Pov MIA“Mia, apa-apaan ini?” Suara Firman membentak dan tatapannya terlihat marah. Lekas dia meraih kemeja itu lagi dan memakainya.“Ayo arak, Pak RT! Arak mereka! Merusak nama kampung saja!” teriakku dengan seringai penuh kemenangan. Kali ini, hancur sudah namamu, Mbak Arin! Hancur sudah!Jangan pernah bermimpi akan bisa menyaingiku, Mbak Arin! Kulihat Mbak Arin masih mematung di atas pijakan tangga. Dia pasti shock. Kuharap Bapaknya yang dulu sakit jantung itu segera mendengar kabar penggrebekkan ini. Kalau sudah miskin, ya harusnya miskin saja. Gak usah sok-sokan pengen nyaingi aku dan Mas sandi. “Ayo, Pak RT! Arak! Atau perlu divirlakan dalam sosmed!” seringaiku sambil mengeluarkan gawai. Namun, baru saja kuarahkan dan kupijit tombol rekam. Tiba-tiba dengan satu sentakan, tanganku ditepis seseorang. Ponsel yang kupegang, hampir saja terjatuh. “Hentikan, Mia! Ayo pulang!” Mas Sandi sudah berdiri di dekatku dan menepis tangan ini kasar. Aku terkejut. Kenapa Mas Sandi datang, la
Sepeninggalnya para warga dan Pak RT. Kini yang tersisa hanya aku, Mas Reza dan Firman yang sedang mengenakan lagi pakaiannya. Pintu kututup setelah Pak RT dan warga minta maaf dan undur diri. Namun, aku dibuat terkejut ketika terdengar suara debuman disusul suara mengaduh dari arah belakang. “Awwww!” Ketika kumenoleh, Mas Firman sudah terhuyung. Rupanya satu bogeman mentah Mas Reza sudah bersarang di pipinya. “Mas!” Aku terkejut dan hendak memburu mereka. Namun, Mas Reza lagi-lagi menarik kerah baju Mas Firman dan menjatuhkan satu pukulan lagi pada wajahnya. Bruk!Tubuh Firman kembali oleng dan terjerembab pada sofa. Mas Reza sudah merangsek, hendak maju lagi. Namun, aku lekas memeluk punggungnya.“Mas! Hentikan! Adek takut,” pekikku cemas. Kurasakan napas Mas Reza memburu naik turun. Namun, syukurlah, akhirnya dia urung. Mas Firman bangun dan tampak menyeimbangkan tubuhnya. Kali ini aku yang maju dan memandang wajah Firman dengan nyalang.“Mas, kenapa kamu berbuat seperti ini?
Pov Mia“Mas, kamu dipecat?” tanyaku sambil menatap lurus ke arah wajah Mas Sandi. Dia baru saja pulang setelah kemarin menyeretku dari rumah Mbak Arina, terus menghilang.“Semua ini gara-gara kamu, Mia!” tukasnya dingin. Dia langsung melemparkan kunci mobil sembarang dan duduk menyilang kaki. “Kok gara-gara aku, Mas? Kenapa kamu nyalahin aku?” tanyaku tak terima. Enak saja, tiba-tiba saja menyalahkan aku. “Aku ketahuan korupsi uang pegawai! Puas kamu?!” bentaknya dengan mata melotot. “Ya ampuuun, Mas! Terus kenapa jadi salahku, hah? Aku gak pernah nyuruh kamu korupsi, Mas!” elakku. Enak saja tiba-tiba menuduh kalau semua kesialan yang menimpanya gara-gara aku. Prang!Aku terperanjat. Bukannya menjawab, tapi Mas Sandi malah menarik taplak meja sehingga membuat gelas dan teko keramik mahalku pecah berserakan. “Mas! Gak bisa dong kamu tiba-tiba nyalahin aku gini?” protesku. “Lupa kamu, Mia! Kamu yang nuntut ini itu. Kamu tahu gajiku berapa, tapi kamu ngutang sana sini Cuma buat ge
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.
Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol