Pak Joko langsung memutar hasil rekaman CCTV. Dan, Ratna tampak begitu seksama melihatnya."Devina dibawa perempuan itu, Bu!" seru Pak Joko seraya menunjuk layar komputer."Iya, Pak. Saya lihat," sahut Ratna sekenanya."Ibu kenal?" tanya Pak Joko seraya menatap kaget.Ratna mengangguk, "ya, saya kenal.""Lihat itu, Pak. Mereka berjalan ke kanan gerbang, ada CCTV bagian samping sini nggak?" tanya Ratna seraya menunjukkan arah ke layar komputer."Ada, Bu. Sebentar. Saya setting untuk tampil keseluruhan yang diberi CCTV saja ya!" usulnya seraya mengutak-atik keyboard. Dan, beberapa detik kemudian muncullah 12 kolom rekaman."Yang kanan, yang ini ya, Pak?" tanya Ratna memastikan seraya menunjukkan salah satu kolom rekaman CCTV."Iya, Bu. Yang ini.""Tuh Devina, Pak."Mata Ratna sempat tak berkedip kala melihat Devina masuk ke dalam mobil putih."Jangan-jangan mobil yang lewat pelan di depan rumah tadi … itu … kamu, Lau," batin Ratna seolah diingatkan dengan kejadian tadi pagi sebelum dia
Melihat tak ada perlawanan dari Devina, membuat Laura menghentikan ceritanya dan bertanya."Kenapa Kau diam? Apa ingin mendengar kisahnya dengan khidmat? Hmm!" Laura membesarkan kedua bola matanya dengan mendekatkannya pada Devina, mungkin jarak pandang keduanya hanya tiga ruas jari."Ceritain aja semuanya, Tan. Aku siap dengerin!" sahut Devina dengan nada santai.Laura tersentak, reflek menarik kepalanya."Waw … amazing!" Laura menyambut ucapan Devina yang begitu membuatnya terkejut dengan tepuk tangan."Mental kamu lumayan ternyata, ya. Keren … keren … berarti nggak masalah ya, kalau gue lanjutin?""Nggak masalah, Tan. Lanjut aja. Aku malah pengen denger ceritanya dari tante.""Oh … oke … oke ….""Kamu bayangin aja tuh, Devina. Mama kamu yang berberes di rumah. Ngabisin duitnya sama tante. Makanya tuh, mama kamu milih pisah, karena tante sama papa kamu mau nikah. Tante sih mau aja jadi yang kedua, yang jelas ada uangnya, tapi mama kamu sok-sok an mau pisah."Eh tapi nih, bagus juga
Dirasa puas menangis walau hanya beberapa menit, tiba-tiba terbersit di pikirannya merasa bersalah dengan Arjuna yang tak hanya sekali mengingatkan Ratna."Kesombongan dan balas dendam ku berbalik arah. Maafkan mama, Devina. Harusnya, bukan kamu yang menjadi tumbalnya.""Apa sebaiknya aku ngasih tahu, Mas Arjuna? Tapi siapa dia? Berarti sama saja aku dengan Laura pengganggu hubungan orang lain."Ratna masih saja bergelut dengan pikirannya. Sesak bercampur dendam membuat dirinya kesulitan mengambil keputusan yang diambil."Mei, saya nggak balik ke toko. Anak saya diculik!" ucap Ratna mengabari salah satu karyawannya.Ratna yang biasanya tertutup untuk hal pribadi meskipun sepahit apapun yang dia hadapi tak satupun dia beri tahu. Namun, buah kepanikannya yang belum berujung, membuat Ratna mengabari karyawannya itu."Astagfirullah, Bu. Saya turut prihatin. Semoga saja Devina lekas ketemu dalam kondisi sehat dan tak kurang satupun, Bu," ucap Meisha penuh harap."Anak Bu Ratna diculik? Sam
Seruan Ratna membuat Laura dan Devina menoleh ke sumber suara."Mama …," teriak Devina."Devina bukan lawan setimpal untuk kamu, Lau. Kalau benar ingin adu, saya yang dihajar bukan Devina!" ucap Ratna lantang."Itu pilihan saya, ngapain Kau yang ngatur. Ingat ya, Ratna. Kau itu pembunuh,""Jangan kebanyakan halu kamu! Apapun sakit yang Kau rasakan, itu adalah hasil yang kamu tanam selama ini.""Tidak! Ini mutlak karena keserakahan Kau, Ratna!" balas Laura tak mau kalah.Laura mengeluarkan sebuah pisau kecil dan mendekatkannya pada Devina."Laura! Enyahkan pisaunya!" teriak Ratna histeris."Hahahaha … kenapa? Kau takut anak kesayangan Kau ini mati? Bagus harusnya, biar kita sama-sama impas. Saya kehilangan ibu, Kau kehilangan anak," serang Laura serah menatap Ratna dengan tajam. Dari sorot matanya, jelas sekali sudah tersematkan dendam mendalam."Mama … Nana takut, Ma," lirih Devina seraya dengan luruhnya bulir bening dari matanya."Tenang sayang, Mama akan tolong kamu.""Hoho … so swe
"Devina mana? Aku cemas sama kondisi psikisnya." Lagi dan lagi Arjuna mengalihkan pembicaraan. Meskipun dia terlihat susah payah menjawabnya, tapi bukan Arjuna namanya yang menampakkan kesakitannya pada orang lain."Kamu benar-benar perhatian dan sayang Devina, atau …," batin Ratna.Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah feeling Ratna soal persekongkolan antara Laura dan Arjuna itu benar adanya?"Devina lagi istirahat di ruangan.""Lho kenapa? Memang dia ada luka? Kenapa dirawat?" tanya Arjuna cemas."Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Kamu tahu keberadaan Devina darimana?" tegas Ratna. Satu sisi Ratna juga merasa Arjuna tengah menahan rasa sakit karena tangannya memegang bagian perban bekas tusukan tadi. Akan tetapi, dia juga tak bisa membendung rasa penasarannya.Arjuna tampak menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan."Jam yang dipakai Devina ke sekolah itu ada chip yang bisa mendeteksi lokasi.""Tunggu-tunggu jadi, kamu bisa tahu kapanpun keberadaan Devina?" tanya Ratna penasaran. Rat
"Ratna … Devina sayang …!" seru Bram lagi dan lagi. Namun, gelagat aneh malah muncul dari Devina. Dia menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat bersamaan dengan menutup kedua matanya, seolah menunjukkan tak ingin mendengarkan suara papanya lagi. Dan, benar saja, kejadian tadi sewaktu-waktu akan muncul keingatannya, dan jika dibiarkan tak disikapi, akan menimbulkan dampak buruk bagi psikisnya seperti yang sudah dijelaskan dokter umum tadi di rumah tadi."Nana tunggu di sini, mama keluar sebentar!"Ratna bergegas keluar rumah. Jangan tanya seberapa emosinya dia setelah melihat tingkah Devina juga terngiang ucapan dokter tadi."Ratna! Devina mana? Aku cemas? Dia sudah ditemukan kan?" tanya Bram dengan memasang wajah sedih saat Ratna berdiri di hadapannya."Lebih baik, mulai sekarang kamu nggak usah menampakkan wajahmu di depan Devina ataupun aku, Mas!""Ratna … kamu kenapa? Kok jadi kasar begini? Aku benaran cemas soal Devina. Mana dia? Aku ingin ketemu," kekeuh Bram."
Bram memacu kecepatannya supaya lekas sampai di rumah. Melihat kondisi Laura yang terbilang memalukan dan akan menimbulkan masalah berkepanjangan membuat Bram tak ingin lagi ikut campur dalam kehidupan istri sirinya itu."Ma … buka pintunya!" seru Bram seraya menggedor pintu utama tanpa jeda.Wati pun langsung bangkit karena gedoran pintu Bram sangat mengganggu. Setelah membuka pintu, Wati langsung bertolak ke kamar. Tak seperti biasanya memarahi Bram karena selalu berisik."Ma … Ma, aku punya berita buruk!" seru Bram seraya mengikuti langkah Wati dari belakang."Memangnya sejak kapan kamu membawa berita bahagia, Bram?" serang Wati bersamaan dengan membalikkan tubuhnya, untung saja Bram cepat kilat menghentikan langkahnya, kalau tidak …."Tapi ini jauh lebih buruk, Ma. Aku bingung dan benar-benar shock," ucap Bram tampak panik seraya meyakinkan mamanya."Kamu putuskan saja sendiri, selama ini juga nggak pernah dengerin mama 'kan, Bram? Ambisimu tak bisa dikendalikan lagi, sampai-sampai
Seperti biasa, Shanti diantar oleh Pak Sobri."Kita pulang, Pak!" perintahnya setelah duduknya dengan posisi yang pas"Kita nggak jadi nginap, Bu?" tanya Pak Sobri sedikit heran, karena pas awal berangkat Shanti mengatakan kalau kemungkinan besar akan nginap di rumah sakit."Nggak, biar Arjuna diurus sama perawat. Gedeg saya tahu nggak, Pak. Masa ketusuk cuma gara-gara nolongin anak si Janda, perempuan yang paling saya benci itu. Coba Pak Sobri di posisi saya, sakit hati nggak?" cerocos Shanti yang belum tuntas melampiaskan kekecewaannya pada Arjuna."Kalau ibu nanya pendapat saya. Sebagai orang tua kita memang sedih, Bu. Itu manusiawi, tapi begitu mah kadang Tuhan menguji kita lewat orang yang kita benci."Ah … lagaknya bapak sok ceramah. Ini kan pendapat, juga bapak nggak ngalamin juga. Nyesal juga saya minta pendapat," geram Shanti.Padahal, dirinya berharap Pak Sobri akan satu suara dengan dirinya."Berangkat!!!"Pak Sobri hanya bisa menelan saliva, memilih diam adalah solusi yang