Share

Alang-Alang Kumitir

Perjalanan Sudarta dan Arya setelah singgah semalam di desa Karang Bambu tak menemui masalah berarti. Hal ini terjadi karena mereka sudah memasuki wilayah aliran putih. Dan, setelah keduanya berjalan hampir tiga hari, sebuah perguruan megah yang menjadi tujuan mulai terlihat dikejauhan.

"Arya, tempat itu yang akan menjadi rumah barumu mulai hari ini," Tunjuk Sudarta, sambil mempercepat langkah kakinya.

Arya Wiratama langsung mengangguk penuh semangat. Walau dikehidupan sebelumnya dia tak pernah mengenal para pendekar Alang-Alang Kumitir karena mereka hancur beberapa saat setelah kematian Sudarta. Namun tak ada yang bisa membantah kehebatan mereka di masa lalu dan ini membuat Arya menjadi semangat.

"Aku akan berlatih dengan keras, dan mencegah mereka dihancurkan. Setelah itu, baru menyusun rencana melacak para pendekar Kamandaru," Tekad Arya dalam hati.

Arya kemudian melangkahkan kaki sambil memgepalkan kedua tangan. Mulai saat ini dia akan berusaha lebih keras dari sebelumnya agar bisa melindungi semua orang yang berada di dekatnya.

"Ketua, anda sudah kembali..."

"Hormat pada ketua..."

Saat Arya dan Sudarta mendekati gerbang utama perguruan, belasan pendekar berpakaian serba hitam muncul dan menyambut mereka.

Sudarta mengangguk pelan, "Apa Dharma sudah kembali?"

"Sudah ketua, tuan Dharma dan nona Ayu sedang berlatih bersama di aula belakang," Jawab salah satu pendekar sambil melirik kearah Arya.

Arya langsung menundukkan kepala saat melihat pria berbadan besar itu. Dia yakin mereka adalah para pendekar Cakra Kumitir yang dimasa jayanya cukup ditakuti.

"Dia adalah murid baruku, tolong siapkan kamar untuknya. Aku ingin menemui Dharma terlebih dahulu.." Sudarta meminta salah satu orang kepercayaannya itu untuk mengantar Arya ke kamarnya.

"Istirahatlah dan pulihkan tenagamu, besok aku akan menemuimu .... " Ucap Sudarta yang dibalas anggukan kepala Arya.

Sepeninggal Sudarta, pria berbadan kurus, yang memperkenalkan dirinya sebagai Mahendra mengantarkan Arya kesebuah kamar yang berada di aula utama. Berbeda dari penaampilannya yang terkesan bengis, dan berdarah dingin, Mahendra ternyata pria yang senang bicara. Dia bahkan bertanya banyak hal pada Arya selama mereka berjalan ke aula Utama.

"Nak.. jika kau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk meminta bantuan yang lainnya, karena sekarang kita adalah saudara seperguruan..." Ucap Mahendra lembut sebelum meninggalkan Arya.

"Ah terima kasih paman, " Arya menundukkan kepalanya, sebelum berjalan masuk ke dalam kamar.

"Sekarang, waktunya aku berlatih lagi," Ucap Arya penuh semangat.

Arya kemudian mengambil posisi duduk bersila ditengah kamarnya, dia ingin mencoba kembali mempraktekan ajaran dasar Kitab pusaka Naga Api miliknya yang sebelumnya sempat gagal di desa Karang Bambu.

"Aku sangat yakin sudah mengikuti semua tahapan ada di dalam kitab ini dengan benar, tapi kenapa tidak ada efek apa pun ditubuhku. Apa mungkin fisikku masih terlalu lemah?!" Arya kembali memejamkan matanya perlahan, dia mencoba mengulang tahapan semua tahapan seperti yang dilakukannya di Desa Karang Bambu.

"Konsentrasikan pikiranmu Arya, ini adalah kesempatan untuk menjadi kuat dan melampaui dirimu yang dulu... "

Beberapa jam berlalu tanpa terasa dan masih belum terjadi apa-apa di tubuh Arya Wiratama. Jangankan riak-riak tenaga dalam, dia bahkan tidak merasakan perubahan apa pun, selain kakinya yang kesemutan.

"Sial! Apa sebenarnya yang salah? Apa sesusah ini mempelajari kitab Naga Api in..." Arya menghentikan ucapannya ketika membuka matanya. Dia tampak terkejut saat melihat belasan goresan tipis di dinding kayu kamarnya.

"Tunggu, bukankah goresan-goresan ini sebelumnya tidak ada?!!" Arya segera bangkit dari duduknya, dan berjalan mendekati dinding.

"Goresan apa ini? Terlalu tipis jika menggunakan pedang dan...."

"Deg!"

Wajah Arya berubah seketika saat tangannya menyentuh goresan tipis itu. Dia kemudian menyentuh dada kirinya sambil memgingat kembali pertarungannya dengan Harsa.

Saat itu, Arya yang sudah bertukar belasan jurus dengan Harsa, dibuat terkejut ketika mendapati jubahnya robek seperti terkena sayatan pedang.

Padahal, Arya sangat yakin titik vitalnya itu tidak pernah terkena sabetan pedang Harsa.

"Tunggu, apa mungkin ini...."

"Tok... Tok .... Tok...."

"Hei nak, saatnya makan malam. Kau tidak ingin kehabisan makanan, dan kelaparan bukan?!!" Belum selesai Arya bicara, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk.

"Ah iya, aku akan segera keluar," Sahut Arya cepat.

\*\*\*\*

Sudarta berjalan masuk ke aulaa latihan sambil terus memikirkan Kamandaru. Dia benar-benar tidak percaya Anggara, dan kelompoknya yang terkenal hebat mengumpulkan infromasi tidak berhasil mencari petunjuk tentang keberadaan tempat itu.

"Jika tempat itu memang benar-benar nyata, seharusnya tuan muda Anggara tak akan kesulitan menemukannya... Apa mungkin Kamandaru tidak berada di Nusantara?" Sudarta menghentikan langkahnya ketika melihat sepasang pendekar sedang berlatih pedang di dalam aula. Dia kemudian memutuskan untuk tidak langsung menyapa mereka demi melihat permainan pedang kedua muridnya itu.

"Permainan pedang Dharma selalu menakjubkan seperti biasa, namun anak bodoh itu.." Tangan Sudarta terkepal, saat melihat permainan pedang Ayu, cucu angkatnya yang masih kasar dan banyak kesalahan.

"Ayu, caramu memegang pedang akan menguras banyak Stamina dan secara tidak langsung membuka banyak celah pertahananmu. Bukankah kakek sudah memperingatkanmu berkali-kali?!!!" Ucap Sudarta sedikit kesal.

"Ke...ketua..."

"Kakek...."

Dharma dan Ayu segera menghentikan latihannya setelah mendengar suara Sudartaa. Mereka kemudian bergegas mendekat dan memberi hormat.

"Ayu, umurmu tahun ini sudah delapan belas tahun, dan ilmu pedangmu masih belum ada kemajuan berarti," Sudarta menjitak kepala Ayu lembut.

"Kek... Tolong jangan samakan aku dengan paman Dharma yang dijuluki jenius pedang. Lagipula sejak awal aku tidak tertarik dengan pedang," Jawab Ayu bersingut.

"Tidak tertarik katamu? Lalu siapa yang akan melindungimu kelak, jika aku sudah tewas?!!" Balas Sudarta cepat.

"Kakek, bisakah kau tidak mengatakan hal memuakkan seperti itu terus? Aku sudah berusaha dan..."

"Ah ketua, bagaimana jika kita bicara diruanganku? Tuan Rakata menitipkan pesan untuk anda...." Potong Dharma cepat, dia mencoba menengahi perdebatan antara kakek dan cucunya itu, sambil mencolek tangan Ayu.

"Huh, kalian berdua benar-benar Menyebalkan!" Umpat Ayu sebelum berjalan meninggalan Dharma dan Sudarta dengan wajah kesal.

Sudarta menganggapi kepergian Ayu dengan gelengan kepala, dia benar-benar merasa gadis itu keras kepala dan tak pernah dewasa.

"Kau terlalu memanjakan anak itu Dharma," Ucap Sudarta pelan.

"Mohon maafkan aku ketua, aku hanya menjalankan tugas yang anda berikan untuk menjaga nona Ayu," Jawab Darma sopan.

"Dan tanpa sadar, kalian telah memanjakannya.." Sahut Sudarta sambil menarik nafas panjang.

"Lalu, apa jawaban Cakar Rajawali?!! Apa Rakata setuju dengan pembentukan aliansi aliran putih?"

Dharma mengangguk cepat, "Pada prinsipnya, tuan Rakata sangat setuju dengan usul anda ketua. Terlebih, para pendekar aliran hitam sudah lebih dulu membentuk aliansi.

"Namun demikian, tuan Rakata juga berpesan jika pembentukan aliansi ini bukan tanpa resiko. Ketua pasti sudah tau jika para tetua perguruan, terutama Dewa Pedang, Guntur Api dan Elang Nusantara menginginkan posisi tinggi di dalam aliansi. Aku takut, konfrontasi terbuka akan tercipta saat pemilihan ketua aliansi.

"Ah jangan khawatirkan itu Dharma, aku sudah menyiapkan rencana untuk menekan konfrontasi terbuka antara perguruan aliran putih.... " Jawab Sudarta cepat.

"Rencana?" Sahut Dharma terkejut.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
ĐåřK åñğëĽ
mantapp bang
goodnovel comment avatar
Atnan Zulfikar
gasksn kak,, mantap ceritanya kak
goodnovel comment avatar
Sujatno Vino
terus update thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status