Mendengar ucapan itu, Kalila tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Sesungguhnya dia tidak yakin jika Gio sedang berbicara kepadanya.
“Tadi kamu ngobrol apa saja sama kakek?” tanya Kalila begitu mereka tiba di rumah.“Bukan urusan kamu.”Lagi dan lagi, sikap Gio tidak sedikit pun berubah kepadanya. Namun, Kalila tidak ingin mencari tahu lebih jauh lagi.Ada hal lain yang jauh lebih penting untuk dia pikirkan.“Bik, saya mau minta tolong ....”“Minta tolong apa, Nyonya?”Kalila mendatangi Bik Nuri yang sedang menyapu halaman.“Kapan pun Pak Arkana datang, apa Bibik bisa minta nomor teleponnya?”“Nomor telepon Pak Arkana?”“Betul Bik, saya tidak enak sama Tuan kalau minta langsung.” Kalila beralasan. “Tapi Bibik jangan bilang siapa-siapa ya, takutnya ada fitnah yang tidak jelas nanti.”“Siap, Nyonya! Saya akan bantu, kebetulan saya akrab sama Pak Arka yang ramah dan tidak sombong itu!”Kalila tersenyum melihat Bik Nuri yang“Kalau begitu aku akan minta izin Mas Gio dulu.”“Tidak usah! Kalau kamu minta izin, namanya bukan kejutan lagi.”Kalila terdiam, antara ragu dan ingin mencoba.Hingga akhirnya, dia memberanikan diri untuk mengantar bekal makan siang ke kantor Gio sebagai kejutan.Namun, suaminya itu justru menampakkan wajah tidak senang ketika Kalila muncul di hadapannya.“Aku bawakan makan siang buat kamu, Mas ....”“Aku tidak bisa makan sembarangan.”Gio menatap galak pada Kalila supaya istrinya itu mengerti.“Bawa pulang lagi makanan itu, aku sibuk.”“Tapi kamu harus tetap makan siang, sesibuk apa pun kamu.” Kalila masih berjuang, dia membuka kotak bekal itu dan menunjukkan nasi goreng ayam suwir yang dibuatnya tadi di rumah. “Ini masih hangat, kamu coba dulu.”“Sudah aku bilang aku sibuk!” tukas Gio. “Tapi kamu harus tetap makan, Mas. “Tanpa kamu datang bawa bekal pun, aku tidak akan mungkin kelaparan.”Kalila masih memegang kotak bekal yang telah dia buka, sampai kemudian Haris mu
“Aku juga belum tahu, pengalamanku belum banyak. Kamu mungkin pernah dengar kalau aku sempat jadi relawan di panti jompo, dan bertemu Nenek Mutia.”Arka menatap Kalila dengan lebih intens.“Kok bisa Nenek Mutia bisa di panti jompo?”“Aku juga tidak begitu mengerti, panjang ceritanya.”Arka tidak bertanya apa-apa lagi, tapi dia berjanji akan mengupayakan agar Kalila bisa mendapatkan pekerjaan.Sore harinya, Gio tiba dengan hidung memerah.“Kamu flu?” tanya Kalila khawatir.“Mungkin,” sahut Gio tanpa menghentikan langkahnya.Meski Gio lebih sering menolak untuk diperhatikan, Kalila tidak bisa begitu saja mengabaikan kondisi kesehatan suaminya.“Kamu sudah makan belum?”“Sudah.”“Minum obat?”“Tidak.”Seumur-umur menikah dengannya, baru sekali inilah Kalila mendapati Gio meringkuk di balik selimut yang menutupi tubuhnya.Ingin sekali Kalila memeluk dan membelai Gio sekadar ingin meredakan rasa sakit itu, tapi dia tahu bahwa suaminya tidak akan sudi jika mereka sampai bersen
Bik Jani dan Bik Nuri merasa seperti berganti majikan hari itu karena Soraya mendadak menguasai seisi rumah. Kalila tidak ingin ambil pusing, dia sengaja memanfaatkan kedatangan ibu mertua untuk mendesak Arka supaya segera mencarikannya pekerjaan.Kalila tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dalam pernikahan yang hampa ini.Soraya benar-benar mengurus Gio seharian penuh, hingga membuat Kalila merasa menjadi istri yang tidak berguna.“Saya pulang dulu, Lila. Tolong sekali kamu perhatian sama Dano, dia itu anak saya satu-satunya ... Kalau ada apa-apa sama dia, saya dan ayahnya tidak punya siapa-siapa lagi.” Soraya berpamitan dengan kata-kata yang dibuat sedramatis mungkin, dan itu sengaja dia katakan di depan asisten rumah tangga Gio.Bik Nuri mengusap-usap lengan Kalila sebagai bentuk dukungan karena dia tahu betul bagaimana majikannya itu berusaha memperlakukan sang suami dengan sangat baik.“Nyonya yang sabar,” bisik Bik Nuri ketika Soraya sudah berlalu.“Tidak apa-apa Bik,
Selain itu, Kalila juga menggunakan waktunya untuk mempelajari cara membuat tulisan dengan baik. Dia tidak terlalu menaruh minat pada bidang kepenulisan, tapi kegigihannya belajar cukup membuahkan hasil meski tidak langsung mendapatkan job.Satu bulan berlalu, Kalila mendapatkan gaji pertamanya dan itu sangat membuatnya merasa memiliki nilai lebih.Selain itu, sudah ada beberapa calon klien yang menghubunginya dan meminta sampel tulisan.“Bahagia sekali kamu, gaji sudah diterima?” komentar Arka yang sore itu mampir ke cabang minimarket tempat Kalila bekerja.“Sudah, ternyata menyenangkan sekali bekerja itu.”Arka tertawa kecil. “Kamu belum merasakan tekanan dari pihak atasan, sih.”“Aku minim pengalaman, dan lagi aku lebih sering terjun di kegiatan sosial.”“Makanya kamu lebih memilih jadi relawan panti jompo?” tebak Arka sambil mempersilakan Kalila untuk masuk ke mobilnya.“Aku naik taksi saja, Ka.”“Sekalian mampir ini.”Selagi tidak ada pegawai yang melihat, Kalila buru-b
Hari itu untuk pertama kalinya wajah lelah Kalila tidak luput dari pandangan Gio, tapi seperti biasa dia tidak peduli dengan apa yang terjadi. Bagi Gio, apa pun yang ingin dilakukan Kalila bukanlah menjadi urusannya. Dia memberikan kebebasan kepada Kalila seluas mungkin, jadi sudah seharusnya jika istrinya itu bersyukur sedikit saja. “Apakah Tuan tahu kalau Nyonya bekerja?” tanya Bik Jani pelan seraya menghidangkan secangkir teh hangat dengan perasan jeruk lemon. “Seharusnya sih tahu, Bik.” “Tapi ... kok Tuan kelihatan cuek-cuek saja?” Kalila memaksakan diri untuk tertawa. “Kalau Tuan berbuat sesuatu, saya malah takut dilarang kerja.” Bik Jani tersenyum salah tingkah. “Saya juga heran sama Nyonya, kenapa harus susah payah kerja kalau sudah ada Tuan?” “Justru karena Tuan selalu kerja keras, saya khawatir suatu saat nanti dia jatuh sakit. Nah, di saat-saat seperti itu saya tetap butuh pemasukan. Jadi begini cara saya mengantisipasinya.” Bik Jani menarik napas panjang
Kalila mengangguk, dia sudah menantikan kapan momen ini akan tiba. Hampir dua tahun, Kalila menahan beban perasaan yang menggunung. Kini sudah saatnya dia melepas semua itu dengan ikhlas .... “Ganti kostum dulu, ayo!” Zia menarik lengan Kalila menuju teman satu tim yang sudah menunggu. “Harus ya?” “Wajib ini sih!” Kalila menurut saja, dia percaya jika Zia dan tim tidak akan menjerumuskannya. Malam itu terasa lebih meriah, banyak pengusaha dari berbagai bidang yang hadir untuk memperluas koneksi. Kebetulan Zia sendiri ingin memperkenalkan produk kosmetik kepada para pengusaha yang hadir sekaligus menambah jaringan pergaulan. “Ini berlebihan tidak sih?” Kalila berpaling dari cermin yang ada di depannya. “Aku tidak terbiasa dengan make up seperti ini, beda sama kamu ....” “Dandanan kamu terlalu sederhana, Lil. Seharusnya kita bisa menempatkan diri, itu saja sih.” “Tidak berlebihan?” Zia menggeleng. “Kamu bisa lihat aku kan? Penampilan menarik itu penting, terlepas kit
“Ah ya, luar biasa ... Maaf, kalau tidak salah, Anda istrinya Pak Giordano kan?” Kalila tertegun selama beberapa detik, dia sengaja berpura-pura tidak menyadari jika Gio turut hadir di tengah-tengah mereka. “Untuk saat ini iya,” jawab Kalila tenang. “Untuk ... untuk saat ini? Bagaimana itu maksudnya?” MC agak salah tingkah dengan pertanyaannya sendiri. “Pak Joan, kenapa jadi mengulik kehidupan pribadi rekan saya?” Dea mengingatkan. “Oh iya, ha ha! Maaf, tapi saya akui produk skincare dan kosmetik dari Zideka sangat memukau. Saya bahkan bisa lihat Bu Kalila tampak jauh lebih segar dan sehat ....” “Sehat?” ulang Zia heran. “Begitulah, Pak Gio sering bilang kalau kondisi kesehatan Bu Lila kurang bagus sehingga dia lebih sering ke acara resmi dengan sekretaris kantornya.” Joan menjelaskan. “Oh!” Kalila tidak lagi merasakan nyeri di dada ketika mengetahui fakta bahwa Gio sering mengajak Nia untuk pergi mendampinginya. “Saya merasa sangat sehat.” “Senang mendengarnya, baik
“Jangan harap aku akan menyentuhmu malam ini.”Giordano berkata dengan nada sedingin es kepada seorang wanita yang baru saja dia halalkan sebagai istri.“Aku mengerti,” sahut Kalila tanpa mengangkat wajahnya.“Saat kita tidur, jangan hadapkan wajahmu yang buruk rupa itu kepadaku. Aku ingin kita saling memunggungi ....”“A—aku akan tidur di kamar pembantu saja kalau begitu!”“Bagus, kamu ingin nenek menghujatku karena kita pisah kamar?”Kalila diam, tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya Giordano inginkan.“Terus aku harus bagaimana?”“Bodoh, ini akibatnya kalau nenek asal memungut perempuan gembel buruk rupa untuk dijadikan istriku.”Ucapan Giordano tidak ada bedanya seperti pisau yang menyayat habis kulit Kalila sedikit demi sedikit.“Ganti bajumu dan tidur, tidak malukah kamu mengenakan gaun pengantin mewah itu?” hardik Giordano dengan emosi tertahan. “Fisik dan gaun itu sangat tidak serasi, bikin malu.”Hujan itu hampir saja luruh, jika saja Kalila tidak mati-matian m