Bik Jani dan Bik Nuri merasa seperti berganti majikan hari itu karena Soraya mendadak menguasai seisi rumah. Kalila tidak ingin ambil pusing, dia sengaja memanfaatkan kedatangan ibu mertua untuk mendesak Arka supaya segera mencarikannya pekerjaan.Kalila tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dalam pernikahan yang hampa ini.Soraya benar-benar mengurus Gio seharian penuh, hingga membuat Kalila merasa menjadi istri yang tidak berguna.“Saya pulang dulu, Lila. Tolong sekali kamu perhatian sama Dano, dia itu anak saya satu-satunya ... Kalau ada apa-apa sama dia, saya dan ayahnya tidak punya siapa-siapa lagi.” Soraya berpamitan dengan kata-kata yang dibuat sedramatis mungkin, dan itu sengaja dia katakan di depan asisten rumah tangga Gio.Bik Nuri mengusap-usap lengan Kalila sebagai bentuk dukungan karena dia tahu betul bagaimana majikannya itu berusaha memperlakukan sang suami dengan sangat baik.“Nyonya yang sabar,” bisik Bik Nuri ketika Soraya sudah berlalu.“Tidak apa-apa Bik,
Selain itu, Kalila juga menggunakan waktunya untuk mempelajari cara membuat tulisan dengan baik. Dia tidak terlalu menaruh minat pada bidang kepenulisan, tapi kegigihannya belajar cukup membuahkan hasil meski tidak langsung mendapatkan job.Satu bulan berlalu, Kalila mendapatkan gaji pertamanya dan itu sangat membuatnya merasa memiliki nilai lebih.Selain itu, sudah ada beberapa calon klien yang menghubunginya dan meminta sampel tulisan.“Bahagia sekali kamu, gaji sudah diterima?” komentar Arka yang sore itu mampir ke cabang minimarket tempat Kalila bekerja.“Sudah, ternyata menyenangkan sekali bekerja itu.”Arka tertawa kecil. “Kamu belum merasakan tekanan dari pihak atasan, sih.”“Aku minim pengalaman, dan lagi aku lebih sering terjun di kegiatan sosial.”“Makanya kamu lebih memilih jadi relawan panti jompo?” tebak Arka sambil mempersilakan Kalila untuk masuk ke mobilnya.“Aku naik taksi saja, Ka.”“Sekalian mampir ini.”Selagi tidak ada pegawai yang melihat, Kalila buru-b
Hari itu untuk pertama kalinya wajah lelah Kalila tidak luput dari pandangan Gio, tapi seperti biasa dia tidak peduli dengan apa yang terjadi. Bagi Gio, apa pun yang ingin dilakukan Kalila bukanlah menjadi urusannya. Dia memberikan kebebasan kepada Kalila seluas mungkin, jadi sudah seharusnya jika istrinya itu bersyukur sedikit saja. “Apakah Tuan tahu kalau Nyonya bekerja?” tanya Bik Jani pelan seraya menghidangkan secangkir teh hangat dengan perasan jeruk lemon. “Seharusnya sih tahu, Bik.” “Tapi ... kok Tuan kelihatan cuek-cuek saja?” Kalila memaksakan diri untuk tertawa. “Kalau Tuan berbuat sesuatu, saya malah takut dilarang kerja.” Bik Jani tersenyum salah tingkah. “Saya juga heran sama Nyonya, kenapa harus susah payah kerja kalau sudah ada Tuan?” “Justru karena Tuan selalu kerja keras, saya khawatir suatu saat nanti dia jatuh sakit. Nah, di saat-saat seperti itu saya tetap butuh pemasukan. Jadi begini cara saya mengantisipasinya.” Bik Jani menarik napas panjang
Kalila mengangguk, dia sudah menantikan kapan momen ini akan tiba. Hampir dua tahun, Kalila menahan beban perasaan yang menggunung. Kini sudah saatnya dia melepas semua itu dengan ikhlas .... “Ganti kostum dulu, ayo!” Zia menarik lengan Kalila menuju teman satu tim yang sudah menunggu. “Harus ya?” “Wajib ini sih!” Kalila menurut saja, dia percaya jika Zia dan tim tidak akan menjerumuskannya. Malam itu terasa lebih meriah, banyak pengusaha dari berbagai bidang yang hadir untuk memperluas koneksi. Kebetulan Zia sendiri ingin memperkenalkan produk kosmetik kepada para pengusaha yang hadir sekaligus menambah jaringan pergaulan. “Ini berlebihan tidak sih?” Kalila berpaling dari cermin yang ada di depannya. “Aku tidak terbiasa dengan make up seperti ini, beda sama kamu ....” “Dandanan kamu terlalu sederhana, Lil. Seharusnya kita bisa menempatkan diri, itu saja sih.” “Tidak berlebihan?” Zia menggeleng. “Kamu bisa lihat aku kan? Penampilan menarik itu penting, terlepas kit
“Ah ya, luar biasa ... Maaf, kalau tidak salah, Anda istrinya Pak Giordano kan?” Kalila tertegun selama beberapa detik, dia sengaja berpura-pura tidak menyadari jika Gio turut hadir di tengah-tengah mereka. “Untuk saat ini iya,” jawab Kalila tenang. “Untuk ... untuk saat ini? Bagaimana itu maksudnya?” MC agak salah tingkah dengan pertanyaannya sendiri. “Pak Joan, kenapa jadi mengulik kehidupan pribadi rekan saya?” Dea mengingatkan. “Oh iya, ha ha! Maaf, tapi saya akui produk skincare dan kosmetik dari Zideka sangat memukau. Saya bahkan bisa lihat Bu Kalila tampak jauh lebih segar dan sehat ....” “Sehat?” ulang Zia heran. “Begitulah, Pak Gio sering bilang kalau kondisi kesehatan Bu Lila kurang bagus sehingga dia lebih sering ke acara resmi dengan sekretaris kantornya.” Joan menjelaskan. “Oh!” Kalila tidak lagi merasakan nyeri di dada ketika mengetahui fakta bahwa Gio sering mengajak Nia untuk pergi mendampinginya. “Saya merasa sangat sehat.” “Senang mendengarnya, baik
“Jangan harap aku akan menyentuhmu malam ini.”Giordano berkata dengan nada sedingin es kepada seorang wanita yang baru saja dia halalkan sebagai istri.“Aku mengerti,” sahut Kalila tanpa mengangkat wajahnya.“Saat kita tidur, jangan hadapkan wajahmu yang buruk rupa itu kepadaku. Aku ingin kita saling memunggungi ....”“A—aku akan tidur di kamar pembantu saja kalau begitu!”“Bagus, kamu ingin nenek menghujatku karena kita pisah kamar?”Kalila diam, tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya Giordano inginkan.“Terus aku harus bagaimana?”“Bodoh, ini akibatnya kalau nenek asal memungut perempuan gembel buruk rupa untuk dijadikan istriku.”Ucapan Giordano tidak ada bedanya seperti pisau yang menyayat habis kulit Kalila sedikit demi sedikit.“Ganti bajumu dan tidur, tidak malukah kamu mengenakan gaun pengantin mewah itu?” hardik Giordano dengan emosi tertahan. “Fisik dan gaun itu sangat tidak serasi, bikin malu.”Hujan itu hampir saja luruh, jika saja Kalila tidak mati-matian m
“Aku sudah boleh mengaktifkan ponsel belum ya?” gumam Kalila, saat pagi harinya dia terbangun dan Gio masih belum terlihat di manapun.Meskipun demikian, Kalila tidak bisa mengurung diri di penginapan terus menerus hanya untuk menunggu Gio datang menjemputnya.Aku harus cari makan, pikir Kalila sambil bersiap untuk mandi. Beberapa saat kemudian, Kalila berjalan-jalan sendirian di sekitar pantai. Tidak lupa dia membawa uang yang sempat Gio masukkan ke dalam tasnya sebelum mereka berangkat bulan madu kemarin.Meskipun faktanya Gio berada entah di mana, Kalila bertekad untuk menikmati momen bulan madu ini. Kesempatan tidak datang dua kali, terlebih lagi bisa menjadi istri Giordano, seorang cucu konglomerat yang memiliki usaha di berbagai bidang.Karena perutnya mulai menjerit lapar, Kalila memutuskan untuk berhenti di depan salah satu resto yang berderet sejajar. Begitu dia melangkah masuk, kedua matanya terbelalak menyaksikan pemandangan yang tersaji tidak jauh darinya.Gio terny
Gio tidak menjawab pertanyaan Kalila, melainkan dia mengembalikan ponsel itu setelah menghapus seluruh fotonya bersama wanita tadi.“Jawab, Mas. Siapa dia?”Gio tidak meladeni, dia berbalik dan membongkar koper untuk mengambil sepotong baju ganti yang masih bersih.“Aku mau mandi, setelah itu tidur.”Kalila memejamkan mata ketika Gio menutup pintu toilet dengan cukup keras, dia tidak mengira bahwa ujian akan secepat ini mendera rumah tangganya yang bahkan baru seumur jagung.Selagi suaminya masih mandi, Kalila memeriksa ponselnya dan terkejut saat mendapati jika layarnya terkunci oleh pola yang tidak dia ketahui.“Pasti ulah Mas Gio,” gumam Kalila gusar, berkali-kali dia mencoba memasukkan pola dengan serampangan dan kesemuanya berakhir dengan kegagalan.Seharian itu Gio memilih tidur, tidak dipedulikannya wajah masam Kalila dan juga serentetan pertanyaan yang dia lontarkan.“Kita bercerai saja, Mas.” Kata-kata sakti itu akhirnya terucap dari bibir Kalila setelah beberapa sa