Dewangga menarik lembut punggung tangan Namira yang tergantung bebas. Ada gerakan kecil atas respon dari apa yang Dewangga lakukan. Namira menoleh ke belakang, ingin tahu siapa seseorang yang berani mengelus punggung tangannya tanpa izin darinya. “Pak Dewangga?” panggil Namira seakan tak percaya tangannya ditarik mesra oleh bosnya sendiri. “Ini yang kamu mau?” tanya Dewangga tidak mempedulikan keterkejutan yang Namira alami. “Maksudnya?” Namira tak mengerti. “Kenapa berdiri di atas sini, pandangan ke bawah seperti tidak ada pemandangan lain yang bisa kamu lihat,” ujar Dewangga tanpa melepas tangan Namira. Di bawah gedung terlihat Aidan dan Laras sedang bermesraan. Laras memperlihatkan sikap manjanya. “Belum move on?” pertanyaan Dewangga mengundang ketidaknyamanan Namira.“Emm, nggak perlu dijawab. Kita sekarang harus pergi, Namira,” ajak Dewangga kembali menarik tangan Namira. Namira tidak memberi penolakan. Ia berjalan mengikuti langkah kaki Dewangga. Namun, ketika seseorang pegawai
Perjalanan kali ini tidak banyak yang bisa Namira ceritakan. Di pesawat, tak terjadi hal yang menarik. Namira lebih memilih untuk beristirahat untuk menyimpan energinya sebelum ia memforsis dirinya ketika sampai di Surabaya nanti. Dewangga membiarkan sekretarisnya mengunci mulut selama perjalanan. Di pikirannya, mungkin Namira sedang lelah atau memang sedang tidak ingin banyak bicara. Namun nyatanya, ada sesuatu yang Namira sembunyikan. Namira sedang tidak ingin banyak bertukar pandang dengan Dewangga. Sekarang ia sudah mulai sering salah tingkah dan sampai mati gaya. “Hmm, capek juga ya pura-pura tidur seperti ini,” batin Namira yang dari tadi memejamkan matanya. “Kamu nggak mau makan apapun begitu?” tanya Dewangga seperti tahu drama yang sedang Namira jalani.Namira bangun dari kepura-puraan yang begitu membuatnya lelah. Ia meregangkan otot kepalanya, lalu memulai mengeluarkan suaranya melalui sebuah pertanyaan. “Bagaimana, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” pertanyaan seolah Namira t
Jika tidur di rumah, Namira pasti akan mencari guling untuk ia dekap dalam peluknya. Tidurnya juga akan menjadi lebih nyaman dan nyenyak ketika benda itu bisa menjadi satu dalam selimut bersamanya. Kali itu, Namira berusaha mencari keberadaan guling. Ia ingin sekali memeluk erat dan melanjutkan mimpinya. Karena mata masih terpejam, pun nyawa belum berkumpul penuh, Namira memeluk seseorang yang ada di sampingnya. Ia mencoba menarik. “Hmm berat sekali guling ini,” gumamnya dengan mata yang masih tertutup rapat. Namira berusaha dengan tenaga yang lemah karena rasa kantuknya belum pergi. “Dewangga!” teriakan dari luar kamar hotel membangunkan Dewangga dan Namira. “Aaaaaa!” teriak Namira begitu sadar di sampingnya ada Dewangga.“Bapak, sejak kapan tidur di sini? Kenapa nggak tidur di kamar Pak Dewangga? Saya sudah pesan dua kamar yang berbeda,” protes Namira. “Namira, ini kamar hotel saya,” jawab Dewangga belum sepenuhnya sadar. “Hah?” seru Namira. Lalu ia mengamati seisi ruangan. Matanya
Ruang kerja Namira dan Dewangga sunyi tanpa suara, sepi tanpa ada tanda kehidupan di sana, kecuali, jam yang menggantung di dinding. Suaranya terdengar jelas saat ada orang yang melewati ruangan itu. Nimas merasa sedikit kesepian karena hari itu tidak ada sahabatnya yang bisa ia ajak bergosip, ngobrol, dan pastinya makan siang. Tak ada karyawan lain yang dekat dengan Nimas kecuali Namira. “Hei, kemana bestie lo itu?” tanya Ailin yang baru saja datang menghampiri tempat kerja Nimas. Nimas memberikan lirikan tajam. Ia enggan menjawab pertanyaan yang baginya tidak penting itu. “Tuli Lo? Gue doain beneran nggak bisa denger!” celetuk Ailin kesal karena dicuekin oleh Nimas. Walaupun sudah mendengar sumpah serapah dari Ailin, Nimas masih tidak mau menoleh ke arahnya.“Ih dasar sombong!” seru Ailin seraya menggebrak meja Nimas. Nimas meradang. Kepalanya sudah mulai panas, lalu membakar emosinya dengan cepat. Ia berdiri dari tempat duduknya, kemudian bersiap meladeni umpan yang diberikan oleh
Laras menunggu Aidan di depan gang rumahnya. Sudah cukup lama Laras menunggu di depan rumah, karena Aidan tak kunjung datang, Laras pun memutuskan berjalan hingga depan gang. Wajahnya sudah tidak sumringah seperti saat ia keluar dari rumah. Suasana hatinya pun berubah. “Aidan kemana sih?” gerutunya sembari terus mencari mobil Aidan . Tengok kanan kiri, belakang, dan semua arah sudah ia sambangi. Namun tetap saja belum terlihat mobil Aidan datang. Laras merogoh tasnya, menelepon sang kekasih agar bisa mendapat kepastian keberadaannya. Sayangnya, telepon dari Laras diabaikan oleh Aidan. Pagi itu kekesalan memihak pada Laras. Laras berganti tujuan pada ponselnya. Jarinya mengarah ke aplikasi taksi online untuk memesannya.“Duh, macet lagi,” gumam Laras ketika melihat aplikasi online. Beberapa saat kemudian, klakson mobil Aidan terdengar oleh Laras. Rasanya Laras tidak ingin masuk mobil Aidan, ia ingin memesan taksi online saja. Namun, jam di tangannya sudah memberi kode jika Laras akan t
Seharian ini harinya dipenuhi oleh pekerjaan. Rapat bersama klien, turun ke lapangan, survei, dan pastinya membuat laporan tentang kegiatan yang telah dilewati selama satu hari penuh. Malamnya, Namira berniat untuk merebahkan badannya. Ia ingin memanjakan tubuhnya dengan tidak melakukan apa pun kecuali rebahan. Sayangnya, semua niat Namira dipatahkan oleh bosnya. Dewangga tiba-tiba saja telepon tengah malam dan meminta Namira untuk segera datang ke kamarnya. “Saya tunggu sekarang, ya!” ucap Dewangga terakhir sebelum akhirnya ia menutup teleponnya. “Duh, ada apa lagi, sih?” gerutu Namira sembari bangun dari rebahannya. Dengan sangat malas dan gontai, Namira bangkit dan segera bersiap ke kamar Dewangga. “Jangan-jangan ada laporan yang salah? Atau harus rapat lagi malam ini?” “Arghhh!”Baru ketukan pintu pertama, Dewangga sudah membuka pintu untuk sekretarisnya. Di dalam kamarnya, banyak hidangan di atas meja. “Apa lagi ini?” batin Namira mulai curiga. “Makan malam!” seru Dewangga dengan
Pagi kedua di Surabaya. Namira sedang mengemas barang-barangnya. Ia merapikan dan memasukkan semua barang yang keluar dari koper pinknya. Setelah selesai, ia menutup rapat koper dibantu dengan badannya yang tidak seberapa besar itu. “Huh, kelar juga,” ucapnya setelah menyelesaikan semuanya. Namira sudah mandi, berganti pakaian, juga merias wajahnya agar tidak terlalu pucat. “Oh iya, rambut gue,” tuturnya ketika melihat gulungan handuk di kepala. Rambutnya masih sangat basah. Hari itu Namira memutuskan untuk keramas, supaya beban di pikirannya bisa ikut mengalir dengan shampoo dan air di kamar mandi. Lilitan handuk di kepalanya ia lepas, handuknya ia lempar ke kasur, lalu, Namira mengeringkan rambutnya dengan hairdrayer yang ia bawa dari rumah.“Namira, kamu belum selesai?” isi pesan dari Dewangga yang membuat ponsel Namira berbunyi. Namira buru-buru menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut. Pesan itu ia baca dan langsung dibalas. “Tumben banget si Bapak,” gumamnya heran. Setelah m
Liburan yang Dewangga maksud bukanlah berkeliling ke banyak tempat wisata, makan di berbagai restoran yang ada, dan berbelanja sebanyak yang ia mau. Tetapi, hari dimana ia bisa melepas segala penatnya dalam pekerjaan, menghabiskan waktu tanpa banyak berpikir, dan pastinya ditemani oleh orang yang sudah ia pilih. “Maaf ya, Ra. Saya nggak bisa ajak kamu ke mana-mana. Saya Cuma bisa ajak kamu jalan ke taman, makan ke restoran deket hotel, dan sekarang belanja di mall yang juga dekat sama hotel kita,” ungkap Dewangga merasa bersalah kepada Namira. Namira menoleh, lalu, ia mengembangkan senyumnya yang manis dan seringkali memesona. “Ini juga sudah liburan bagi saya, Pak,” jawab Namira tersipu.Namira dan Dewangga menghabiskan waktu liburan mereka dengan tidak menjawab telepon atau pesan tentang pekerjaan. Rekan kerja, teman, dan beberapa orang di Jakarta menghubungi Dewangga dan Namira. Namun, mereka sudah sepakat agar tidak bermain ponsel hari itu. Segala kepentingan akan kembali dijalank