Entah berapa lama waktu telah berlalu, angin berembus mengibarkan rambut Alya.Rasa mualnya perlahan mereda. Alya menunduk, melihat lengan yang melingkari pinggangnya."Sudah cukup memeluknya?" tanya Alya dengan dingin.Pria di belakangnya terdiam."Kalau sudah, lepaskan aku. Aku harus turun dan mengambil benderanya."Setelah mengatakan itu, Alya dapat merasakan orang di belakangnya menegang. Tak lama kemudian, orang itu pun melepasnya."Oke, ambil benderanya dulu."Rizki turun dari kuda, lalu mengulurkan tangannya pada Alya untuk membantunya turun.Alya meliriknya, tidak mengambil tangannya dan malah turun sendiri dari kuda tersebut.Tindakannya ini membuat tatapan Rizki menjadi agak dingin.Setelah turun dari kuda, Alya menarik napas dan maju untuk mengambil bendera itu. Dia mengabaikan kotak kecil yang ada di sampingnya, sama sekali tidak tertarik.Tepat ketika dia menegakkan tubuhnya, terdengar Felix yang mengutuk dari kejauhan."Sial. Keterlaluan kamu, Rizki. Kamu benar-benar samp
"Pak Felix, meskipun sangat disayangkan kita nggak bisa berkuda bersama, aku masih berharap kamu dapat memberiku sedikit waktu untuk membicarakan pekerjaan?"Mengingat wajah Rizki yang seperti mayat hidup, tadinya Felix hendak menolak. Namun, begitu melihat senyum manis Alya di depannya, kata-kata yang telah mencapai bibirnya pun berubah. Dia berkata, "Oke, ayo.""Terima kasih."Saat pergi, Alya juga mengajak Sarah.Sarah melambaikan tangannya. "Nggak, pria yang nggak kamu sukai itu adalah incaranku. Aku mau mengambil kesempatan ini."Alya terdiam.Apakah orang-orang ini tidak tahu kalau Rizki sudah bersama Hana? Mereka masih pantang mundur seperti ini?Akan tetapi, Alya tidak terlalu suka menghakimi atau mengomentari kehidupan dan keputusan orang lain. Alya pun memilih untuk menghormati pemikiran wanita ini dan mengangguk."Oke, kalau begitu kami pergi duluan."Dia dan Felix pun pergi bersama.Sambil menuntun kudanya, Felix menghampiri Alya dan menggaruk kepala dengan canggung. "Jalan
Beberapa menit kemudian.Sarah pun duduk di kursi depan. Begitu masuk ke mobil, dia segera menutup pintunya, memasang sabuk pengaman, lalu menunjukkan ekspresi yang seolah-olah mengatakan, 'Kursi ini sekarang adalah milikku, lakukan apa yang kalian mau, pokoknya aku tak akan bertukar tempat.'Sementara itu, setelah keluar dari mobil, Alya berdiri diam untuk sejenak sebelum berkata pada Felix, "Kamu masuk duluan.""Oh."Felix sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, mereka semua mau turun dari bukit ini, sekalian saja duduk bersama.Dia pun mendengarkan Alya dan langsung menunduk untuk masuk ke mobil, tetapi dia mendengar Rizki berkata, "Pergi sana."Felix sudah kehabisan kata-kata.Dia membeku dalam posisi itu untuk beberapa saat, kemudian dia mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Alya, "Nona Alya, bagaimana kalau kamu masuk duluan."Melihat tampangnya dan mengingat apa yang terjadi sebelumnya, Alya pun menghela napas dengan tak berdaya di dalam hati. Akhirnya Alya pasrah dan naik ke
Tentu saja, lebih bagus ketika Alya tertidur. Dia jauh lebih penurut.Ketika bangun, dia terlalu sombong dan tak acuh.Mengingat tatapannya yang tak acuh tadi, dada Rizki masih terasa sakit.Sejak mereka berdua bertemu hingga sekarang, mereka jarang memiliki momen hangat seperti ini.Sayangnya, momen ini tidak bertahan lama. Ponsel di dalam saku Alya tiba-tiba berbunyi.Nada dering yang merdu itu pun bergema di dalam mobil yang sunyi, sehingga Alya segera terbangun.Tubuh Rizki tiba-tiba menegang.Tanpa disangka, Alya bahkan tidak membuka matanya. Masih dalam posisi yang sama, Alya mengambil ponselnya dari dalam saku.Karena dekat, Rizki dapat melihat nama pemanggil di layar ponsel Alya. Yang menelepon adalah Irfan.Ekspresinya pun menjadi suram."Halo."Alya mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya.Mungkin suaranya terdengar terlalu mengantuk, jadi Irfan di ujung telepon pun terdiam sejenak sebelum bertanya, "Baru bangun tidur? Kamu di mana?""Hmm." Alya masih belum bangun sepenuhny
Mendengar kata-kata "berbagi tempat tidur", Felix dan Sarah yang sedang diam-diam menguping pun terbelalak. Mereka menoleh bersamaan dan memandang kedua orang itu, lalu secara bersamaan berseru, "Berbagi tempat tidur??""Apa maksudnya? Kalian pernah tidur bersama??"Sang sopir juga kaget dan langsung menginjak pedal rem, mengakibatkan mobil itu berdecit dengan kencang.Semua orang menatapnya.Sopir tersebut buru-buru mengambil saputangan dari sakunya untuk mengelap keringat di keningnya, lalu memaksakan sebuah senyum dan berkata, "Sampai, sudah sampai."Mendengar ini, Alya pun menyadari bahwa mobil mereka sudah sampai di arena pacuan.Raut wajahnya berubah, dia segera mendorong Felix.Felix juga segera turun dari mobil.Melihat ini, Alya juga bersiap untuk turun. Namun, dia mendengar suara dingin Rizki dari belakang."Setelah bersandar padaku, kamu akan pergi begitu saja?"Alya tidak bisa berkata-kata.Setelah 5 tahun tidak bertemu, pria ini jauh lebih tak tahu malu dibandingkan sebelu
Mendengar kalimat yang terakhir, Angga pun akhirnya merasa lega."Baguslah. Kalau diskusi besok berjalan lancar, kita pasti bisa mendapatkan investasi ini. Kamu sangat pintar dan cerdas."Pintar dan cerdas?Bisakah dia melakukan ini?Alya merasa ... agak terbebani.Alya terpikirkan sesuatu, lalu mengangkat kepalanya dan menatap Angga. "Menurutmu, siapa yang lebih hebat? Felix atau Rizki?"Pertanyaannya membuat Angga tampak bingung."Apa maksudmu, Bos? Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti ini?""Jawab saja."Angga tidak tahu bagaimana dia harus menjawabnya, karena dia tahu mengenai masa lalu Alya dan Rizki. Jika dia bilang Rizki yang lebih hebat, apakah dia akan membuat Alya marah?"Lagi pula, bagaimanapun juga, Alya adalah bosnya sekarang."Kamu sedang memikirkan apa?" tanya Alya saat melihat Angga terdiam.Angga mengumpulkan keberaniannya dan berkata, "Aku sedang memikirkan apakah aku harus mengatakan kenyataannya atau mengatakan jawaban yang membuatmu senang."Jawabannya ini sangat
Karena harus menjemput anak-anak, Alya meninggalkan perusahaannya lebih awal.Namun, saat dia tiba di sekolah, dia masih terlambat 5 menit.Guru sekolah itu memberitahunya bahwa kedua anaknya telah dijemput oleh ayah mereka.Mendengar ini, raut wajah Alya berubah drastis. Suaranya pun tanpa sadar meninggi."Apa katamu? Dijemput ayah mereka?"Dari mana datangnya ayah Maya dan Satya?Jangan-jangan ....Sang guru jelas terkejut oleh suaranya yang tiba-tiba meninggi, guru itu dengan lemah berkata, "O ... orang yang datang bersamamu pada hari pertama pendaftaran anak-anak, mungkinkah dia bukan ayah Maya dan Satya?"Orang yang datang bersama pada hari pertama pendaftaran?Orang yang mereka bicarakan adalah Irfan?Mendengar ini, Alya pun menghela napas lega. Ternyata mereka membicarakan Irfan, dia kira dia sudah ketahuan oleh Rizki."Ada apa? Nona Alya? Kamu kelihatannya nggak enak badan, apakah ... ada masalah?" tanya guru itu dengan ragu.Alya tersadar dari pikirannya, lalu menggelengkan ke
Alya melihat jam dan menemukan bahwa hari sudah larut, dia pun menyuruh kedua anaknya untuk tidur. Setelah mengurus beberapa hal, dia mendongak dan melihat bahwa Irfan masih duduk di sofa. Dari gelagatnya, tampaknya pria itu tidak memiliki niat untuk pergi.Sebelum Alya sempat berbicara, Irfan melepas kacamata bingkai emasnya, lalu menatap Alya dan tersenyum. "Tampaknya sekarang sudah cukup larut."Mendengar ini, Alya tanpa sadar mengangguk."Ya, sudah larut.""Hotelku lumayan jauh dari sini, jadi bolehkah malam ini aku menginap? Tentu saja aku akan membayar sewa."Mendengar pria itu ingin membayar sewa, Alya merasa hal ini terlalu berlebihan."Bayar sewa apanya, aslinya kamu yang menyewakan rumah ini pada kami. Lagi pula ini hanya untuk semalam, kamu bisa menginap dengan tenang."Setelah mengatakan itu, Alya langsung berdiri. "Aku akan menyiapkan kamarmu."Irfan pun juga ikut berdiri."Nggak usah, aku akan melakukannya sendiri."Dia mengikuti Alya ke kamar tamu. Karena sekarang cuacan