🏵️🏵️🏵️
Aku tetap membiarkan Mas Damar menikmati keromantisannya bersama Tia. Aku sudah tidak sabar agar segera tiba di rumah dan meluapkan segala amarah ini dengan tangisan.
Aku segera beranjak meninggalkan tempat yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku tidak sanggup menyaksikan suami yang sangat kucintai bermesraan dengan wanita lain yang juga merupakan sahabatku sendiri.
Baru satu tahun tidak bertemu dan berhubungan dengan Tia, tetapi ini yang dia lakukan di belakangku. Padahal selama ini, aku sangat percaya kepadanya bahkan menganggapnya sebagai sahabat yang paling bisa mengerti dengan perasaanku.
Ternyata aku benar-benar salah menilainya. Kenapa selama ini, aku tidak pernah menaruh curiga kepadanya? Ternyata dia serigala berbulu domba.
Aku masih sangat ingat sekitar kurang lebih dua tahun yang lalu, kami saat itu bercengkerama berdua di rumah. Dia bercerita tentang kesendiriannya dan masih belum membuka diri untuk menikah.
“Kapan, nih, kamu kenalin calon kamu ke aku?” tanyaku saat itu ketika kami menyantap nasi goreng buatanku.
“Calon apa, nih?” Dia bersikap seolah-olah tidak mengerti dengan maksud pertanyaanku.
“Calon suami, dong. Calon apa lagi?”
“Aku belum kepikiran, deh, untuk nikah.” Jawaban santai keluar dari bibirnya.
“Kenapa? Jangan bilang kamu trauma karena pernah patah hati.” Aku mencoba menebak apa yang membuatnya masih tetap sendiri.
“Kok, kamu tahu?” Aku sontak kaget karena ternyata tebakanku sangat tepat.
“Patah hati sama siapa? Seingatku dari zaman kita SMA, kamu nggak pernah dekat dengan cowok.”
“Karena cowok yang aku suka saat itu sudah punya kekasih dan sekarang dia sudah menikah.”
“Dia tahu kalau kamu ada rasa untuknya?”
“Sekarang dia udah tahu.”
Mengingat apa yang Tia katakan saat itu, aku langsung menebak kalau laki-laki yang Tia cintai adalah Mas Damar. Dia sering memperhatikan Mas Damar menjemputku di sekolah kala itu.
Aku dan Mas Damar pacaran sejak masih duduk di bangku SMP kelas sembilan, sedangkan Mas Damar saat itu sudah SMA kelas sepuluh.
Waktu SMA, aku bertemu dengan Tia karena kami berada di kelas yang sama hingga lulus. Dia sahabat terdekatku saat itu. Dia sangat baik hingga membuatku benar-benar bangga memiliki teman dekat seperti dirinya.
Sementara Mas Damar tidak berada di sekolah yang sama denganku karena dia bersekolah di SMA milik keluarganya. Namun, tiap hari Mas Damar yang mengantar jemput aku ke sekolah. Dia sangat perhatian, juga memanjakanku.
Tia selalu mengatakan bahwa aku sangat beruntung memiliki laki-laki pengertian seperti Mas Damar. Tia juga berharap dapat menemukan pasangan yang bersedia memanjakannya.
“Aku iri, deh, lihat kamu,” ungkap Tia saat itu setelah melihat Mas Damar mengantarku ke sekolah.
“Iri kenapa?”
“Karena kamu memiliki pacar sebaik Mas Damar. Di samping dia baik, ganteng juga.”
“Waduh, bahaya, nih ... kamu muji-muji Mas Damar di depanku.” Kalimat itu yang kuberikan kepadanya tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun.
“Maaf, deh.”
Kenapa aku begitu polos dengan ucapan Tia tentang Mas Damar? Tidak ada rasa curiga sedikit pun dalam benakku terhadap dirinya karena saat itu, aku menganggapnya sebagai sahabat. Seorang sahabat tidak mungkin tega menyakiti hati dan perasaan sahabatnya sendiri.
🏵️🏵️🏵️
Setelah tiba di rumah, aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur lalu menangis. Hatiku masih belum sanggup mengingat pemandangan hari ini. Suami dan sahabatku sangat kejam hingga tega menusukku dari belakang.
Mas Damar sudah lupa dengan semua cintanya untukku. Dia dengan mudahnya memberikan cinta itu kepada wanita lain yang merupakan sahabat istrinya sendiri.
Apa yang harus aku pertahankan lagi dari Mas Damar? Hampir semua anggota keluarganya tidak menyukaiku, mereka seolah-olah tidak pernah menganggapku ada. Oma-nya merupakan anggota keluarga yang paling membenciku.
“Kenapa istrimu belum hamil, Mar?” Pertanyaan itu yang orang tua tersebut lontarkan kepada Mas Damar di depanku beberapa bulan yang lalu.
“Nggak tahu, tuh, Oma.” Aku sontak kaget mendengar jawaban Mas Damar.
Saat itu, aku belum tahu apa alasan Mas Damar berubah menjadi sangat kasar dan tidak membelaku. Ternyata semua itu karena Tia yang telah memenuhi hatinya.
“Bilang, dong, sama istrimu supaya cepat hamil!” Oma-nya Mas Damar kembali mengeluarkan sesuatu yang membuatku sakit.
Aku tidak tahan diperlakukan seperti itu, akhirnya aku memberanikan diri untuk melontarkan pembelaan.
“Maaf, Oma ... yang mengatur semuanya hanya Allah, mungkin saat ini Tari belum dikasih kepercayaan untuk memiliki momongan.” Aku dengan lembut mengutarakan apa yang ada dalam hatiku kepada oma Mas Damar.
Akan tetapi, apa yang kuterima? Balasannya membuat hatiku sangat hancur dan dada terasa sesak.
“Mungkin kamu mandul!” Aku tidak pernah menyangka bahwa seseorang yang sudah tua seperti oma Mas Damar, sungguh sangat tega mengeluarkan kalimat seperti itu.
Bukankah seharusnya orang yang lebih tua memberikan nasihat kepada orang yang lebih muda? Beliau pantasnya memberikan kekuatan dan pengertian kepadaku. Pengertian agar aku tetap bersabar dan berusaha, juga mengingatkan supaya tidak berputus asa.
Akan tetapi, semua itu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Damar. Mereka justru ingin selalu menyudutkan dan menyalahkanku.
Kepada siapa aku akan menceritakan semua ini? Saat ini, Ayah sedang tidak sehat dan Ibu juga baru sembuh dari sakit. Tidak mungkin aku membebani orang tua dengan semua ketidakadilan yang kudapatkan dari keluarga Mas Damar.
Aku tidak ingin melihat Ayah dan Ibu menderita karena harus memikirkan nasib putri sulungnya ini. Aku tidak sanggup jika harus melihat kondisi kesehatan Ayah saat ini. Namun, Ibu pernah mengingatkanku karena mungkin beliau melihat sikap keluarga Mas Damar yang tidak pernah menganggapku.
“Kamu jangan diam aja kalau kamu tidak bertahan.” Kalimat itu yang Ibu lontarkan kepadaku saat itu.
“Ada apa, Bu?”
“Ayah dan Ibu akan tetap menerima kamu jika kamu ingin kembali.”
“Jangan ngomong gitu dong, Bu. Mas Damar baik, kok.”
“Ya, udah, Ibu percaya padamu.”
Perasaan seorang ibu tidak pernah salah untuk menilai anaknya karena kenyataannya sekarang, Mas Damar telah menghancurkan hidupku.
🏵️🏵️🏵️
Tok! Tok! Tok!
Aku mendengar suara ketukan pintu. Aku sangat yakin itu Mas Damar. Aku segera melangkah menuju ruang tamu lalu membuka pintu.
“Kamu dari mana, Mas? Kenapa pulangnya telat?” Pertanyaan itu yang pertama aku suguhkan setelah pintu terbuka.
Aku ingin menyalaminya, tetapi dia sama sekali tidak menghiraukanku. Dia langsung memasuki kamar. Tanpa menunggu lama, aku juga menyusulnya setelah menutup pintu depan.
“Kamu kenapa, Mas?” Aku kembali bertanya kepadanya setelah di kamar.
“Bisa nggak, sih, kamu nggak banyak nanya? Aku capek, nih!” Gertakannya membuatku sangat terkejut.
“Kenapa kamu jadi kasar gini, Mas? Apa karena sudah ada wanita lain yang mengisi hatimu?” Aku akhirnya melontarkan pertanyaan itu.
“Diam kamu! Jangan asal nuduh!” Dia mengelak dari pertanyaanku.
“Kalau kamu memang udah nggak butuh aku lagi, kenapa kamu nggak jujur aja, Mas?”
“Bagus kalau kamu sudah tahu kalau aku sudah nggak membutuhkan kamu lagi.”
“Kalau itu memang mau kamu, bebaskan aku.”
“Maksud kamu apa? Dasar wanita tidak berpendidikan.” Aku terkejut mendengar ucapan Mas Damar.
“Apa kamu bilang, Mas?”
“Wanita stupid dan tidak berpendidikan, julukan itu yang pantas untukmu.”
“Tega kamu bicara seperti itu, Mas! Dalam jangka waktu yang hanya beberapa bulan, kamu bisa berubah menjadi orang lain. Ini bukan Mas Damar yang kukenal, siapa kamu sebenarnya?”
“Aku sudah cukup bersabar untuk tetap hidup berdampingan denganmu, kamu tidak pantas untukku. Wanita di luar sana jauh lebih layak jadi pendamping hidupku.”
“Maksud kamu Tia, Mas?” Aku tidak sanggup lagi menahan air mataku agar tidak jatuh.
“Iya, dia jauh lebih mampu memberiku kebahagiaan.”
“Jahat kamu, Mas. Aku minta cerai!”
“Kalau kamu ingin lepas dariku, kamu harus membayar semua biaya yang telah kukeluarkan untuk menikahimu dulu!”
“Gila kamu, Mas. Apa kamu juga sanggup mengembalikan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku yang telah kuberikan padamu?”
Plak!
Dia mendaratkan pukulan di pipiku.
Betapa sakitnya hati dan perasaanku mendapatkan perlakuan kasar dari suami yang dulu sangat mencintaiku.
Ke mana Mas Damar yang dulu sangat mengerti dan memanjakanku? Kenapa perubahan pada dirinya terjadi secepat ini? Apa yang telah Tia lakukan kepadanya?
==========
🏵️🏵️🏵️“Kenapa kamu menamparku, Mas?” Aku memegang pipi kanan bekas tamparan Mas Damar, rasanya sangat sakit.“Itu sangat pantas untuk wanita sepertimu!”“Apa maksudmu? Apa salahku?” Aku masih tidak mengerti kenapa dia berlaku kasar kepadaku.“Kamu meminta apa yang telah kamu berikan padaku? Kamu lupa siapa yang memenuhi semua kebutuhanmu selama ini? Aku!”“Kamu yang memaksaku untuk mengeluarkan kalimat itu karena kamu tega memintaku untuk membayar semua biaya pernikahan kita dulu.”“Kamu nggak sanggup? Itu sudah jelas! Kamu itu nggak lebih dari benalu yang menumpang hidup denganku!”“Sudah menjadi kewajibanmu untuk memenuhi kebutuhanku karena aku istrimu.” Aku tetap tidak terima dengan semua yang dia katakan kepadaku.“Cih! Istri yang tidak berguna.” Dia mengeluarkan air ludahnya di depanku.“Apa alasanmu mengatakan aku istri tidak berguna? Apa yang merasuki dirimu hingga berubah sekasar ini hanya dalam waktu beberapa bulan?”“Karena kamu sudah tidak bisa memberikan yang terbaik u
🏵️🏵️🏵️Hari ini, aku tidak banyak melakukan kegiatan seperti biasanya. Aku sengaja mengurung diri di kamar, meratapi nasib yang telah menimpa diriku. Aku menangis sesenggukan karena tidak pernah menyangka akan mengalami penderitaan seberat ini.Ingin rasanya bersandar di pundak Ibu lalu menumpahkan semua yang telah Mas Damar perbuat kepadaku. Hanya Ibu yang mengerti dengan kesusahan putrinya.Aku kembali mengingat apa yang telah Ayah sampaikan ketika aku dan Mas Damar masih berstatus sebagai sepasang kekasih.“Ayah tidak bermaksud untuk melarang hubunganmu dan Damar, tapi Ayah khawatir dengan keluarganya. Ayah dapat merasakan kalau mereka tidak menyukai hubungan kalian.” “Yang jalanin semuanya Tari dan Mas Damar, Ayah. Jadi, Ayah nggak perlu khawatir.” Kalimat itulah yang keluar dari mulutku untuk meyakinkan Ayah saat itu.Sekarang aku baru menyadari semuanya, ternyata Ayah memiliki perasaan yang sangat kuat tentang apa yang akan menimpa diriku.Aku merasa bersalah karena tidak me
🏵️🏵️🏵️Apa lagi yang aku pertahankan dari keluarga aneh Mas Damar? Mereka tidak pernah peduli dan menganggapku ada. Mereka juga tidak berniat sama sekali memberikan solusi terbaik jika aku sedang mengalami kesusahan.Masih sangat jelas dalam ingatanku, kala itu Ibu sedang sakit dan tidak memiliki biaya untuk membayar rumah sakit. Mas Damar juga saat itu sedang tidak memiliki tabungan karena telah dia gunakan untuk biaya pernikahan kami.Aku dan Mas Damar tidak memiliki pilihan lain, kami pun memberanikan diri untuk meminta bantuan orang tuanya. Orang tuanya bersedia membantu dan memberikan pinjaman, tetapi dengan syarat yang tidak kuduga sama sekali.“Mama bersedia memberikan bantuan, tapi ada syaratnya.” Mama mertua melontarkan kalimat itu.“Apa pun syaratnya akan Tari penuhi yang penting Mama bersedia memberikan bantuan pada kami.” Aku menyanggupi apa pun syarat yang beliau berikan.“Kalian tetap mengembalikan uang Mama. Tapi jika kalian tidak mampu membayar secara tunai, bisa dic
🏵️🏵️🏵️Aku merasa tenang setelah menghubungi dia beberapa hari yang lalu karena dirinya sangat peduli kepadaku. Semenjak mengenalnya beberapa tahun silam, dia selalu memberikan yang terbaik untukku.Dia tidak pernah membenciku walaupun dulu diriku pernah menyakiti dan melukai hati dan perasaannya. Dia sosok yang penuh dengan pengertian dan bersikap dewasa.“Maafin aku, yah, Mas, karena telah menyakiti hatimu.” Saat itu aku meminta maaf atas apa yang kulakukan kepadanya.“Kamu nggak perlu minta maaf, Mentari. Kamu nggak salah, tapi keadaanlah yang tidak berpihak padaku.” Kalimat ikhlas itu membuatku makin merasa bersalah kepadanya. “Harapanku hanya satu, melihatmu tetap bahagia bersama laki-laki yang mencintaimu. Damar adalah pilihan yang sudah kamu yakini untuk membahagiakanmu,” lanjutnya dengan lembut.“Iya, Mas. Aku bersyukur karena kamu mengerti dengan perasaanku. Dia laki-laki yang kudambakan dan akan mejadi imam, juga pendamping hidupku.” Aku dengan penuh semangat saat itu memb
🏵️🏵️🏵️“Besok kita sudah mulai menjalankan rencana kita, Mas,” saranku kepada Mas Surya.“Okeh. Apa yang harus aku lakukan besok?” Tampaknya Mas Surya sangat antusias dengan rencana yang telah aku utarakan.“Kamu ikutin, tuh, si pelakor setelah dia pulang dari sekolah. Dia ngajar di sekolah milik keluarga Mas Damar. Ini orangnya.” Aku menunjukkan foto Tia di ponselku.“Maksudnya, mulai besok aku mengamati gerak-geriknya, yah?” “Iya, Mas. Namanya Tia, kami saling kenal sejak duduk di bangku SMA hingga akhirnya bersahabat.”“Kenapa dia setega ini padamu? Dia berusaha menghancurkan rumah tangga sahabatnya sendiri.”“Aku juga nggak tahu, Mas, tapi waktu SMA dia mengaku mengagumi Mas Damar. Tapi semua itu udah nggak penting lagi bagiku karena tujuanku sekarang hanya ingin melihatnya merasakan penderitaan yang kualami.”“Apa kamu yakin hanya Damar yang dekat dengannya saat ini? Aku tidak percaya jika dia tidak memiliki kekasih sebelum selingkuh dengan Damar.” Ternyata apa yang aku pikirk
🏵️🏵️🏵️Sekarang aku makin berani menentang kekasaran Mas Damar. Aku bukan lagi Tari yang selalu sabar untuk disakiti. Saat ini, aku Mentari yang penuh semangat untuk memancarkan sinarnya.“Tari, buka pintunya!” Mas Damar menggedor-gedor pintu kamarku.Aku tidak berkutik sedikit pun. Aku tidak menjawab panggilannya karena bagiku sekarang, dia tidak lebih dari laki-laki tidak memiliki perasaan.“Aku ini suamimu dan kamu wajib menenuhi hakku. Buka pintunya!” Suaranya makin terdengar keras memintaku membuka pintu.Akan tetapi, aku tetap diam dan tidak menghiraukannya. Terserah dia mau bilang apa, yang pasti aku tidak ingin lagi melaksanakan kewajiban sebagai istri bersamanya.Dia tidak berhak lagi mendapatkan pelayanan dariku, dia dengan kasar telah menyakitiku secara lahir dan batin. Dia lebih baik mendapat pelayanan dari Tia, wanita kotor yang dia banggakan.Kekuatan yang aku peroleh saat ini tidak luput dari kalimat semangat yang Mas Surya ucapkan kepadaku.“Kamu jangan rapuh, yah, h
🏵️🏵️🏵️Setelah pertemuanku kemarin dengan Mas Surya, akhirnya hari ini dia kembali melakukan pengintaian di sekitar sekolah milik keluarga Mas Damar. Dia memberitahukan bahwa hari ini, tidak ada yang mencurigakan dari sikap Tia.Hari kedua hingga kelima tetap seperti hari pertama, tidak ada yang dapat dicurigai. Tia tetap langsung pulang ke rumah.Ini hari keenam, Mas Surya mengikuti gerak gerik Tia, aku makin berharap adanya informasi yang lebih menarik lagi. Aku akan kumpulkan semua bukti yang telah aku peroleh, mulai dari perselingkuhannya dengan Mas Damar hingga minggu kemarin dirinya memasuki hotel bersama seorang laki-laki.Hati ini benar-benar sudah tertutup untuk memberikan maaf kepadanya karena yang ada dalam pikiranku saat ini, menginginkan kehancuran hidupnya. Aku juga ingin lepas dari ikatan pernikahan yang tidak kuingkan lagi.Tiba-tiba terdengar nada panggilan masuk dari ponselku. Seperti yang kuharapkan, ada nama Mas Surya di layar. Tanpa pikir panjang, aku segera men
POV DAMAR🏵️🏵️🏵️Namaku Damar Hermawan, suami Tari—wanita yang dulunya sangat aku cintai. Namun, setelah tidak sengaja mendengar percakapan itu, rasa cinta dan sayangku kepadanya berubah menjadi sebuah ambisi untuk balas dendam.Saat itu, kami telah menjalin hubungan selama delapan tahun. Banyak kenangan yang telah terlewati bersama. Aku dan Tari sama-sama saling mencintai. Dia selalu memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepadaku. Tari mengaku kalau aku cinta dan pacar pertamanya. Sebelum bertemu denganku, dia belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki lain walaupun sebenarnya banyak yang mendekatinya.Terus terang, awalnya aku sangat tulus mencintai Tari, tetapi kesetiaan itu tergoyahkan oleh sahabatnya sendiri, ditambah lagi dengan ucapan ayahnya yang tidak sengaja kudengar hingga membuatku kecewa.“Hubungan kamu dan Damar sudah berjalan sangat lama, Tari. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Sampai kapan kalian tetap seperti ini? Ayah sudah tidak tahan dengan ucapan