Kabar tentang pernikahan Marwan sudah diketahui banyak orang, bahkan banyak juga emak-emak yang berbondong-bondong menyerbu akun media milik Yunita Indrisantika, yaitu istri keduanya Marwan.
Berbagai upatan, Kata-kata kasar terlontar pada halaman media Yuni, membuat Yuni marah dan frustasi karena ulah Anita."Pokoknya, Mama mau Papa ceraikan wanita itu, sekarang juga!" ucap Yuni pada Marwan diujung telpon."Bagaimana bisa, Papa menceraikan dia dalam keadaan hamil, Ma?" tanya Marwan yang ikut kesal dengan tindakan Anita yang menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang suami.Kini banyak teman-teman Marwan yang menanyakan kebenaran berita itu,"Awas saja kalau kamu tetap memilih wanita itu dibanding aku, setelah kamu membuatku malu." ancam Yuni lagi,"Iya, Sayang. Kamu tenang saja aku tidak mungkin mempertahankan istri yang sudah menjatuhkan nama baik suaminya." jawab Marwan, berkata selembut mungkin agar hati Yuni melunak,"Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya agar orang-orang berhenti menyerbu akunku.""Kenapa kamu gak sewa hackers saja?" Marwan memberikan usulan,"Boleh juga saranmu, Pa. Aku coba ya, nanti aku hubungi Papa lagi." ujar Yuni yang langsung mematikan sambungan teleponnya,Setelah panggilan terputus, Marwan terus memikirkan tentang perjanjian pra nikah yang sudah mereka sepakati,'Aku tidak ingin hidup miskin setelah berpisah dengan Anita.' gumam Marwan langsung bangkit dari tempat duduknya bergegas mencari apa yang dia inginkan,Namun sialnya, dia tidak menemukan apa pun didalam lemari itu.Marwan kembali duduk di soffa, hingga Anita datang dari rumah ibunya.Marwan marah besar pada Anita, karena menurutnya, tindakan Anita itu lancang dan sudah melewati batas."Kamu, sengaja membuat suamimu malu, Anita!" teriak Marwan begitu Anita melewati dirinya."Aku?" tunjuk Anita pada dirinya sendiri, "aku yang membuatmu malu, apa kamu malu karena semua orang sudah mengetahui kelakuan busuk, kalian berdua." ucap Anita dengan tegas,"Seharusnya kamu tanya baik-baik padaku, Nita. Bukan dengan cera seperti itu! Kini semua orang telah tahu masalah rumah tangga kita. Karena ulahmu!" tunjuk Marwan,"Seharusnya yang marah itu, aku, Mas. Bukan kamu. Disini aku yang disakiti, aku yang kau hianati. Tapi kenapa kamu menuduhku seolah-olah aku yang melukaimu?" tanya Anita dengan perasaan sedih dan kecewa.Ia yang tersakiti, tapi dituduh menjadi biang masalah."Karena kamu, sudah membuat suamimu malu." teriak Marwan lagi,Tanpa menjawab pertanyaan Marwan, Anita berlalu ke dalam kamarnya.Marwan terus memikirkan cara, bagaimana ia mendapatkan semua aset dan surat perjanjian itu. Agar dirinya tidak kehilangan semua yang ia miliki.'Apa Anita menyimpannya di rumah, Ibu?' gumam Marwan.Seperti mendapatkan petunjuk, Marwan segera melangkahkan kaki menuju rumah ibunya.Tanpa kata salam, Marwan memasuki rumah ibunya,Merasa sang ibu masih fokus di tempat sholat, Marwan segera masuk ke dalam kamar sang ibu,"Akhirnya, aku menemukanmu. Dasar, Anita bodoh. Dia pikir bisa mengelabui aku." ucap Marwan, terseyum jumawa karena mendapatkan apa yang ia cari."Aku harus segera mengamankan semua ini, enak saja, aku yang bekerja keras, malah si Anita yang akan menikmati hasilnya." gumam Marwan sebelum berlalu dari kamar sang ibu.Seperti maling yang takut tertangkap basah, Marwan berjalan mengendap-endap, memastikan jika sang ibu masih fokus diatas sajadah di ruangan khusus untuk melakukan ibadah.[Sayang. Aku sudah mendapatkan semua aset itu, besok pagi aku akan segera kembali padamu.] pesan singkat Marwan kirimkan pada Yuni,[Wah kamu hebat, Sayang. Akhirnya kamu tidak jadi gembel. Segera lah kembali, aku sangat merindukanmu.] balas Yuni disertai emoticon hati,[Aku juga tak ingin menjadi gembel, karena wanita bodoh itu, Sayang.][Baguslah, Sayang. Lagian kamu juga kenapa bikin surat gak jelas seperti itu, itu pasti usulan wanita bodoh itu, kan?][Iya, Sayang. Memang ini usulan dia. Sudah sekarang kamu tenang saja, semuanya sudah kembali padaku. Setelah anak itu lahir aku akan segera menceraikannya.][Wah. Kamu serius sayang?][Aku sangat serius, Yuniku. Sudah ya, sekarang aku mau istirahat, besok pagi aku harus kembali kesana.][Iya, Sayangku. Good night.] balas Yuni dengan emoticon cium,Tepat jam lima pagi, Marwan sudah bersiap untuk pergi. Ia mengemas sendiri barang yang akan ia bawa, tanpa berpamitan pada Anita dan sang ibu Marwan pergi begitu saja.--------------------------------Hari demi hari Anita lewati seorang diri, kehamilan itu membuatnya lemah, tak jarang Anita masuk rumah sakit, bahkan sampe harus di opname. Namun hingga detik kelahiran tiba Marwan tak juga datang untuk menemaninya.Dokter memberikan arahan, pada Anita,"Ayo, Bu. Sebentar lagi, Dedeknya keluar. Ibu yang semangat, tarik nafas dari dalam. Hitungan ke tiga dorong yang kuat, ya." ucap seorang dokter wanita yang tengah membantu proses melahirkan Anita."Satu ... Dua .. Tiga .. Ayo, Bu. Dorong!" ucap dokter itu, dan tak lama terdengarlah tangisan baby, memenuhi ruang itu."Allhamdulilah. Selamat ya, Bu. Anaknya perempuan, saya akan membersihkan terlebih dahulu." ucap salah satu perawat, yang memperlihatkan baby mungil itu pada Anita.Anita hanya menjawab dengan anggukan kepala, dia lega akhirnya anak yang selama ini, menjadi penyemangatnya telah lahir ke dunia."Apa suami, Ibu sudah dihubungi, Bu?" tanya seorang perawat yang tengah membersihkan Anita.Mendengar pertanyaan itu, hati Anita kembali sakit. Pasalnya dari jam sembilan pagi, Anita sudah mencoba menghubungi Marwan bahwa dirinya tengah berada di rumah sakit.Karena menurut dokter kandungan, anak yang Anita kandung harus dilahirkan hari itu juga, dengan melewati proses induksi.Marwan hanya pulang dua atau tiga bulan sekali, dan hanya mengirim Anita uang dua ratus ribu untuk jatah sebulan.Dia tak pernah memikirkan bagaimana nasib Anita dan juga ibunya yang bergantung pada penghasilan Marwan."Saya belum tahu, Sus. Tapi tadi saya sudah memberikan kabar lewat pesan singkat." jelas Anita pada sang perawat itu.Mendengar jawaban Anita, perawat itu hanya tersenyum dan mencoba mengalihkan perhatian Anita pada sesuatu yang lebih menyenangkan. Karena ibu pasca melahirkan tidak boleh stress , itu akan memperngaruhi mental dan imunnya.Sedangkan di kota D, Marwan tengah gelisah karena mendapatkan pesan, jika Anita sudah berada di rumah sakit karena harus melahirkan hari itu juga.Dirinya ingin sekali pergi menemui Anita, karena bagaimana pun hati kecil Marwan selalu memikirkan nasib Anita dan ibunya di kampung. Tapi Marwan tidak berdaya dengan semua peraturan yang Yuni buat.'Harus dengan alasan apa, agar aku bisa menemui Anita?' gumam Marwan sedih, memikirkan nasibnya sekarang.Marwan mencoba menghubungi bosnya tempat ia bekerja, Marwan menceritakan semua yang terjadi pada Anita di kampung pada bosnya.Marwan meminta bantuan, agar dia bisa kembali ke kampung tanpa harus membuat Yuni curiga tentang kepergianannya.Sehari setelah Anita melahirkan, dirinya diperbolehkan pulang oleh dokter. Namun satu hal yang membuat, Anita tidak habis pikir, yaitu kenapa Marwan tak kunjung datang? Apa dia sudah melupakan dirinya juga anak yang dikandung Anita? "Assalamu'alaikum, Mbah, kami pulang." Anita mengucapkan salam ketika tiba di rumah mertuanya. Anita memang sengaja datang terlebih dahulu ke rumah mertuanya, untuk mempertemukan anak yang baru saja ia lahirkan dengan neneknya. "Waalaikumsalam, Nita, kamu sudah pulang, Nak?" tanya bu Ida dengan linangan air mata, "Ibu, kenapa Ibu menangis?" tanya Anita cemas, dirinya ingin memeluk bu Ida, namun tidak bisa karena sedang menggendong baby-nya. "Apa, Marwan tidak pulang, Nak?" tanya bu Ida semakin sedih, ia merasa amat sangat bersalah pada, Anita. Anita mencoba menenangkan mertuanya, "Bu, Nita tidak apa-apa, Nita baik-baik saja. Anak yang Nita lahirkan juga Allhamdulilah selamat. Dia cantik sekali kan, Bu?" ujar Nita mengalihkannya kesedihan bu Ida. "Bo
Anita memilih meninggalkan Marwan sendiri di meja makan, ia segera bersiap untuk tidur di samping mertua-nya. Anita memeluk tubuh, yang sudah berkeriput dihadapannya. "Andai, Ibu tahu. Jika Nita sangat sayang sama, Ibu. Sampai kapan pun, Nita tidak rela kehilangan, Ibu. Sekali pun, Nita harus berpisah dengan, Mas Marwan." lirih Anita, dengan isak tangis dibelakang tubuh mertuanya. Sebisa mungkin bu Ida bersikap tenang, dirinya bukan tidak mendengar apa yang Anita sampaikan. Hanya saja bu Ida tidak ingin merusak momen Anita yang sedang menumpahkan seluruh isi dalam hatinya. 'Andai kamu tahu, jika Ibu juga lebih meyayangi kamu, melebihi anak Ibu sendiri.' gumam bu Ida dalam hati, ia menahan diri untuk tidak menangis yang akan membuat tubuhnya terguncang. 'Ibu rela mati, agar kamu bisa bebas dari cengkraman anak Ibu, yang sangat egois itu, Nak.' lirih bu Ida lagi, air mata semakin deras mengalir di pipinya yang sudah keriput. Namun setelah sekian lama, bu Ida tidak mendengar isak ta
"Ibu!" jerit Anita, ia berlari kearah bu Ida. "Ibu kenapa, Bu?" tanya Anita yang langsung memeluk tubuh lemah sang ibu mertua. "Ibu, ayo bangun, Bu. Jangan membuat Anita cemas."Tangisan Anita semakin pecah, tatkala dirinya merasakan darah segar yang terus mengalir dalam mulut bu Ida. "Ibu, Ibu bertahan sebentar saja ya, sebentar lagi kita akan segera membawa Ibu ke rumah sakit." Anita masih mengajak bu Ida berkomunikasi. Warga langsung menyiapkan kendaraan, untuk membawa bu Ida ke rumah sakit. Sayangnya belum sempat tubuh itu diangkat, sudah terdengar dengkuran kasar yang bu Ida hembuskan. "Ibu! Ibu, kenapa?" tanya Anita semakin panik. "Bapak-bapak, ayo bantu saya mengangkat tubuh Ibu saja." ucap Anita pada warga yang ada di sekitar sana. Seorang ustadz mendekati tubuh bu Ida, "Inalillahi wainnailaihi rojiun." ucap seorang ustadz yang mengecek nadi dan jantung bu Ida. "Maksud pak Ustadz apa, bicara seperti itu?" tanya Anita dengan linangan air mata. "Mohon maaf, Anita, mertua
Terjadi keributan antara ke tiga saudara itu, Hilman dan Marwan kekeh dengan pendiriannya yang tidak mau memberi hasil pada Anita dengan alasan Anita itu menantu. Sedangkan Sella dengan kekeh ingin memberikan Anita hasil itu, karena Anita lah yang selama ini merawat ibunya. "Kalian semua egois! Coba kalian pikirkan bagaimana nasib Ibu selama enam tahun ini, jika tak ada Anita yang merawatnya? teriak Sella dengan murka. Anita meraih tangan Sella, berusaha menenangkan kakak iparnya itu. "Mbak sudah, Mbak, aku tidak apa-apa." ujar Anita menenangkan Sella. "Kamu dengar sendiri kan, Mbak. Jika Anita saja tidak masalah, kenapa Mbak yang ribet sih? Lagi pula sudah kewajiban Anita mengurus Ibu, karena dia itu istriku." ucap Marwan, memojokkan Sella. "Hanya karena dia istrimu? Kamu bisa berbuat semena-mena pada, Anita begitu? Coba sekarang kita tukar posisi, bagaimana jika, Mbak Hanum, istrimu, Mas Hilman yang merawat Ibu. Mau apa tidak?" tunjuk Sella pada istrinya Hilman. "Aku?" ucap Han
Pov Anita. Mbak Sella menarik tanganku pergi dari rumahku sendiri, menuju ke rumah Ibu. "Kita harus segera mencari sertifikat rumah itu, Dek. Mbak enggak rela jika sertifikat itu jatuh ke tangan mereka." ucap mbak Sella buru-buru menuntun langkahku menuju kamar Ibu. "Kamu cari di lemari ini, Mbak di lemari sana ya." ucap mbak Sella lagi, sedangkan aku masih bingung dengan semua ini, hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Kami berdua sibuk mencari sertifikat itu, semua barang-barang Ibu sudah kami keluarkan namun sama sekali tidak membuahkan hasil. "Bagaimana ini, Dek?" panik mhak Sella. "Aku juga bingung, Mbak!" jawabku lemas karena aku sama sekali belum sarapan. Ditambah lagi aku merasakan sakit di area produk asiku, mungkin anakku tengah kelaparan ingin meminum asi. "Kamu belum makan bukan? Mukamu pucat sekali?" tanya mbak Sella meraba pipiku. "Mbak!" teriakku karena mengingat sesuatu, yang beberapa bulan yang lalu aku titipkan pada Ibu, dan Ibu menyimpannya di lemari ya
Pada saat diperjalanan menuju rumah lagi, tiba-tiba Yuni memberikan saran untuk menjual semua aset yang aku miliki termasuk rumah dan tanah. "Jual saja, Mas. Nanti uangnya bisa kita pakai untuk buka usaha di kota, kan. Memangnya kamu mau selamanya jadi buruh terus?" ucap Yuni padaku sambil berjalan. Tidak ada yang mendengarkan percakapan kita, karena aku dan Yuni sengaja berjalan pelan. Sedangkan Mas Hilman sudah lebih dulu. "Aku masih bingung, Sayang." jawabku pada Yuni. Aku berpikir jika semua aset disini aku jual, nanti aku kemana pulang. "Kok bingung sih, Mas? Memangnya kamu masih mencintai istri kamu itu ya?" tuduh Yuni padaku, "Tidak, bukan gitu, Sayang!" kilahku langsung, aku tak ingin Yuni merajuk, tak bisa aku bayangkan jika aku harus kehilangan dia untuk ke dua kalinya. "Terus apa yang membuat kamu bingung, Mas? Atau kamu mau semua harta kamu dikuasai istri kamu itu? Kamu lupa bagaimana cara kamu mendapatkan semua aset kamu dari dia, Mas? Ingat juga perjanjian yang kal
Pagi harinya seperti biasa Anita akan menjemur, baby Shakira, Setelah dimandikan. "Selamat pagi, Anita." sapa juragan Emul menghampiri Anita, dengan ke dua bodyguardnya. "Pagi, kembali, juragan. Tumben sekali pagi-pagi sudah berkeliling." ucap Anita basa-basi. "Seharusnya saya yang bertanya sama kamu. Kenapa kamu masih ada di sini?" tanya juragan Emul, yang membuat Anita mengernyitkan kening. "Memangnya kenapa, saya harus pergi dari rumah saya sendiri?" tanya Anita heran. Bukannya menjawab pertanyaan Anita, juragan Emul malah menyentak Anita. "Sekarang juga tinggalkan rumah ini, karena saya akan segera membangun tempat ini!""Tapi maksudnya juragan apa?" tanya Anita semakin tak paham dengan kedatangan juragan Emul juga anak buahnya, lalu mengusir Anita dari rumahnya sendiri. "Apa kamu tidak tahu, jika rumah dan tanah di belakang rumahmu itu sudah di jual sama saya." seru juragan Emul dengan sombong. "Tapi siapa yang menjualnya?" "Kamu beneran belum tahu? Jika suami kamu sudah
"Anita, apa yang terjadi, Nduk? Kenapa kamu diam saja?" tanya bu Eros semakin heran, Meski pun Anita tidak berbicara apa pun, namun tergambar jelas kesedihan dalam matanya. "Anita tidak apa-apa, Bu. Apa boleh Anita menitip sebentar Shakira, Bu? Anita ingin menelpon dulu, Mbak Sella." "Tentu boleh lah, toh anakmu juga tidur nyenyak banget." jawab bu Eros dengan tersenyum lebar. "Terima kasih, Bu. Kalau begitu Anita permisi ke belakang dulu." pamit Anita, segera bangkit dari duduknya mencari tempat aman untuk menelpon kembali Sella. "Hallo, Dek. Kamu dimana sekarang?" cecar Anita begitu panggilan terhubung. "Assalamu'alaikum, Mbak!" ucap Anita merasa terhibur dengan kepanikan Sella. "Ya ampun, sampai lupa, habis kamu bikin Mbak kaget. Sekarang ceritakan sama Mbak, kamu dimana sekarang?" "Aku sudah keluar dari rumah itu, Mbak. Dan sekarang aku bingung harus pergi kemana, sekarang aku sedang istirahat sebentar di rumah, Bu Eros sambil memikirkan harus kemana," jawab Anita lemas. "