Sepia duduk dengan nyaman di kursi. Di depannya layar laptop menampilkan banyak orang yang sedang mendengarkannya berbicara. “Pada era yang serba digital ini, novel digital juga turut mengalami peningkatan karena berbagai kemudahannya. Selain praktis, diharapkan dengan pesatnya novel digital ini mampu mengurangi limbah percetakan, kemudahan bagi penulis menuangkan karyanya dan tentunya hemat dari banyak segi.”Sepia tersenyum lega setelah sesi webinar selama dua jam lamanya berakhir dengan lancar. Acaranya cukup menyenangkan dengan peserta yang aktif dan antusias bertanya. Forum diskusi online sudah dihentikan, sekarang ia tinggal kembali pada pekerjaannya. Satu hal lagi yang ia hampir lupa, ia juga harus melakukan rapat dengan beberapa penulis yang akan dilakukan dengan santai di sebuah kafe pada jam dua siang nanti.“Wah, Kak Sepia keren banget!” puji Karin. “Acara kali ini berjalan dengan lancar, malah lebih lancar dari biasanya. Kalo gitu, buat acara webinar lainnya aku rekomenda
“Yang dulu sedekat nadi, lalu berjarak sejauh matahari. Kini ia kembali lagi, tapi untuk apa? Apa tujuannya?”Sepia masih ingat betul, laki-laki yang sekarang ada di hadapannya itu adalah orang yang dulu sangat dekat dengannya. Seorang laki-laki yang piawai memainkan gitar yang suaranya sangat merdu ketika menyanyikan sebuah lagu. Laki-laki yang tidak segan selalu memancing perhatian Sepia dan yang sangat peduli dengannya. Laki-laki itu adalah orang yang beberapa hari terakhir ini sangat ia hindari. Sekarang ia muncul lagi di hadapan Sepia. Jika dilihat lebih dekat laki-laki bernama lengkap Panji Yudha Pramudya itu sangat banyak berubah dari segi fisik, dulu tubuhnya sangat kurus, kulitnya sedikit lebih gelap, dan ia sering mengenakan pakaian yang berwarna cerah.Namun, kini Panji jauh lebih berbeda. Kulitnya bersih, tubuhnya lebih berisi, dan ia mengenakan pakaian berwarna netral. Apalagi ketika melepas topi dan maskernya. Satu hal lagi yang membuatnya lebih terlihat menarik, yakni k
Ini bukan kali pertama dan seharusnya bukan masalah besar jika Panji kembali datang dalam kehidupan Sepia. Bukan hanya datang, melainkan dekat dan terikat oleh pekerjaan. Berkali-kali Sepia berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk berdamai dengan perasaannya, tapi lagi-lagi luka lama malah semakin terbuka lebar.Sepia duduk gelisah di depan jendela kamarnya. Aroma the jahe yang ia buat masih semerbak, meski uapnya sudah tak lagi mengepul dan mulai dingin. Ia menatap jendela yang basah, hujan kembali mengguyur cukup deras. Anehnya ia merasa, setiap ia sedih pasti hujan ikut turun. Entah kebetulan atau bagaimana mungkin perasaannya dan langit memang memiliki cuaca yang sama.Perkataan Panji yang menginginkan mereka bisa berteman baik lagi terus terngiang memenuhi telinga Sepia. Perkataan yang berhasil membuat pikirannya bising, terganggu.[Benarkah? Kok bisa sih?!] Alea.Sepia mendesah kecewa, ia sudah menceritakan perihal pertemuannya dengan Panji pada Alea.“Aku harus bagaimana …,” I
Hari ke hari semuanya tampak sibuk. Peluncuran buku akan semakin dekat, tim marketing juga disibukkan dengan promosi yang semakin gencar. Diksi-diksi indah memenuhi laman sosial media penerbit, postingannya berupa teka-teki penuh misteri tentang buku terbaru dari Panji.“Panji itu sebenarnya udah nerbitin tiga buku, Pi di penerbit kita. Bergabungnya dia itu pas banget sejak kamu baru keluar, tapi dia juga hiatus tiga tahun terakhir dan baru nongol lagi tahun ini. Aku seneng sih, soalnya buku-buku dia itu laku abis. Jadi ya, dia ngasih banyak keuntungan buat kita, aku kan jadi ngerasa enggak harus banting otak buat promosi keras,” jelas Ara.Sepia baru tahu hal itu. Ia tidak tahu bahwa Panji pernah pulang dari Jepang dan bergabung sebagai penulis di kantor tempatnya bekerja. Karena memang selama itu mereka benar-benar tidak saling bertukar kabar.“Oh, aku pikir dia baru. Pantas saja Bu Nawang memberikan naskah dia yang paling prioritas,” Sepia menyahut pendek, seperti tidak terlihat te
“Kali ini pulang denganku saja. Aku sudah bilang pada suamiku, ia tidak keberatan jika kamu ikut,” ajak Ara.“Ah, tidak perlu. Aku akan merepotkanmu Ara, lagipula arah pulang kita tidak sama. Aku tidak apa-apa, sudah kubilang aku terbiasa sendirian. Lagipula banyak ojek dan taksi,” jelas Sepia.“Sungguh tidak akan merepotkan sama sekali. Aku malah senang, jadi aku bisa jalan-jalan sebentar terlebih dekat tempat tinggalmu banyak tempat nongkrong bagus. Ya, biar aku punya alasan merayu suamiku.”Tidak seperti biasanya, entah kenapa Ara sangat memaksa Sepia untuk pulang bersama. Padahal jelas-jelas Sepia tidak akan pernah menerima ajakannya. Selain karena tidak searah, Sepia juga merasa tidak enak jika berada di antara sepasang suami istri.“Sejak aku tahu Yana mengganggumu, aku tidak tega jika membiarkanmu sendirian. Setidaknya jika bersama kami, kamu akan aman. Kamu bisa pulang dengan selamat dan cepat. Aku benar-benar tidak ingin kamu laki-laki hidung belang itu terus mendekatinya. De
Musibah selalu datang pada waktu yang tidak bisa kita duga.Sepia terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar meski kenyataannya matanya sembab karena tangis yang tak henti berlinang dalam pelupuk matanya. Perutnya masih terasa keram, suhu tubuhnya naik demam, dan ia masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi diluar kendali juga tanpa sepengetahuannya. Ia syok, benar-benar terguncang dengan apa yang ia alami.“Maafkan aku … ini semua gara-gara aku, kalau kamu tidak mengejar jambret yang mengambil tasku kamu tidak akan merasakan sakit sedalam ini. Kumohon maafkan aku ….”Gina juga menangis terisak di sampingnya, ia benar-benar merasa bersalah dan malah menyalahkan dirinya atas semua hal yang terjadi. Sepia tetap terbaring lemas, bola matanya perlahan bergerak menatap Gina. Sepia menggelengkan matanya perlahan, ia juga berusaha meraih tangan Gina.“I—ibu tidak bersalah, jangan menyalahkan diri ibu. Ibu tidak boleh sedih berlebihan, ak
“Shabiru, maafkan ibun, ya. Minggu ini ibun tidak bisa pulang lagi. Ibun sangat rindu dengan Shabiru, tapi pekerjaan di kantor sedang sangat padat. Semoga minggu depan ibun bisa pulang.”Sepia meraih selembar kertas, lalu membubuhkan sepenggal kalimat itu di atasnya. Ia tahu Shabiru masih belum lancar membaca, tapi ia akan sangat senang jika menerima sepenggal surat tulisan tangan ibunya secara langsung. Sepia melipat kertas itu dua kali, lalu memasukannya ke dalam kardus berisi mainan, buku dongeng, dan beberapa jenis makanan ringan. Ia kemudian menutup kardus itu dengan lakban bening sampai rapat. Ia akan mengirimkan barang itu ke pihak ekspedisi, ia berharap barang yang ia kirimkan bisa sedikit melipur kerinduan Shabiru.Sepia terdiam sejenak, ia kembali merenungi kesedihan yang ia rasakan akhir-akhir ini. “Apakah Ray akan merasa sedih, jika tahu salah satu calon anaknya gagal terlahir ke dunia ini?”Sempat terpikir untuk memberitahu Ray, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia telah memp
Rumah Ray Mahesa.Semakin hari, semakin banyak perubahan dalam kehidupan Ray. Ia harus terbiasa mengurus banyak hal sendirian di tengah pesatnya perkembangan bisnis yang digelutinya. Restoran miliknya semakin merajalela dan mulai menyebar ke luar Yogyakarta. Karirnya sedang ada dalam posisi cemerlang, berbanding terbalik dengan kehidupan asmaranya yang justru semakin berantakan.Meski sekarang ia tinggal bersama ibunya, tetap saja ia merasa sendirian dan serba berantakan, terlebih perasaannya. Rumah besarnya kini sepi, tanpa teriakan anaknya yang selalu berhasil menghangatkan suasana. Kini hanya tersisa tembok tinggi yang dingin nan membelenggu perasaannya untuk melupakan masa lalu.“Ibu merindukan cucu ibu,” ibu Ray terlihat menghela napas panjang sambil menuangkan air untuk gelas Ray. “Kenapa kamu tidak menjemputnya saja? Dan bawa cucuku untuk tinggal di sini. Aku juga bisa mengurusnya. Aku dengar, Sepia juga pergi ke Jakarta. Sementara cucuku malah ditinggalkan sendirian bersama ne