Share

06. Marwan pulang

Sehari setelah Anita melahirkan, dirinya diperbolehkan pulang oleh dokter. Namun satu hal yang membuat, Anita tidak habis pikir, yaitu kenapa Marwan tak kunjung datang? Apa dia sudah melupakan dirinya juga anak yang dikandung Anita?

"Assalamu'alaikum, Mbah, kami pulang." Anita mengucapkan salam ketika tiba di rumah mertuanya.

Anita memang sengaja datang terlebih dahulu ke rumah mertuanya, untuk mempertemukan anak yang baru saja ia lahirkan dengan neneknya.

"Waalaikumsalam, Nita, kamu sudah pulang, Nak?" tanya bu Ida dengan linangan air mata,

"Ibu, kenapa Ibu menangis?" tanya Anita cemas, dirinya ingin memeluk bu Ida, namun tidak bisa karena sedang menggendong baby-nya.

"Apa, Marwan tidak pulang, Nak?" tanya bu Ida semakin sedih, ia merasa amat sangat bersalah pada, Anita.

Anita mencoba menenangkan mertuanya,

"Bu, Nita tidak apa-apa, Nita baik-baik saja. Anak yang Nita lahirkan juga Allhamdulilah selamat. Dia cantik sekali kan, Bu?" ujar Nita mengalihkannya kesedihan bu Ida.

"Boleh, Ibu menggendong cucu, Ibu, Nita?" tanya bu Ida,

"Tentu boleh dong, Bu. Sini!" Anita langsung membenarkan posisi mertuanya agar bisa nyaman menimbang cucunya.

"Boleh, Nita titip dulu, Bu. Nita mau ke rumah membantu teh Warsih membereskan kamar, Nita."

Teh Warsih adalah saudara Anita dari jauh, ia dan suaminya sengaja datang karena mendengar kabar jika Anita akan melahirkan.

Dulu orang tua teh Warsih sudah meninggal pada saat dirinya duduk di bangku kelas tiga SMP, dan orang tua Nita lah yang merawat teh Warsih hingga teh Warsih lulus SMA.

"Tentu boleh, kayanya anakmu anteng banget tidurnya." jawab mertua Anita dengan mata berbinar.

"Terima kasih, Ibu. Kalau begitu Anita permisi dulu sebentar." ucap Anita sebelum dirinya berlalu.

Ternyata di rumah Anita sudah banyak orang yang berkunjung, untuk melihat keadaan Anita dan juga anaknya.

Namun karena anaknya Anita ada di rumah mertuanya, jadi mereka semua memutuskan untuk melihat kesana.

"Allhamdulilah kalau ke dua-nya selamat, semoga kamu lekas sembuh ya, Anita." ucap ibu-ibu sebelum berlalu ke rumah bu Ida, untuk melihat keadaan anak Anita.

Anita membalas ucapan do'a tulus semua orang disana, dengan senyuman tulus.

Anita segera masuk ke dalam rumahnya, ia tengah mendapati teh Warsih yang sedang membersihkan rumahnya.

"Sudah kamu diam saja di sofa, biar teteh yang beresin rumah," ujar teh Warsih yang melihat kedatangan Anita.

"Terima kasih, teteh." jawab Anita terharu.

Tak bisa Anita bayangkan jika tak ada teh Warsih, mau bagaimana dirinya di rumah sakit sendirian. Mertuanya tidak mungkin menemaninya karena sudah sepuh, sedangkan orang tua Anita sudah lama meninggal.

Malam harinya untuk pertama kalinya mertua Anita, mau diajak menginap di rumah Anita. Sedangkan teh Warsih sudah pulang lagi ke kampung halamannya sejak jam lima sore yang lalu.

_____________

Tepat jam delapan malam, tiba-tiba terdengar deru motor memasuki halaman rumah Anita.

"Assalamu'alaikum, Dek." ucap seseorang diluar rumah,

Suara yang sangat familiar untuk Anita, ia sudah lama sekali merindukan suara itu.

Anita berjalan ke arah pintu, ia mengintip dibalik gorden, ternyata benar saja yang datang itu suaminya.

Ceklek, Anita membuka pintu.

"Waalaikumsalam, Mas," jawab Anita datar, ia bingung harus menunjukkan sikap seperti apa pada Marwan.

"Kamu sehat, Dek? Dimana anak kita?" tanya Marwan dengan suara pelan.

"Silahkan masuk, Mas." ujar Anita yang tidak menjawab pertanyaan Marwan.

Begitu Marwan memasuki ruang tengah, hatinya bagai teriris nyeri, ia melihat orang yang selama ini ia rindukan sedang tertidur pulas di samping baby yang masih merah itu.

"Ibu." lirih Marwan,

Sedangkan Anita, ia segera berlalu ke kamarnya untuk menyiapkan perlengkapan Marwan. Meski pun hatinya sakit atas semua perlakuan Marwan, tapi bagaimana pun Marwan tetap suami yang wajib ia hormati.

"Mau mandi pakai air hangat, Mas?" tanya Anita, ia membawakan handuk baru untuk Marwan,

"Tidak, Dek. Mas tidak akan mandi lagi, hanya ingin membersihkan diri saja." jawab Marwan, hangat.

Tidak ada lagi, hinaan dan cacian seperti beberapa bulan yang lalu.

Setelah Marwan membersihkan diri, Anita menyiapkan makan malam untuk Marwan.

Anita tetap melayani Marwan, mengambilkan alas untuk Marwan, dan juga menemani Marwan makan.

"Dek, ini ada sedikit bonus dari perusahaan untuk kamu." ucap setelah selesai makan, Marwan menyodorkan amplop berwarna coklat pada Anita.

"Kenapa di berikan padaku, Mas? Bukannya selama ini, setiap aku meminta uang, kamu bilang tidak punya uang?" sindir Anita,

Marwan terdiam, dirinya memang sangat kejam. Selama Anita tahu pernikahannya dengan Yuni, Marwan hanya mengirimkan uang dua ratus ribu dalam waktu dua minggu sekali.

"Maafkan, Mas, Dek." lirih Marwan menunduk.

"Aku mau kita cerai, Mas. Setelah masa nifsaku selesai." ucap Anita yang langsung membuang muka.

"Sampai kapan pun, aku tak akan menceraikanmu, Anita. Jika aku berpisah denganmu, siapa yang akan merawat Ibuku?" ucap Marwan dengan nada tinggi.

"Itu bukan urusan aku, Mas. Jika memang Yuni mencintaimu, seharusnya dia mau merawat, Ibu. Bukan hanya mau kamu seorang." ucap Anita dengan tegas, Anita sudah bulat dengan tekadnya berpisah dari Marwan.

"Itu tidak akan terjadi, Anita. Seandainya Ibu mau tinggal bersama, Mbak Sella. Mungkin aku tidak akan mengemis untuk mempertahankan mu." ujar Marwan yang sudah kembali ke mode memanfaatkan Anita lagi.

"Kalau kamu tidak mau meninggalkan aku. Tinggalkan wanita itu demi aku, anakmu juga, Ibu, Mas." Anita memberikan pilihan pada Marwan.

"Sudah berapa kali aku katakan, Anita. Aku mendapatkan Yuni itu tidak mudah. Dia itu cinta pertamaku, dia segalanya untukku. Tapi aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja, karena Ibuku sangat membutuhkan perawatanmu!"

Tanpa mereka sadari, jauh dari tempat mereka berada ada sepasang mata yang tengah menangis pertengkaran mereka. Siapa lagi jika bukan bu Ida.

Bu Ida adalah orang yang paling sakit hati, ia sangat menyayangkan sikap egois Marwan. Mau istri yang seperti apa lagi yang Marwan cari? Yang baik, setia, mau merawat mertuanya bertahun-tahun. Tapi masih saja disia-siakan.

'Seandainya kematian, Ibu, bisa membebaskan kamu dari jeratan keegoisan anak Ibu sendiri, Ibu sangat ikhlas, Nak.' gumam bu Ida dalam hati.

Ia sudah tak memiliki semangat hidup lagi, apalagi hidupnya membebankan orang lain.

Tak ada satu ibu pun yang mau menjadi beban bagi semua anak-anaknya, begitu juga dengan bu Ida. Jika kematian bu Ida bisa membuat, anak-anaknya bahagia. Ia rela mati, demi sebuah kebahagiaan itu.

Begitu tulisnya kasih sayang seorang ibu, pada semua anak-anaknya.

Mereka rela mengandung sembilan bulan, melahirkan menaruhkan nyawa, dan merawat sampai anaknya dewasa. Namun apa yang menjadi balasan seorang anak untuk sang ibu?

Komen (36)
goodnovel comment avatar
Dessy Chandra
rugi pasti mertua nya melepas anita yang baik
goodnovel comment avatar
Tri Hesti
egois banget emang si marwan
goodnovel comment avatar
Lunar
nita yg baik hati tak akan tega ninggalin ibu mertua nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status