Pov Yuda"Begini, Pak Rio. Besok kami akan ke sini lagi. Kami akan bawa polisi. Jika Bapak Rio belum juga bisa membayar hutang-hutangnya, terpaksa Bapak akan kami bawa ke kantor polisi!" "Tolong jangan besok, Pak!" Rio terus memohon. "Tidak ada waktu lagi, Pak. Sebaiknya bapak pikirkan untuk membayarnya besok.. Kami permisi!" Sepeninggal para penagih itu, aku meminta semua kumpul. Atas permohonan Salma, demi kesehatan Ayah, aku akan membantu Rio menyelesaikan masalahnya. "Bagaimana Yuda. Apa kamu jadi membantu Rio?" tanya Ayah. "InsyaAllah. Rio, Aku tau, Kamu masih memiliki satu hotel bintang lima di Bandung. Aku sudah menyelidiki semuanya. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kenapa tidak kamu jual saja itu untuk membayar sebagian hutang-hutangmu?" Rio tampak gelagapan. Ayah dan Mira melotot padanya. Selama ini dia bilang ke semua orang bahwa aset yang dia miliki telah habis terjual. "Apa maksudmu menyembunyikannya dariku, Mas?" Mira nampak sewot. "Hotel itu sudah hampir bangkrut
Sepanjang malam mata ini sangat sulit terpejam. Mas Yuda bilang, siapkan mental. Haduh, kira-kira apa yang sebenarnya telah terjadi? Sungguh aku takut jika yang aku khawatirkan terjadi. Rasanya ingin cepat pagi saja. Dan segera mengetahui apa yang selama ini telah disembunyikan oleh suamiku. Entah pukul berapa semalam aku terlelap. Pagi ini Mas Yuda berjanji mengajakku ke suatu tempat. Walau hati ini rasanya tidak karuan, aku tetap melakukan tugasku menyiapkan segala keperluan Mas Yuda. Suamiku itu tetap bersikap mesra. Seperti tidak terjadi apa-apa. "Sudah siap, Sayang?" tanyanya ketika aku juga sudah rapi dengan stelan celana tunikku. "Sudah, Mas. Aku cek Raihan sebentar ke kamar sebelah. Tadi sih masih tidur." "Stok ASI nya sudah kamu siapkan? Kita mungkin agak lama." Lama? Maksudnya? Apa aku akan pergi jauh? "Salma? Kok malah melamun?" "Oh, eh ... nggak apa-apa , Mas. Stok ASI nya banyak kok" jawabku sedikit gugup. "Syukurlah.. Ya sudah. Aku tunggu di bawah." Laki-laki
"Kenapa, Sayang? Kok diam?" Aku menghella napas panjang. "Aku ... punya firasat nggak enak, Mas." Mas Yuda yang sedang menyetir, tangan kirinya meraih jemariku dan mengecupnya sesaat. "Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak," lirihnya. "Kenapa Mas nggak cerita aja sekarang?" "Aku ingin agar kamu melihat dan bertemu langsung dengan seseorang." Jantungku semakin berdebar. Apa aku akan bertemu dan berbicara langsung dengan Syifa? Apa aku sanggup dengan apa yang akan aku dengar nanti? Aku semakin bertanya-tanya ketika mobil Mas Yuda memasuki area parkir salah satu rumah sakit ternama di kota ini. "Kita ke rumah sakit, Mas?" tanyaku heran. Mas Yuda mengangguk. Nampak wajahnya mulai tegang. Mas Yuda sudah tidak banyak bicara. Dari area parkir di lantai lima, kami masuk ke dalam lift. Mas Yuda menekan angka tiga,. Kenapa wajah suamiku ini berkeringat. Aku semakin cemas. Kembali jantungku berdegup kencang. Aku tak lagi berani bertanya. Sebaiknya mempersiapkan hati untuk menerima
"Syifa ... Yuda ...!" Suara lemah itu lagi-lagi memanggil nama mereka berdua. "Ya, Pak!" "Jadi ... kapan kalian akan menikah?" Apaaa? Menikah? Ya Allah ... Sontak Mas Yuda menatapku dengan tatapan yang sulit aku mengerti. Dadaku sesak bagai dihantam batu besar. Jelas aku tidak salah dengar. Mereka akan menikah. Lalu untuk apa aku di bawa ke sini? Apa Mas Yuda sengaja ingin menorehkan luka di hatiku? Apa dia sengaja agar aku mendengar berita yang meremas hatiku ini. Apa dia sengaja agar aku dapat melihat langsung kebersamaan mereka berdua? Saat ini aku melihat mereka bagaikan satu keluarga. Sepertinya tanpa sepengetahuanku mereka sering bersama belakangan ini. Berarti Mas Yuda telah membohongiku. Apa sikap manisnya selama ini juga bohong? Apakah kata-kata cintanya padaku adalah dusta? Ya Allah. Sungguh aku tak sanggup. Sebaiknya aku pergi saja dari sini. Sebelum air mata ini tumpah. "S-salma ... mau ke mana?" sontak Mas Yuda maju mendekatiku ketika aku hendak berbalik bada
"Aku tidak pernah janji ataupun menyanggupi permintaan Bapakmu! Aku sudah memberimu pekerjaan layak. Aku sudah membiayaimu kuliah. Aku akan menjamin hidupmu dan bapakmu selama aku hidup. Dengan begitu Aku tidak harus menikahimu." Aku tertegun mendengar penjelasan dari suamiku itu. "Bagaimana jika Bapak Saya menolak dan melanjutkannya ke jalur hukum?" ancamnya Hening. Mas Yuda menghela napas dalam. "Saya ... siap dipenjara." tegas Mas Yuda. "Mas ...!'" Aku menoleh dan meremas jemari Mas Yuda. Kini aku berada dalam dilema. Tubuhku terasa lemas. Dua pilihan yang tak akan mungkin aku pilih. Aku tidak mungkin membiarkan Mas Yuda dipenjara. Namun apa aku sanggup jika Mas Yuda menikahi perempuan ini? Pantas saja Mas Yuda memberikan perlakuan istimewa pada Syifa. Mas Yuda ternyata diancam oleh mereka. "Tolong Pak Yuda pikirkan kembali permintaan Bapak saya. Bu Salma, tolong anda jangan egois. Apa ibu tega jika Pak Yuda mendekap dipenjara selama bertahun-tahun? Saya sudah kehilangan
Seperti wanita-wanita yang berada di cafe ini, tanpa sengaja akupun ikut memperhatikan gerak-gerik serta langkah dari pria itu. Astaga! Ternyata pria itu justru menghampiri mejaku. Tiba-tiba Mas Yuda berdiri. "Hai, Bro ...! Wah, wah, masih aja bisa bikin perempuan histeris." Ternyata Mas Yuda menyapa pria yang membuat heboh para wanita-wanita itu. "Mentang-mentang sudah nikah, sok jaim. Kamu dulu suka bikin perempuan guling-guling sama garuk-garuk dinding," sahut pria dengan rambut coklat itu. Merekapun terkekeh. "Ngomong-ngomong, Aku dikenalin dong sama bidadari disebelahmu ini!" "Astaga! Hampir saja lupa. Kenalkan ini Salma, istriku." "Salma." Aku tersenyum mengangguk seraya menangkupkan kedua tanganku di depan dada. "Elkan." Aku merasa pria ini menatapku cukup lama hingga membuatku tak nyaman. "Mau pesan apa? Di sini sup buntutnya enak," tanya Mas Yuda. "Masih ingat aja kalau aku suka sup buntut." "Ingat, doong!" Lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak setelah mengena
"Maaf, permisi." ucapku "Ya, silakan!" sahut wanita itu seraya berdiri dan memutar badannya. Astaga! "Salma?" "Kak Lina? Sekarang Kakak kerja?" Wanita yang ternyata kakak iparku itu ternganga melihatku. Kami sama-sama terkejut. "Iy-iyaa ..." Jawabnya gugup. "Kalau Kak Lina kerja, anak-anak dengan siapa, Kak?" "Aku titip Ibu dan kak Norma. Aku terpaksa, Salma. Bang Marwan dan Bang Adam dipenjara sekarang. Siapa yang menafkahi kami kalau aku nggak kerja." Ya Allah. Hatiku terasa diiris. Saat ini aku serba berkecukupan. Sementara Ibu mertua dan kaka iparku sedang kesulitan.Cafe ini cukup jauh dari rumah Kak Lina. Sudah pasti ongkosnya juga besar. Gaji yang dia terima sebagai cleaning service pun pasti tidak besar. Sebelum masuk ke dalam toilet, aku mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya pada Kak Lina. "Kak, maaf, ini ada sedikit dariku. Semoga bisa bermanfaat." "Eh, Apa ini? MasyaAllah, terima kasih, Salma." "Ya sudah. Aku masuk dulu. Salam buat Ibu dan Kak Norm
POV Syifa Kenapa sih Pak Yuda nggak mau nikahin aku? Aku nggak kalah cantik kok dari istrinya yang mantan pedagang nasi kaki lima itu. Aku sudah bela-belain pakai hijab untuk bisa mengambil hati pria tajir itu. Sampai-sampai habis aku ditertawakan oleh teman-teman nongkrong di basecamp. Aku kembali melangkah ke ruang perawatan Bapak. Setelah lelah bersandiwara di depan Bu Salma yang bodoh itu. Semoga saja Bapak tidak luluh karena hari ini Pak Yuda membawa istrinya ke rumah sakit ini. Jangan sampai Bapak berubah pikiran. "Seharusnya Bapak lebih mendesak Pak Yuda tadi. Ini malah diam saja ketika Dia pergi menyusul istrinya!" ujarku kesal ketika sudah kembali duduk di kamar VIP ini. "Syifa ..., Apa kamu tidak kasian dengan mereka? Rumah tangga mereka bisa hancur," sahut Bapak yang hanya bisa berbaring di tempat tidiur. "Loh, malah bagus, dong. Sekalian saja mereka cerai. Peluang Aku untuk menjadi Istri Yuda jadi lebih besar." "Astagfirullahaladzim, Syifa. Kamu kemarin janji pada