Share

Bab 6 Kenyataan Pahit

Aku terkejut mendengar ucapan Mas Raka. Di saat aku tengah berusaha memikirkan bagaimana mengganti kerugian dari rumah yang hancur karena keringatku sendiri, Mas Raka justru dengan santai mengajakku ke rumah barunya yang juga dibangun berkat jerih payahku.

"Ini rumah baru Mas Raka? Apakah dia juga membangun ini dari hasil keringatku? Ya Allah, selama ini uang yang aku dapatkan dari keringatku sendiri dia gunakan untuk apa saja? Jika hasil dari keringatku, bukankah seharusnya aku yang tinggal di rumah semewah ini?" gumamku dalam hati.

Aku bertanya dengan wajah geram, "Dari mana Mas Raka mendapatkan uang untuk membangun rumah ini?" Mas Raka hanya tersenyum mengejek, tanpa rasa bersalah sedikit pun kepadaku.

"Apa aku salah? Apa aku terlalu naif dalam melihat kebaikan orang?" pikirku semakin marah. 

"Kenapa kamu masih bertanya, Ra? Apa perlu aku mengatakan ini padamu?" tantang Mas Raka sambil menatap wajahku.

Saat itu aku merasa seperti mendapatkan tamparan keras, mengingat betapa besar pengorbananku untuk dia.

Aku mengepalkan kedua tanganku, mengumpulkan tenaga untuk meredam amarah yang memuncak. Namun, di tengah amarahku, aku sadar bahwa apa yang dikatakan Mas Raka mungkin benar.

"Apa aku harus menerima kenyataan ini? Mungkinkah memang inilah balasan yang pantas untukku, karena aku terlalu percaya dengan Mas Raka daripada ibuku sendiri?" diam-diam aku merenung. 

Dan akhirnya, aku sadar bahwa aku punya pilihan untuk terus menjadi korban atau bangkit demi masa depanku.

"Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa, Mas. Aku tau kalau kau hanya benalu selama menikah dengan diriku. Aku yakin jika rumah ini juga kiriman uang yang aku berikan kepadamu," kataku dengan menatap geram ke arah Mas Raka.

Mas Raka tersenyum mengejekku, ku tatap dia dalam-dalam, sambil ku bangkitkan diriku yang hampir terkoyak karena pengkhianatan yang dia lakukan kepadaku.

"Baguslah, sekarang kau ikut aku ke dalam! Aku mau memberikan pekerjaan utama untuk dirimu," kata Mas Raka yang membuatku semakin tercengang di sana.

Aku pun segera mengikuti langkah kakinya, setelah dia menarik koper pakaianku dan kini aku sudah berada di depan pintu rumahnya.

Saat aku sudah berada diambang pintu rumahnya, seketika aku pun di sambut dengan kemesraan yang mereka umbar di depan mataku.

Mas Raka tanpa ragu mencium pipi Kalea di depanku, disambutnya ciuman Mas Raka oleh Kalea dengan sapuan lembut bibirnya di bibir Mas Raka, tanpa sedikit pun melihat ada aku yang sedang melihat perbuatan mereka yang membuatku semakin sakit.

Ku tahan amarahku dan ku kuatkan diriku untuk melihat kemesraan suami dan sahabatku di depan mataku.

"Mas Raka, dari mana saja? Kenapa kamu malah pergi ditengah kericuhan yang terjadi?" tanya Kalea dengan nada manjanya.

"Maaf, Sayang. Aku harus menjemput tersangka yang merusak rumah ibuku, dari pada dia kabur, lebih baik aku jemput ke sini untuk beres-beres rumah ini, sebagai DP yang harus dia bayar untuk mengganti rugi rumah ini," jawab Mas Raka yang semakin membuat aliran darahku seketika mendidih.

Kalea menatapku sinis, tampak dia menunjukkan kekuasaannya sebagai istri sah Mas Raka, sementara aku hanya istri tak sah Mas Raka.

"Oh bagus deh, Mas. Tolong suruh Rania beres-beres pakaianku di dalam, aku capek, Mas. Apalagi saat ini aku tengah hamil anak kita," ucap Kalea dengan nada manjanya, membuatku ingin muntah.

Mas Raka tersenyum menatap wajahnya, lalu kemudian dia mengarahkan attensinya ke arah wajahku yang saat ini menatap geram ke arahku.

"Kamu dengar apa tidak? Cepat bawa kopermu ke kamar belakang!" titah Mas Raka dengan mendorong koper pakaianku ke arahku.

Seketika aku mengepalkan kedua tanganku, ku tahan emosiku, ketika Mas Raka memerintahkan itu kepadaku.

Segera ku langkahkan kakiku masuk ke dalam rumah itu, mengikuti langkah kaki Mas Raka yang saat ini sedang berjalan ke arah kamar belakang.

Beberapa menit kemudian, kami pun sudah sampai di sana.

Mas Raka menunjukkan kamarku yang jauh dari kata layak, hanya ada tikar dan juga lemari susun tiga di sana. Tak ada kipas angin, dan hanya jendela yang bisa dibuka sebagai fentilasi udara masuk di sana.

"Ini kamar kamu!" kata Mas Raka dengan menunjuk ke arah kamar sempit itu kepadaku.

"Ya Allah, Mas. Tega sekali kamu memberikan kamar sekecil ini kepadaku?" protesku dengan nada marah.

"Hei! Kau ini dikasih tempat berteduh, masih saja protes, beruntung kami kasih kamar ini untuk dirimu, Rania," sahut Kalea dengan nada marah saat mengatakan itu kepadaku.

"Diam kau, Kalea! Apa kau tidak malu? Sudah berani merebut suamiku, dan kalian menempati rumah ini dari hasil jerih payahku? Allah tidak tidur, semua ini akan aku ambil lagi dari tangan kalian!" seru ku dengan menatap marah wajahnya.

Kalea danas Raka tampak sangat kesal saat mendengar ucapanku. Tampak mereka tidak terima dengan ucapanku.

"Apa maksudmu? Kau pikir kau ini siapa, Ra? Meskipun uang ini memang sebagian hasil keringatmu, tapi sisanya adalah uang Mas Raka sendiri," sungut Kalea, tak terima dengan apa yang aku katakan.

"Benarkah? Uang dari mana, Mas Raka? Selama ini dia hanya pengangguran yang menumpang hidup dari keringatku saat aku masih bekerja menjadi marketing di luar negeri," sungutku dengan nada kesal.

"Kau jangan meremehkan Mas Raka, dia juga sudah memiliki pekerjaan yang mapan," sungut Kalea dengan menatap sombong ke arahku.

Aku hanya tertawa sumbang, semapan apa Mas Raka mendapatkan posisi jabatan di tempat kerjanya.

"Ohya? Aku ingin tau, posisi jabatan Mas Raka saat ini apa? Sudah berapa lama dia bekerja di perusahaan itu?" cibirku menatap wajah Kalea yang saat ini semakin gugup menatap diriku.

"Hentikan untuk mencemooh diriku!" seru Mas Raka yang tak terima dengan ucapanku.

"Kenapa, Mas? Apa kau malu mengatakan jika posisimu saat ini hanya menjadi staf biasa?" balasku dengan menatap mencemooh ke arah wajahnya.

Tampak ku lihat tatapan marah Mas Raka kepadaku, tak selang beberapa detik kemudian, ku lihat tangannya dengan cepat mengudara dan mendaratkan tepat di pipiku.

Plaak!

Aku merasakan betapa panasnya pipiku saat ini. Ku pegang pipiku dengan telapak tanganku.

Mas Raka menatap tajam ke arahku, sambil mengepalkan tangannya, marah kepadaku.

"Kau menamparku, Mas?" tanyaku dengan menatap wajah Mas Raka penuh kemarahan.

"Iya, aku menamparmu! Kamu memang pantas untuk mendapatkan semua itu! Berhentilah mencemooh diriku, dan menganggap dirimu lebih baik dariku, Rania! Asal kau tau, jika itu terlalu bod*h untukku, Rania. Dan kau lihat sendiri bukan? Aku lebih pintar darimu," cemooh Mas Raka menatap wajahku.

"Apa kau bilang? Kau lebih pintar dariku, Mas? Bahkan kau tidak akan sanggup berdiri sendiri dia atas kakimu sendiri," balasku lalu segera masuk ke dalam kamarku dan ku kunci pintu kamarku.

Seketika Mas Raka tampak geram dan meneriaki dirimu dari kamar.

"Dasar kau wanita tak tau diuntung! Beruntung aku tidak menikah secara sah denganmu, hingga aku bisa menguras habis jerih payahmu!" teriak Mas Raka dari arah luar.

Seketika hatiku sakit saat mendengar ucapan mas Raka saat mengatakan itu kepadaku.

'Kamu memang menang untuk saat ini, Mas. Tapi aku akan membalas semua itu sebentar lagi,' gumamku dalam hati .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status