ingin adu, saya yang dihajar bukan Devina!" ucap Ratna lantang."Itu pilihan saya, ngapain Kau yang ngatur. Ingat ya, Ratna. Kau itu pembunuh,""Jangan kebanyakan halu kamu! Apapun sakit yang Kau rasakan, itu adalah hasil yang kamu tanam selama ini.""Tidak! Ini mutlak karena keserakahan Kau, Ratna!" balas Laura tak mau kalah.Laura mengeluarkan sebuah pisau kecil dan mendekatkannya pada Devina."Laura! Enyahkan pisaunya!" teriak Ratna histeris."Hahahaha … kenapa? Kau takut anak kesayangan Kau ini mati? Bagus harusnya, biar kita sama-sama impas. Saya kehilangan ibu, Kau kehilangan anak," serang Laura serah menatap Ratna dengan tajam. Dari sorot matanya, jelas sekali sudah tersematkan dendam mendalam."Mama … Nana takut, Ma," lirih Devina seraya dengan luruhnya bulir bening dari matanya."Tenang sayang, Mama akan tolong kamu.""Hoho … so swe
"Devina mana? Aku cemas sama kondisi psikisnya." Lagi dan lagi Arjuna mengalihkan pembicaraan. Meskipun dia terlihat susah payah menjawabnya, tapi bukan Arjuna namanya yang menampakkan kesakitannya pada orang lain."Kamu benar-benar perhatian dan sayang Devina, atau …," batin Ratna.Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah feeling Ratna soal persekongkolan antara Laura dan Arjuna itu benar adanya?"Devina lagi istirahat di ruangan.""Lho kenapa? Memang dia ada luka? Kenapa dirawat?" tanya Arjuna cemas."Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Kamu tahu keberadaan Devina darimana?" tegas Ratna. Satu sisi Ratna juga merasa Arjuna tengah menahan rasa sakit karena tangannya memegang bagian perban bekas tusukan tadi. Akan tetapi, dia juga tak bisa membendung rasa penasarannya.Arjuna tampak menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan."Jam yang dipakai Devina ke sekolah itu ada chip yang bisa mendeteksi lokasi.""Tunggu-tunggu jadi, kamu bisa tahu kapanpun keberadaan Devina?" tanya Ratna penasaran. Rat
"Ratna … Devina sayang …!" seru Bram lagi dan lagi. Namun, gelagat aneh malah muncul dari Devina. Dia menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat bersamaan dengan menutup kedua matanya, seolah menunjukkan tak ingin mendengarkan suara papanya lagi. Dan, benar saja, kejadian tadi sewaktu-waktu akan muncul keingatannya, dan jika dibiarkan tak disikapi, akan menimbulkan dampak buruk bagi psikisnya seperti yang sudah dijelaskan dokter umum tadi di rumah tadi."Nana tunggu di sini, mama keluar sebentar!"Ratna bergegas keluar rumah. Jangan tanya seberapa emosinya dia setelah melihat tingkah Devina juga terngiang ucapan dokter tadi."Ratna! Devina mana? Aku cemas? Dia sudah ditemukan kan?" tanya Bram dengan memasang wajah sedih saat Ratna berdiri di hadapannya."Lebih baik, mulai sekarang kamu nggak usah menampakkan wajahmu di depan Devina ataupun aku, Mas!""Ratna … kamu kenapa? Kok jadi kasar begini? Aku benaran cemas soal Devina. Mana dia? Aku ingin ketemu," kekeuh Bram."