“Oh, jadi Pak Jagat menolak?”“Bukan menolak, Dok, tapi belum menerima.”Reinald terkekeh. “Kalau boleh nebak Bu Riana ini orang marketing, media … atau semacamnya ya? Pintar sekali mencari padanan kalimat.”Ganti Riana yang berderai.Mendadak sunyi, setelah kedua insan itu berhenti tertawa.“Bu Riana, saya peduli dengan Pak Jagat, sebab ingat kepada kembaran saya. Kami masih awal-awal kuliah saat itu. Saya, Papa dan Mama saya sebenarnya tau bahwa kakak kembar saya itu sering menangis diam-diam. Tapi kalau di depan kami, dia tampak seolah biasa. Masih bisa bercanda, tertawa … jadi kami pun berpura-pura tidak tau. Yang ada dalam pikiran kami dulu, dia ingin menyelesaikan masalahnya sendiri, sebab buktinya kakak saya tidak pernah minta tolong ….”Reinald menoleh ke arah lain. Sementara Riana menunduk. Tanpa perlu melihat wajah sang dokter, Riana tahu Reinald sedang berjuang menyelesaikan ceritanya.“Saya tidak ada maksud apa-apa, selain … eee saya tidak ingin lagi berada dalam keadaan m
“Alhamdulillah, akhirnya Nak Jagat pulang juga,” Ibu menyambut dengan senyum merekah di pintu depan. “Pas banget rumah sudah selesai di renovasi.”Jagat tersenyum kecil. Dia melirik Bapak yang tengah duduk di sebelah Ibu. Lelaki itu sedang menyeruput kopi, tampak tidak merespon kedatangan dia dan Riana. Sampai mereka bertiga masuk ke dalam rumah, Bapak tidak berkata apa-apa. Tetap duduk anteng di kursi teras.“Cat-nya bau,” desis Jagat begitu kakinya masuk ke dalam.Ibu menceplos tawa berdurasi sedikit. “Iya, Nak … baru selesai pagi tadi, ngebut biar pas Nak Jagat pulang sudah rapi, jadi nyaman untuk istirahat.”“Tapi baunya bikin pusing,” tukas Jagat. “Apa di kamar juga dicat baru?”“I-iya,” jawab Ibu seraya memandang Riana.“Seharusnya dapur aja yang direnovasi,” desis Jagat lagi. “Kok malah keseluruhan rumah gini.”“Eh, kami pikir—““Maaf ya, Mas. Semua ini aku kok yang minta. Ibu sama Bapak hanya mengikuti perintahku,” tutur Riana memotong ucapan Ibu. Tangannya mengelus pundak Ibu
“Bapak makin enggak suka sama sikapnya Jagat. Dia itu sudah salah, tapi bukannya memperbaiki diri tapi adaaa aja yang bikin repot Riana,” cetus Arman.“Jangan gitu lah, Pak. Gimana pun juga Jagat itu sudah jadi anak kita, kalau memang dirasa salah ya tolong diingatkan baik-baik,” sahut Neni, sembari mengiris ketupat. “Bapak ketupatnya satu atau dua?”“Dua. Lapar dari pagi belum makan, malah yang punya rumah pulang-pulang wajahnya gitu,” tukas Arman. “Bikin malas.”Orang tua Riana itu belum jauh dari rumah anaknya, mereka sekarang terdampar di warung bakso, sebab sudah kelaparan. Itulah alasan mereka nekat pamit di saat matahari sedang berada di puncak langit.Sedianya Neni sudah memasak makanan lumayan banyak, dengan maksud ketika Jagat dan Riana pulang mereka bisa makan bersama. Namun Arman sudah terlanjur sebal melihat tingkah Jagat yang seperti tidak menghargainya.Menurut Arman, kesalahan Jagat yang pertama adalah, dia tidak bersalaman saat pertama mereka bertemu. Lalu dia sakit h
“Bukannya itu Bu Widya … kok sama laki-laki lain? Lebih muda lagi.”Sekitar tiga meter dari hadapan mereka, Neni melihat Widya sedang menangis dan sibuk ditenangkan oleh seorang laki-laki yang … mungkin seumuran dengan Tyo atau Jagat. Terlihat lelaki itu mengelap pipi Widya. Setelah itu si lelaki menggenggam tangan Widya.“Oalah, satu keluarga memang udah enggak beres semua, Bu. Apa ya kamu yakin anak kita mau diterusin sama keluarga yang semuanya punya sifat selingkuh?”“Eh, jangan buruk sangka,Pak. Belum tentu itu selingkuhan—““Lah apa? Teman? Keponakan? Masa keponakan mesra gitu. Jadi makin enggak yakin Bapak sama Jagat ngeliat ini, Bu. Duh, anak kita nanti gimana?”“Bapak … jangan mikir yang aneh-aneh terus dong. Ya, udah, Pak. Ayo kita jalan lagi!” ujar Neni sembari menepuk pinggang suaminya. Dia jadi menyesal sendiri. Tahu akan begini, mungkin dia lebih memilih diam dan pura-pura tidak melihat Widya yang sedang duduk di teras coffe shop ditemani lelaki muda.Perjalanan menuju
“Dasar pengacara busuk, keparat! Kamu pikir saya takut kehilangan kamu. Seratus pengacara model sepertimu bisa saya dapatkan dengan gampang!”Sulis berteriak dan terus menyumpah-nyumpah kepada punggung Damar yang menjauh.“Sudah, Pa. Sudah. Malu diliatin banyak orang,” seru Widya. Sibuk sekali dia memegang lengan, tangan dan pundak suaminya. Bersusah payah menghalau lelaki itu untuk tidak mendekati Damar. Perempuan itu takut jika pada akhirnya Sulis pun terkena pasal penganiayaan seperti yang sudah disangkakan kepada Tyo.“Duduklah, Pa, sabar.”Baru saja mereka duduk kembali ….“Bapak, Ibu, mohon maaf.”Widya dan Sulis menoleh bersamaan. Seorang perempuan dengan dress bunga-bunga mengulas sebaris senyum. Senyum yang sengaja perempuan itu ciptakan untuk mengantisipasi kemarahan lanjutan dari Sulis.“Perkenalkan saya manager di sini, dengan segala kerendahan hati … mohon Bapak dan Ibu bersedia meninggalkan tempat ini, demi kenyamanan—““Diam kau!” tukas Sulis sambil berdiri. “Baru warun
“Kampret! Pantesan enggak selesai-selesai!” teriak Sulis marah.Dia menemukan para tukang bangunan yang sedang membangun rumahnya berlarian ke sana kemari, ketika mobil Sulis masuk pekarangan kebunnya. Meskipun lima laki-laki dewasa itu sekarang terlihat sedang mengerjakan sesuatu, tetapi mata Sulis sudah memergoki polah mereka semua.Beberapa detik tadi. Dari mobil mereka, Sulis dan Widya melihat satu orang yang sedang asyik main telepon genggam, dua orang berjoget dengan diiringi satu orang lainnya yang memukul-mukul ember. Mandornya terlihat merebahkan badan …. Sudah barang tentu Sulis tersulut murka.Sambil menahan sakit bekas ditinju pengembala kambing, Sulis tergopoh-gopoh turun dari mobil. Kali ini Widya sependapat dengan sang suami, maka dari itu dia tidak mencegah Sulis. Perempuan itu malah ikut melotot kepada para tukangnya.“Dasar kalian orang-orang kampung! Enggak amanah sama sekali! Detik ini juga keluar, keluar dari sini. Saya tidak butuh orang ngawur seperti kalian semu
“Apa sih it—“BRUUUG. BLAM!Belum usai ucapan Sulis, bunyi keras lainnya menyusul. Rumah ambruk sebagian. Kamar tempat mereka berada pun terbelah.“Ma, ayo cepat kita keluar, takut rumah ini nanti runtuh!” Sulis menarik tangan Widya yang seperti masih terbengong kaget dengan kejadian ini.Widya tersadar dan cepat mengikuti langkah Sulis. Namun malang, sesuatu yang meluncur dari atas mereka lebih dulu menghentikan langkah keduanya.“Mama!” Sulis memekik ketika istrinya terkapar dengan bongkahan tembok menindih kedua kaki Widya.Ibu kandung Tyo dan Jagat itu merasakan sakit yang teramat sangat, dan berangsur-angsur memudar … Widya pingsan.Keesokan harinya, Sulis tergopoh-gopoh ke kantor polisi. Dia berniat melaporkan para tukang bangunan yang telah menyebabkan kecelakaan kemarin siang. Namun sebelumnya dia ingin menemui anaknya terlebih dulu.“Ya, Tuhan!” Tyo menjerit kaget. Mengundang perhatian orang-orang yang ada di situ sekejap. Sulis sampai berdiri, untuk sekedar membungkukkan bad
(Bisa, Na. Jam setengah lima, oke?)(Oke, Rein).(Kamu langsung ke rumah sakit aja ya, Na)(Terima kasih, Rein).(No prob, Na).Jagat melotot membaca pesan-pesan Riana di kontak dengan nama ‘Reinald’. Jadi selama ini istrinya ada sesuatu dengan dokter itu? Sampai mereka memanggil dengan nama masing-masing tanpa embel-embel penghormatan seperti ‘Ibu’ atau ‘Mbak’?“Apa itu ‘Na’, semacam panggilan sayang?” jerit hati Jagat. Dia sampai bersusah payah untuk menelan ludahnya sendiri.Jari jemari Jagat menelusur lagi. Tetapi tidak ada percakapan selain itu, apakah ini berarti riwayat percakapan mereka telah sengaja dihapus oleh Riana? Disengaja untuk menghilangkan jejak? Hati Jagat begitu membara.Dia masih belum menyerah, kali ini riwayat panggilan telepon yang menjadi tujuannya. Dan, benar! Ada beberapa kali panggilan, bahkan tertera hari ini mereka saling bertelepon lebih dari sekali. Dengan kepala yang seakan menyala bara api, Jagat langsung membuat panggilan kepada dokter itu.Dering pe