"Aku siapkan makan kamu dulu, ya, Van." Mengekori langkah sang suami sampai ke ruang tamu, Lidia beranjak ke dapur usai melirik sekilas pada Kiandra.
Evan yang menangkap gelagat janggal itu lantas menengok pada istri keduanya. Si pria mengernyitkan dahi. Disentuhnya dengan ujung telunjuk pipi Kia beberapa kali.
"Apa enggak bisa kamu pasang wajah yang ramah sedikit? Aku ini baru pulang. Udah capek dari luar, pulang ke rumah juga lihat yang kecut-kecut."
Kiandra mengabaikan tingkah Evan. Ia pun tidak melirik, fokus mengunyah camilan di pangkuan.
"Kesurupan kamu, Ki?" Melihat istrinya sudah akan melangkah pergi, Evan meraih lengan Kia. Membuat si perempuan menghadapkan wajah padanya. "Kenapa kamu?"
Diam saja saat dijahili atau diejek, itu sama sekali bukan gaya Kia. Jadi, Evan simpulkan terjadi sesuatu.
"Penipu." Kia menaruh toples berisi keripik singkong ke meja. Perempuan itu menarik tangannya dari Evan. Me
Lidia sedang sibuk mengolah singkong untuk dijadikan kolak, Kiandra meninggalkan dapur untuk memeriksa siapa yang menekan bel rumah. Irna sedang mencuci piring.Melewati ruang tamu, Kiandra memeriksa waktu. Pukul empat. Apa Evan yang pulang? Saat menarik daun pintu, yang muncul memang Evan. Lelaki itu memicing, membuat Kia mengerutkan dahi."Mana mobil kamu?" Kia menengok ke halaman. Pantas tidak terdengar suara mesin mobil. Kendaraan Evan tak terlihat.Evan melewati pintu. Duduk di sofa, hal pertama yang ia tanya adalah Lidia. Biasanya, si istri pertamalah yang menyambutnya pulang."Di dapur. Lagi bikin kolak. Bentar aku panggil bi--"Kalimat Kiandra tak selesai. Langkah perempuan itu tertahan, sebab Evan meraih lengannya. Evan menariknya, menuntun agar duduk di sisi sofa yang kosong, tepat di sebelah.Evan menyerahkan selembar amplop. Wajah lel
Lidia tersenyum pada Evan yang barusan menghela napas. Perempuan itu mengusapi pundak si lelaki. Suaminya itu tampak lelah dan gusar."Jangan khawatir. Semua pasti akan baik-baik aja. Kamu pasti bisa lalui ini." Lidia mendekap lelaki itu. Seerat mungkin, hingga Evan paham jika dirinya selalu ada dan akan selalu siap mendampingi apa pun yang terjadi.Seminggu ini Evan dilanda masalah di pekerjaan. Salah satu gerai rumah makan lelaki itu terbakar. Setelah diselidki, penyebabnya adalah kebocoran tabung gas. Belum lagi, penjualan di outlet lain yang menurun drastis.Wajar Evan banyak pikiran. Lumrah bila pria itu dihinggapi was-was. Bisnis rumah makan adalah satu-satunya mata pencarian keluarga kecil mereka. Evan membiayai banyak hal dari sana.Lidia tahu Evan bisa mengatasi ini. Ia yakin, suaminya akan bisa mencari jalan keluar untuk menghadapi semua hal kacau ini. Walau Evan tak menceritakan semua rincian dan keluhan, tetap saja Lidi
"Kamu bohong, 'kan? Cuma pura-pura, biar bisa bikin aku mijit kaki kamu.""Udah. Enggak usah. Enggak perlu, Evan. Enggak perlu."Evan yang tersenyum, Kiandra yang memutar mata malas. Evan yang duduk di karpet samping sofa dan Kia yang menghuni sofa. Pemandangan itu membuat Lidia mengepalkan tangan. Urung ke dapur, perempuan itu kembali masuk ke kamarnya.Membanting pintu, Lidia duduk di tepian ranjang. Ia menatapi selimut coklatnya. Benda itu sudah tak disentuh Evan selama dua minggu. Luar biasa, sebab suaminya itu sudah absen mengunjunginya selama dua minggu penuh.Alasannya? Apa lagi kalau bukan si ibu hamil? Padahal, mereka serumah. Kalau pun Evan datang dan tidur di sini, lelaki itu tetap bisa menjaga Kia.Di saat-saat begini, Lidia jadi teringat perkataan Damar. Soal dirinya yang akan semakin tak dianggap, jika sampai Kiandra memberi anak pada Evan. Perlahan, pe
Lidia sengaja keluar dari kamar sekitar pukul sepuluh pagi hari ini. Biasanya wanita itu sudah repot di dapur sejak pukul enam pagi. Beres-beres, menyiapkan makanan.Barusan, Irna yang mengantar sarapan ke kamarnya berkata sang suami sudah berangkat. Karenanya perempuan itu putuskan untuk keluar.Lidia sudah memikirkan ini. Ia akan bicara pada Kiandra. Bukan soal dirinya yang mengamuk kemarin. Melainkan soal apa yang dulu pernah Kiandra katakan."Ada yang mau aku tanyakan ke kamu." Tak berbasa-basi, saat Kiandra sudah di ruang tamu, Lidia langsung buka suara ke pokok pembicaraan. "Kamu jadi, setelah melahirkan nanti, bakal minta cerai dari Evan?"Bisa Lidia tangkap raut terkejut di wajah si ibu hamil. Kiandra bahkan tergamam dan tampak pucat. Apa pertanyaannya separah itu?Tidak-tidak. Lidia tidak boleh gentar. Ia harus menguatkan hati. Demi kebahagiannya sendiri. Ini tidak salah. Seperti kata Damar. Memperjuangkan keb
"Kamu dari mana aja?" Evan langsung menyambut Lidia dengan tanya bernada menuntut.Istri pertamanya itu pergi sejak pagi, kata Irna. Baru pulang pukul sebelas malam begini, setelah tak bisa dihubungi selama berjam-jam."Lid? Kamu nggak dengar aku ngomong?"Evan tak mendengar tanyanya disahut. Lidia malah terlihat akan melangkah pergi. Buru-buru Evan mengadang jalan perempuan itu."Kita perlu bicara," pungkas Evan. Lelaki itu menarik Lidia agar duduk di sofa.Evan sudah menunggu ini selama beberapa hari. Waktu untuk ia dan Lidia bisa bicara berdua. Beberapa hari belakangan, Lidia sering tak menyambutnya sepulang bekerja. Sering sudah tidur duluan. Pun, memang istri pertamanya itu kerap menghindar akhir-akhir ini.Sekarang saja, Lidia enggan membalas tatapan Evan. Menengok ke arah lain, seolah malas dan tak peduli."Kamu bilang
Menunggu sejak pagi, Lidia akhirnya melihat Kiandra keluar dari kamar di sore hari. Belakangan, adik madunya itu memang lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Keperluan makan atau yang lain, Irna yang mengantar ke sana."Aku mau bicara sama kamu, Kia," sela Lidia saat mendapati Kiandra hendak menuju dapur. Terlihat sekali perempuan itu menghindarinya.Kiandra sudah duduk, Lidia berpindah. Tadinya di sofa kecil, ia mengambil tempat di samping istri kesayangan Evan."Udah berapa bulan?" tanya Lidia. Tangannya mengelus pelan perut bulat Kiandra."Delapan," sahut Kia."Berarti aku udah boleh tanya ke kamu, 'kan?""Soal? Evan?" tebak Kia.Lidia mengulum senyum miring. Ia menggeleng. "Kurasa aku nggak berhak minta kamu pisah dari dia. Yang aku mau tanyain itu, soal anak ini."Menjauhkan tangan dari perut, Lidia menatap sinis. "Kesepakatan kita, anak itu akan jadi anak aku sepen
"Kamu yakin ini akan berhasil?"Pada pertanyaan Damar di seberang telepon, Lidia mengamini. Perempuan itu menoleh ke pintu untuk kesekian kali. Berjaga-jaga, waspada, kalau-kalau Evan atau siap pun masuk ke kamarnya.Lidia tengah menghubungi Damar sore ini. Diam-diam, tanpa sepengetahuan siap pun. Lidia ingin memberitahu soal perkembangan yang sudah terjadi beberapa hari belakangan.Perempuan itu sedang berusaha memonopoli Evan dari Kiandra. Dimulai dengan akting pusing dan sakit kepala beberapa hari lalu, hingga sekarang. Sebisanya, beralasan banyak hal, Lidia membuat Evan berada di dekatnya.Hasilnya lumayan. Sebab sepertinya Kiandra juga paham atas apa yang terjadi dan terlihat sebisanya mendukung."Kamu tenang aja. Kayaknya Kia bakal memilih bercerai dari Evan. Dan kamu bisa urus sisanya."Berkata demikian, Lidia malah kecewa.
Kiandra sedang membaca buku di ruang tamu saat Evan akhirnya pulang bekerja. Perempuan itu hanya setengah tersenyum dan menggeleng saat Sonya menyambut Evan persis seperti yang selalu Lidia lakukan.Kia jadi mengerti mengapa Lidia marah sekali. Istri pertama Evan itu pasti merasa tersaingi.Tak ada sapaan dari Evan. Lelaki itu duduk di sofa, memeriksa ponsel dan diam. Kia juga tak berniat memulai obrolan, sebab dia malas. Evan banyak tingkah belakangan ini.Salah satunya, itu. Mata lelaki itu selalu saja menatap Sonya dengan sorot lain. Seperti kucing melihat ikan segar."Kopinya, Tuan."Gadis muda, cantik, tubuh bagus, menawarkan kopi dengan senyum manis. Kia yakin Evan merasa terhibur saat ini.Setelah diperhatikan, apa yang Lidia katakan ada benarnya. Kiandra mulai setuju pada tuduhan bahwa Sonya berniat menggoda Evan.Lihat saja sekarang. Pakaian gadis itu mengundang sekali. Celana pendek