Aku terkejut saat mendengar pertanyaan dari Mas Raka kala itu. Tubuhku seketika bergetar hebat dan perasaan tak percaya mulai menggelayut pikiranku. Bayi yang seharusnya lahir dalam beberapa Minggu ini, kini sudah pergi meninggalkan rahimku.Aku menangis sesenggukan dan kurasakan aliran darahku mendidih.Aku menatap wajah Mas Raka dengan pandangan tajam, seolah ingin menembus jiwanya. Dia lah orang yang bertanggung jawab dalam hal ini. Aku tak bisa melupakan saat dia mendorong tubuhku ke belakang hingga membuatku terjatuh dan terluka. Sungguh tak termaafkan perbuatannya itu, dia bahkan tega meninggalkan diriku yang saat itu meminta pertolongan dirinya. "Bagaimana mungkin ini terjadi? Aku tidak bisa menerima kenyataan ini, Mas Raka sudah membuat bayiku harus merenggut nyawanya, karena perbuatannya. Andai saja saat itu dia tidak mendorong tubuhku, semuanya akan baik-baik saja," batin ku mulai bergejolak menyalahkan Mas Raka dalam peristiwa ini.Aku merasa murka dan mengarahkan kesala
Aku, Kalea, melihat wajahBu Ratna tampak shock sekaligus terkejut saat aku katakan jika Mas Raka yang mencelakakan diriku dan kandunganku.Sekilas dia menatap putranya yang tertunduk dan ketakutan saat metanya mulai menghardik dirinya.Sementara diriku sejak tadi mengepalkan kedua tanganku erat, mencoba menahan gejolak amarahku yang kian meluap."Raka, katakan kepada Mama, apa benar yang dikatakan Kalea?" tanya Bu Mirna menatap tajam ke arah wajah Mas Raka yang semakin terdiam.Tak ada respon dari Mas Raka, membuat ibu mertuaku mulai murka dan mendekati Mas Raka, memangkup wajah Mas Raka, yang dia arahkan ke depan wajahnya."JAWAB, RAKA!" bentak Bu Mirna yang suaranya mengisi di penjuru ruangan."Maafkan aku, Ma ..., Raka benar-benar tidak sengaja melakukan itu kepadanya. Aku tidak berpikir jika akan seperti ini, Ma. Sungguh aku sangat menyesal," kata Mas Raka dengan tangisan penyesalan, seolah tengah mengiba kepadaku untuk mendapatkan simpatik ku.Aku menarik pandanganku ke arah lain
Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengecek kondisi Kalea setelah mereka pulang ke rumah. Hari ini, aku mendapat kabar dari ibuku bahwa Kalea sudah pulang dan ibu telah menjenguknya bersama para tetangga. Ibuku menceritakan bahwa kehadirannya tidak mendapatkan respon yang baik dari Kalea dan Bu Mirna. Namun, ibuku tidak marah atau kesal, memahami bahwa perasaan tidak sukaaan mereka, mungkin disebabkan karena ibuku adalah orang tuaku. Aku merenung, mencoba mengatur strategi yang terbaik untuk menjenguk Kalea yang dirundung musibah, setelah mas Raka hendak menceraikan dirinya dan kini dia harus menelan pil pahit, jika ia harus kehilangan baginya, ketika dia mengalami pendarahan.Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor suamiku dan meminta saran darinya.Aku tidak ingin mengambil keputusan seorang diri, mengingat aku sekarang adalah tanggung jawab suamiku. Aku merasa perlu untuk mendapatkan saran dari Mas Attala dalam situasi seperti ini. Dengan hati-hati, aku mend
Setelah membeli buah tangan, aku dan Mas Attala langsung menuju rumah Mas Raka untuk menjenguk Kalea. Sesampainya kami di sana, aku melihat beberapa orang yang keluar dari rumah tersebut. Aku berasumsi bahwa mereka baru saja selesai menjenguk Kalea. "Semoga Kalea segera pulih," gumamku dalam hati. Setelah para tamu berpamitan pulang, kini giliran kami untuk menjenguk Kalea. Dengan rasa gugup dan harap-harap cemas, kami berdiri di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba, Bu Mirna keluar dan menyambut kedatangan kami dengan wajah terkejut. "Apa yang sedang dipikirkan Bu Mirna?" batinku saat aku melihat Bu Mirna tak lepas pandangannya dari wajahku."Assalamualaikum, Bu. Apa Kalea ada di dalam? Kami datang ke sini mau menjenguk Kalea," ucapku sambil tersenyum untuk menyembunyikan rasa canggungku. Bu Mirna masih terbengong melihat kami, dan aku bisa merasakan kekagetannya. Setelah beberapa saat, dia pun berkata, "Ada, silahkan masuk." "Terimakasih, Bu. Ini buah tangan dari kami," ucapku de
Aku menarik nafas panjang, merasakan emosi yang bergolak dalam dadaku. Namun, aku berusaha untuk menahan air mata yang hendak jatuh. Mas Attala melihat keadaanku dan berusaha menenangkanku. "Kalea, percayalah, aku tak berniat merebut Mas Raka darimu. Aku sudah menikah, dan tinggal di sini bukan karena Mas Raka. Kami di sini karena tugas pekerjaan Mas Attala. Setelah selesai, kami akan kembali ke ibu kota," ungkapku mencoba menjelaskan kesalahpahaman ini. "Jadi, pekerjaan apa yang membuat kalian berlama-lama di sini?" ujar Kalea sinis. "Sungguh, kehadiranmu membuat Mas Raka berpikir untuk menceraikan diriku. Aku tak sanggup lagi dengan semua ini, Rania!" seru Kalea dengan menatap wajahku, marah.Aku merasa terpukul mendengar perkataannya. Namun, aku sadar bahwa aku tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini, Mas Raka memang berupaya untuk mendekati diriku lagi, meskipun dia tau jika aku sudah menikah dengan Mas Attala."Kalea, percayalah, aku tak ingin melihat kehancuran hidupmu. Ak
Aku terkejut saat mendengar pernyataan dari Kalea, yang mengatakan jika Mas Raka ternyata penyebab dirinya kehilangan calon bayi yang dikandungnya dan juga kehilangan rahimnya. Tentu aku tak menyangka jika Mas Raka akan setega itu kepada Kalea, membiarkan Kalea kesakitan saat ia meminta pertolongan kepadanya.Mas Raka terlihat panik dan ketakutan, saat Kalea membongkar semua itu kepada kami. Dengan cepat dia menarik tubuh Kalea menjauhi kami.Samar aku mendengar Mas Raka berbicara kepada Kalea yang sedikit menjauhi kami."Apa-apaan kamu? Kenapa kau mengatakan hal ini kepada orang lain? Apa kau ingin aku berada di jeruji besi? Lalu aku akan meninggalkan dirimu?" Mas Raka mengatakan itu dengan sedikit bernada ancaman.Kulihat raut wajah Kalea yang sudah berubah ketakutan, entah apa yang dia pikirkan waktu itu."Lantas, kenapa kamu mengatakan itu kepada Rania? Apa kau juga berniat untuk meninggalkan aku, Mas? Katakan!" sungut Kalea dengan nada marahnya."Diam kamu! Aku tidak akan mening
Situasi sudah begitu memanas saat itu, sampai-sampai kami memutuskan untuk segera meninggalkan rumah itu. Aku merasa tak bisa lagi mencampuri perseteruan antara Bu Mirna, Mas Raka, dan Kalea, biarkan itu menjadi urusan mereka sendiri.Cukup sudah rasa sakit hati yang aku alami karena masalah rumah tangga mereka. Dalam kebimbangan, tiba-tiba Mas Attala tersenyum ke arahku, seolah memberikan dukungan dan meyakinkan bahwa aku harus mengikhlaskan masa lalu yang pahit itu."Rania kau sudah melihat sendiri apa yang terjadi dengan mereka bukan? Sebaiknya kamu melupakan semua yang mereka lakukan kepadamu waktu dulu, aku tahu ini sulit bagimu," ujarnya, dengan menatap wajahku penuh dukungan."Mereka memang berbuat buruk kepadamu, tapi apa yang terjadi sekarang, ini bukti bahwa kita tidak bisa merebut apa yang bukan milik kita tanpa menimbulkan bencana bagi diri sendiri. Belajarlah menerima dan berserah pada Allah, aku yakin semuanya akan lebih baik dari yang kita pikirkan." Kata-kata Mas Atta
Aku, Kalea, benar-benar merasa murka ketika mengetahui rencana ibu mertuaku yang menginginkan Mas Raka mencari istri kembali, terlebih di saat aku sedang mengalami keterpurukan. Tidak ada rasa simpati sama sekali, bukan dukungan yang diberikan, melainkan ide untuk menggantikan posisiku sebagai menantu dan seorang istri di keluarga ini. Tanpa pikir panjang, aku kejutkan mereka saat itu juga, aku menggebrak meja dengan keras, lalu menatap mereka satu persatu dengan tatapan penuh amarahku. Melihat wajah mereka yang gugup saat itu, bagai anak nakal yang tertangkap basah ketika melakukan kenakalan. "Kalea, kau ....!" Ibu mertuaku terbata-bata dan sangat gugup melihat diriku yang saat itu datang tiba-tiba dan mendengar percakapan mereka. Bagaimana tidak, di saat yang seharusnya mereka memberikan dukungan dan perhatian, justru aku menemukan sisi tergelap dari keluarga suamiku sendiri. "Iya, aku mendengar semua yang kalian bicarakan. Sungguh aku tidak menyangka jika saat ini aku berada