Saat aku berada di dalam kamarku cukup lama, Mas Raka tampak menggedor pintu kamarku yang sedari tadi aku kunci pintunya.
"Rania! Cepat kau buka pintunya! Jangan banyak bertingkah di sini! Cepat keluar atau aku akan dobrak pintu kamarmu!" seru Mas Raka dengan menaikkan dua oktav nada bicaranya. Rasanya telingaku mau pecah saat itu, hingga akhirnya baku pun membuka pintu kamarku. "Ada apa Mas?" sungutku dengan nada marah yang aku telunjuknya kepadanya secara terang-terangan. "Apa aku tadi membawamu ke sini untuk menyuruhmu tidur saja? Banyak perkejaan yang harus kau bereskan! Setelah itu, kau masaklah sesuatu untuk Kalea. Sebentar lagi dia waktunya makan," kata Mas Raka yang membuatku seketika langsung menggelengkan kepalaku. "Manja banget istrimu itu? Apa dia tidak bisa masak sesuatu untuk dirinya sendiri?" sahutku dengan menatap kesal ke arahnya. "Apa kau tidak lihat? Saat ini dia sedang hamil?" sahut Mas Raka dengan menatap marah kepadaku. "Aku lihat banyak wanita hamil tapi bisa melakukan aktivitas sehari-hari kok Mas, jangan karena lagi hamil, lantas dijadikan sebuah alasan tidak bisa melakukan apa-apa. Itu namanya istrimu yang manja," cibirku dengan nada sedikit kesal. "Tahu apa kau tentang wanita hamil? Memangnya kau pernah hamil sejak menikah denganku? Dasar wanita mandul!" ejek Mas Raka sambil menatapku sinis. Begitu mendengar kata-kata itu, amarah membanjiri hatiku yang terluka dan tertekan. Dalam kegelapan hati, aku merenungi perasaan yang sulit kubendung. Aku mencoba menahan diri, mengepalkan tangan, dan memandang Mas Raka dengan penuh amarah. "Bisakah dia benar-benar mengerti betapa sulitnya posisiku saat itu?" gumamku dalam hati. Menyuarakan apa yang kurasakan di depannya hanya akan menyulut pertengkaran lebih lanjut. Mas Raka yang begitu tidak peka menuduhku mandul, padahal aku telah berkorban begitu jauh, bekerja di negeri orang demi memenuhi kebutuhan keluarga. Bukankah itu hal yang sangat berarti? Mengapa dia tega menghujatku seperti ini? Bagaimana bisa aku hamil jika sepanjang hidupku hingga sekarang lebih banyak kuhabiskan berkerja daripada bersamanya? Mungkin seandainya dia lebih peka dan pengertian, mungkin saja nasibku tidak akan seburuk ini. Tapi, mengapa Tuhan memilihnya sebagai pasanganku? Apakah ini salah satu bentuk ujian dari-Nya? Meski demikian, aku akan berjuang untuk membuktikan kalau aku bukan wanita mandul seperti yang dia sebut-sebut. Kedepannya, jika ada kesempatan, aku akan mencoba untuk lebih dekat dengannya dan melakukan yang terbaik untuk membahagiakan keluarga ini. Namun, pada saat ini, yang kuperlukan hanyalah kekuatan dan ketabahan untuk menjalani hari-hari yang penuh tantangan ini. "Apa kau bilang, Mas? Aku mandul? Tega kamu bicara seperti itu damaaku, Mas? Aku tidak mandik, Mas. Dokter mengatakan aku baik-baik saja. Apa kau tidak berpikir jika aku tidak hamil-hamil karena kita jauhan, Mas," ucapku mencoba untuk mengingatkan itu kepada suamiku. Mas Raka seketika langsung terdiam, ada banyak hal yang membuat dirinya akhirnya bungkam. "Sudahlah, aku tidak mau bicara lagi tentang masalah ini. Semuanya sudah usai! Sekarang, aku minta kau bereskan rumah ini sekarang!" seru Mas Raka lalu segera meninggalkanku sendiri di sana. Aku hanya bisa memegangi dadaku dan kemudian segera menyelesaikan tugasku, daripada Mas Raka akan ngamuk-ngamuk lagi kepadaku. Beberapa jam kemudian, aku pun sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah ini, aku meminta Mas Raka untuk mencatat semua yang aku lakukan sebagai DP untuk membayar ganti rugi. Setelah Mas Raka mencatat semua itu, aku pun mengambil buku catatan itu dan segera ku simpan dengan baik di tas pakaian milikku. Sementara itu, aku melihat Kalea yang saat itu tampak dengan manjanya minta disuapi oleh Mas Raka, ketika mereka berada di ruang meja makan. "Mas, suapi Kalea dong," rengek Kalea yang seketika membuatku pingin muntah. "Iya, Sayang, aku suapi kamu," balas Mas Raka dengan menunjukkan kemesraannya kepadaku. Aku menahan perasaan sakit hatiku, ketika melihat suamiku sedang bermesraan dengan maduku di depanku. Ku tahan air mataku agar tidak keluar saat itu, dan aku berpura-pura melihat aksinya mereka biasa saja, meskipun aku merasakan betapa sakitnya diriku saat ini kepada dirinya. **** Satu Bulan Kemudian Sudah satu bulan lamanya, aku berada di rumah seperti neraka ini. Ku tahan sakit hatiku saat melihat mereka bermesraan setiap hari di depan mataku. Tak sanggup aku melihat itu, aku pun memutuskan untuk segera mengakhiri permainan Mas Raka. "Maaf Mas, sepertinya sudah cukup aku di sini! Aku akan mencicil rumah ibumu dengan cara yang lain," kataku dengan menatap penuh wajah Mas Raka. "Apa maksudmu? Kau ingin lari dari tanggung jawab? Kau lihat saja, pelunasan hutang mu masih jauh," ujar Mas Raka dengan menunjukkan buku hutang-hutangku. "Aku tau Mas, tolong berikan aku kesempatan untuk mencari kerja, aku janji akan melunasi semua hutang-hutangku kepadamu," ucapku dengan nada sedikit mengiba. "Memangnya kau akan bekerja di mana?" tanya Mas Raka dengan menatap wajahku dengan tatapan sinisnya. "Tentu saja aku akan ke kota besar untuk mencari pekerjaan di sana, setiap bulan, aku akan membayarkan cicilan ku kepadamu, Mas," ucapku dengan meyakinkan dirinya. "Apa kamu bisa dipercaya?" tanya Mas Raka yang saat ini sedang meragukan ucapanku. "Inshaallah bisa Mas. Aku bukan tipe orang pembohong sepertimu, Mas," cibirku dengan menoleh ke arah lain. Mas Raka hanya terdiam untuk beberapa waktu saat itu. Tak ingin mengulur waktu, aku pun meminta Mas Raka untuk segera memberikan talak kepadaku. "Mas Raka, aku minta cerai darimu! Tolong talak tiga kepadaku, sebelum aku pergi, Mas," pintaku sambil ku kepalkan telapak tanganku dengan erat. Mendengar permintaanku, seketika Mas Raka menatap wajahku, seolah ada sesuatu yang mulai berat dia rasakan saat akan melepaskanku. "Apa maksudmu? Kau ingin bercerai dariku?" tanya Mas Raka yang saat ini terlihat berat mengatakan itu kepadaku. "Maaf Mas, aku tidak mau dimadu, jika kau berat melepaskan diriku, sebaiknya Mas Raka memilih satu diantara kami, aku atau Kalea," ujarku dengan nada tegas. Saat kami sedang berbicara, aku tidak menyadari ada Kalea yang sejak tadi menguping pembicaraan kami, hingga akhirnya dia pun keluar dari tempat persembunyiannya dan kini berjalan menghampiri kami. "Ya sudah, ceraikan saja dia, Mas! Kenapa kamu harus ragu? Kamu dan aku sudah menikah denganku dan kita akan memiliki anak sebentar lagi," sahut Kalea dengan melipatkan kedua tangannya ke arah depan dadaku. Mas Raka tampak tersentak dengan apa yang dikatakan oleh Kalea saat itu, tapi kemudian, ia pun mengucapkan kata talak kepadaku, setelah Kalea sudah mulai bisa mempengaruhi pikiran Mas Raka. "Baiklah, jika itu maumu, Rania. Mulai hari ini aku akan memberikan talak tiga kepadamu. Kau bukan istriku lagi!" kata Mas Raka dengan tegas, ketika ia mengucapkan kata talak kepadaku. Seketika air mataku sudah tidak bisa aku bendung, rasa sesak di dada aku rasakan begitu menyakitkan. Pupus sudah rumah tangga yang aku bina bersama dengan dirinya karena kehadiran sahabatku yang bermain di belakang.Hampir satu bulan lamanya aku berada di sana, dan aku pun sudah tak tahan lagi melihat kemesraan mereka yang sengaja mereka umbar di hadapanku, aku pun memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tanggaku.Saat itu Mas Raka tidak mau melepaskan aku, karena DP belum sepenuhnya tuntas aku berikan.Tak tahan dengan semua itu, aku pun terpaksa memberikan kalung emasku seberat 10 gram sebagai pembayaran sisa DP dan juga uang cicilan ganti rugi rumah yang sudah aku hancurkan.Saat aku hendak berpamitan, aku meminta sesuatu kepada Mas Raka dan saat itu juga permintaanku telah dikabulkan oleh Mas Raka.Lega, kecewa dan sekaligus sangat sedih tentunya. Namun, dengan perceraian ini, aku akan bebas dari ikatan yang akan menghantuiku dan membuatku semakin tidak ikhlas menerima pernikahan mereka.Aku akhirnya keluar dari rumah itu dengan status janda.Perdih rasanya saat aku harus mengakhiri pernikahan ini dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati. Namun, takdir membawa kami pada perceraian yang t
Setelah memperoleh restu dari ibuku, aku segera mengambil keputusan untuk melamar pekerjaan di Perusahaan PT. Bintang Gemilang Abadi.Dalam waktu singkat, lamaran kerja yang kukirimkan melalui email mendapatkan balasan.Mereka menantikanku untuk datang mengikuti wawancara pekan depan. Betapa bersyukurnya hatiku saat itu, seolah Allah telah mengabulkan doa yang terpanjat di bibirku.Seketika itu juga aku pun segera memberitahukan kepadaku ibuku dan, aku pun berkemas dan mempersiapkan semua keperluanku untuk pergi merantau."Bu, Rania dapat panggilan wawancara minggu depan," ucapku seraya menunjukkan email tersebut kepada ibuku.Raut wajah bahagia terpancar dari ibuku. Namun, ada kepedihan yang tersembunyi di belakang senyumnya.Aku tahu apa yang ibuku rasakan saat ini, tentu karena hatinya belum sepenuhnya rela untuk melepaskan aku merantau jauh darinya.Mencoba mencari tahu perasaan ibu, aku bertanya padanya, "Ibu, kenapa wajahmu sedih? Bukankah Ibu seharusnya bahagia karena Rania bis
Tubuhku bergetar saat mendengar caci makian dari Mas Raka saat itu, sungguh aku tidak menyangka dia akan menelepon diriku dan hanya untuk mencaci maki diriku.Tubuhku benar-benar bergetar saat mendengar caci makian dari mulut Mas Raka."Apa maksudmu, Mas? Kenapa Mas Raka tiba-tiba mencaci makiku seperti itu? Apa Mas Raka menelpon diriku hanya untuk mencaci mamkiku saja?" tanyaku dengan kutahan emosiku yang hampir siap meledak saat itu."Kau memang pantas untuk dicaci-maki. Apakah ini adalah alasanmu untuk meminta cerai dariku? Dasar gatel kamu Ra, baru juga minta cerai, sekarang kamu mencari pria lain," olok Mas Raka yang seketika membuat hatiku mulai meradang."Apa yang kau katakan Mas? Kau jangan fitnah, Mas! Aku ke kota ini untuk mencari pekerjaan dan membayar uang ganti rugi kepadamu. Sebaiknya Mas Raka urusi saja istrimu itu, kau tidak berhak atas diriku lagi, Mas! Jadi, jangan pernah kau memfitnah diriku lagi!" pungkasku lalu segera ku tutup teleponku.Hancur hatiku mendengar el
Aku benar-benar sangat terkejut saat melihat sosok lelaki yang aku temui di Bus beberapa jam yang lalu adalah bos di mana saat ini aku sedang melakukan interview.Jantungku berdegub dengan kencangnya saat Mas Attala akan memulai interviewnya kepada diriku."Duduklah, Rania! Kau jangan tegang seperti itu," kata Mas Attala saat sepintas dia melihat wajahku yang tampak sangat gugup saat itu.Aku pun menganggukkan kepalaku dan mulai duduk di atas kursiku.Kulihat Mas Attala tampak sibuk membuka laptopnya dan melihat Curriculum Vitae yang aku email saat itu."Rania Salsabila, rupanya kau cukup berpengalaman bekerja di luar negeri," puji Mas Attala sambil melirik wajahku.Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit bangga akan pencapaian yang sudah kulewati. Tidak terasa, obrolan kami berlanjut, dan Mas Attala mulai menanyakan tentang banyak hal yang berhubungan dengan kantor tempatku bekerja sebelumnya.Sejenak, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat segala pengalaman dan kisah yan
Mengawali pagi hari di tempat kerja yang baru, aku sengaja bangun lebih awal dan berangkat ke kantor dengan penuh semangat.Meskipun saat ini aku hanya diterima sebagai OB untuk bosku, tapi aku tetap bersemangat untuk memberikan yang terbaik."Sudah waktunya aku membuktikan diri, dan kali ini aku akan menunjukan kepada Pak Attala bagaimana aku bisa bekerja dengan baik dan menerima tantangannya kali ini," gumamku sembari mempersiapkan keperluan hari ini. Mungkin saat ini Mas Attala sedang menguji ketahanan dan kemampuanku, tapi aku yakin suatu hari nanti aku bisa meraih impianku dan mendapatkan posisi yang lebih baik di tempat ini.Aku berharap Mas Attala akan melihat usaha dan kerja keras yang aku tunjukkan nanti."Ini bukan akhir dari perjuanganku, ini adalah awal yang baru," bisikku semangat di dalam hati.Dengan langkah pasti, aku segera berangkat ke kantor agar tidak terlambat di hari pertama bekerja. Aku ingin menunjukkan bahwa aku serius dan berdedikasi pada pekerjaan ini, wala
Aku terkejut saat mendengar ucapan Mbak Rima di depan Pak Attala. Rasanya seolah-olah aku ditampar cukup keras. Bagaimana mungkin Mbak Rima bisa mengatakan hal seperti itu di hadapan Pak Attala? Aku pun mencoba untuk membela diriku yang telah difitnah oleh Mbak Rima."Apa maksud Mbak Rima? Ini pasti salah! Bukankah tadi Mbak Rima yang bilang kalau Pak Attala lebih suka minum kopi manis?" elakku dengan nada marah, seakan merasa tersudut oleh ucapan Mbak Rima.Mbak Rima menatapku dengan sorotan mata yang begitu tajam, seolah ingin menegaskan bahwa dia tidak pernah mengatakan hal tersebut kepadaku. Aku merasa kebingungan semakin menjadi, bagaimana bisa kesalahpahaman ini terjadi? Apa yang sebenarnya Mbak Rima maksudkan? Sementara itu, Pak Attala hanya menyaksikan perselisihan kami dengan tenang. Ia tampak seperti menilai kami dari ekspresi wajah yang tersirat di wajah kami berdua. Adakah maksud tertentu di balik pandangan Pak Attala yang begitu mendalam? Atau ia hanya ingin melihat se
Melihat story Mas Raka di media sosial yang tiba-tiba viral, seketika membuat hatiku seperti disambar petir.Pikiran-pikiran buruk mulai menghampiri dan air mata menggenang di pelupuk mataku.Aku bertanya dalam hati, "Mengapa ini harus terjadi padaku?" Aku merasakan kemarahan bercampur sedih sementara tanganku bergetar seketika memegangi ponsel milik Mbak Rima.Mbak Rima, yang seperti sengaja mendekatiku, menatapku dengan raut wajah penuh kepuasan seolah merasakan kebahagiaan dari kesedihan yang tengah kualami.Fitnah dari Mas Raka bagai racun yang merayap, mempengaruhi pikiranku dan perasaanku.Namun, aku tidak ingin Mbak Rima semakin berbahagia melihat penderitaanku, secepatnya aku menghapus air mata yang belum sempat jatuh dan kembali membungkam emosiku.Aku menarik nafas dalam-dalam sambil berkata pada diriku sendiri, "Aku harus tetap kuat. Aku tidak boleh terpengaruh dengan fitnah ini. Ini bukan diriku yang sebenarnya."Dengan tekad yang bulat, aku segera melanjutkan pekerjaanku
Aku terharu saat mendengar Pak Attala akan membantuku untuk membalas perbuatan Mas Raka saat itu. Namun, aku belum tau dengan cara apa Pak Attala akan membantuku."Bapak akan membantu saya?" tanyaku dengan menatap wajah Pak Attala.Pak Attala lalu tersenyum ke arahku dan seketika membuat jantungku berdegup dengan kencangnya."Tentu saja aku mau membantumu, asal kau juga mau membantuku," balas Pak Attala sambil menatap wajahku. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya kali ini, membuatku tidak bisa memahami maksudnya. "Maksud Bapak?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang bercampur rasa was-was. Pak Attala tersenyum tipis, lalu memutar kursi yang kupakai hingga menghadap ke arahnya. Dia pun menarik kursi yang ada di belakangnya dan duduk di sana. Suasana semakin terasa tidak nyaman dan aku pun mulai gugup dibuatnya."Ini bukan karena aku memanfaatkan situasi, tapi saat ini aku memang sedang mencari seorang istri," jelas Pak Attala yang semakin membuatku terkejut dan bingung.