Akhirnya selesai juga. Asap sayur masih mengepul saat kuhidangkan. Kalau siang, kami hanya makan berdua saja. Karena Mas Raka tidak pernah makan siang di rumah. Katanya kantornya agak jauh. Akan buang-buang waktu kalau pulang saat jam makan siang.Lagi pula, ada aku yang menjaga Mbak Silvi, saat sedang hamil begini. Jadi kelihatannya dia bisa sedikit lebih tenang."Enak nggak, Mbak?" Kulihat Mbak Silvi makan dengan lahap. "Iya, Delima. Masakan kamu enak," pujinya. Entah itu tulus atau tidak, aku tak lagi peduli.Tak lama kulihat matanya mulai memerah. Seperti ada yang menggenang di sana. Apa yang terjadi? Dia seperti hendak menangis. Apa aku telah melakukan kesalahan?"Mbak Silvi kenapa?" Kuberanikan diri untuk bertanya.Dia tak menjawab. Lalu mengusap air yang menetes di sudut matanya."Sayurnya nggak enak ya, Mbak?" Aku merasa bersalah. Dia menggeleng."Atau perut Mbak sakit lagi? Delima telpon Mas Raka ya, biar nganterin Mbak ke rumah sakit. Delima nggak bisa bawa mobil. Atau kita
“Iya, Mas. Masih baru, belum juga satu jam.” Aku kembali merapatkan pintu. “Mas Raka mau minum kopi atau teh? Yang lain pada ngumpul di teras belakang.”“Kalau Mas nggak ada, Deni sering datang, ya?” Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya. Selalu saja seperti itu.“Iya, Mas. Kan nganterin Mama.”“Kalau nanti dia dateng sendiri, jangan diladeni, ya.”“Iya, Mas,” jawabku tanpa mau tahu alasannya. Aku langsung menuju dapur, sedangkan Mas Raka langsung naik ke atas, menuju kamar mereka. Aku kembali ke teras belakang, dengan membawa secangkir teh di atas nampan.“Mas Raka nya mana, Delima?” tanya Mbak Silvi.“Tadi pas Delima ke dapur, Mas Raka ke kamar, Mbak.”“Oh, langsung mandi kali, ya.”“Iya kali, Mbak.”“Kamu ini gimana sih, Delima. Suami mau mandi kok nggak disiapin keperluannya,” timpal Mama. Sepertinya dia tidak suka kalau anaknya tidak dilayani dengan baik.“Punya dua istri kok apa-apa masih sendiri. Ladeni dulu suamimu sana!” perintah Mama.Aku terdiam. Lalu melirik wajah
Lalu obrolan mereka lanjutkan ke hal-hal yang lain. Terutama tentang bisnis dan pekerjaan. Aku yang tak mengerti apa pun hanya menoleh ke sana ke mari saat mendengar mereka bicara. Dan kuperhatikan, tampang Mbak Silvi dan Mas Raka sama kusutnya saat ini.Padahal hari ini hari yang begitu gembira menurutku. Sudah lama aku tak tertawa lepas seperti ini. Mas Deni ternyata sangat lucu orangnya. Padahal baru beberapa kali aku bertemu dengannya. Namun dia tampak akrab dan terkesan tidak menjaga jarak terhadapku.Tadinya kupikir setelah pertanyaannya waktu itu, dia akan menjauh dan tidak suka melihatku. Karena statusku sebagai istri kedua sangat buruk di mata siapa pun. Tapi, Mas Deni tidak begitu. Dia menganggapnya biasa saja. Malah sepertinya, dia terkesan segan, dan lebih menjaga jarak dengan Mbak Silvi. Padahal Mbak Silvi sudah sepuluh tahun menjadi bagian dari keluarga mereka.Untuk hari ini, Mama dan Mas Deni ikut makan malam bersama kami. Setelah itu baru pamit pulang. Rumah Mama dan
Mataku membelalak. Memberanikan diri menatap sesosok tubuh tegap yang kini telah berdiri tanpa jarak dariku. Memikirkan ulang ucapannya. Apa mungkin aku salah dengar.Malam pengantin katanya? Sesuatu yang tiba-tiba saja membuatku merinding. Apa itu artinya dia ingin mengambil haknya sebagai suami?Aku masih diam saja. Lututku gemetaran hingga tak dapat bergerak. Lalu kurasakan wajahnya kini berpindah tepat di hadapanku. Ada yang terasa hangat di kening ini, hingga aku tersadar dan sontak mendorong tubuhnya dengan begitu keras."Kenapa, Dek?" Dia begitu terkejut dengan sikapku."Mas mau apa?" tanyaku sembari mengusap kening bekas kecupannya."Mas mau melaksanakan kewajiban kita, Dek. Kamu lupa, kalau Mas ini suami kamu?" "Enggak! Delima nggak mau.""Apa maksud kamu? Kamu marah, karena selama ini Mas nyuekin kamu?""Bukan. Bukan hal ini yang seharusnya Mas lakukan. Sebaiknya Mas lanjutkan aja niat Mas dari awal." Aku mulai menangis. "Mas nggak ngerti kamu ngomong apa, Dek. Niat apa?"
Berdosakah aku, memikirkan laki-laki lain di saat aku masih sah menjadi istri seseorang? Sungguh aku pun benar-benar tak tahu diri, begitu berani menyukai laki-laki seperti dia. Laki-laki yang lebih pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari pada aku."Ngaku kamu, Dek. Kamu suka sama Deni, kan? Untuk itu kamu meminta cerai dari Mas. Apa selama ini kalian berhubungan? Atau dia meminta kamu untuk segera bercerai?" Sikapnya mulai emosi."Tega Mas nuduh Delima seperti itu. Padahal semua ini sudah Mas rencanakan jauh-jauh hari!" sahutku tak mau kalah."Apa maksud kamu?" Matanya menyipit, memikirkan sesuatu."Delima sudah mendengar apa yang Mas dan Mbak Silvi rencanakan untuk membuang Delima dari kehidupan kalian. Delima tau semuanya!" ucapku tegas.Matanya membelalak kaget. Seketika tangan yang tadi mencengkeramku kini terlepas sudah. Wajah pucatnya memaksa kakinya untuk mundur menjauh dariku."Da_dari mana kamu mendengar hal itu?" Dia tergagap. Dia terlihat begitu syok. "Sejak ka
"Atau jangan-jangan, kamu mandinya pagi-pagi banget, ya?" Ledeknya lagi. "Kamu malu sama Mbak?" Belum lagi terjawab pertanyaanku tentang Mas Raka tadi, Mbak Silvi kembali bertanya."Eh, enggak, kok. Delima bahkan belum mandi sama sekali. Nanti aja sekalian, kalau sudah selesai beres-beres rumah." Aku menahan diri untuk tak mengatakan apa yang terjadi."Tapi kan...."Belum selesai Mbak Silvi meneruskan kata-katanya Mas Raka muncul. Sempat kulirik wajahnya yang terlihat lelah. Mungkin kurang tidur. Tak ada senyuman seperti pagi-pagi sebelumnya.Dia sudah berpakaian rapi hendak pergi ke kantor. Pasti saat Mbak Silvi turun, dia langsung naik ke kamar untuk mandi dan berpakaian."Sarapan dulu, Mas. Delima udah buatin coklat panas, sama roti bakar selai kacang." Mbak Silvi merapikan dasi suaminya."Nggak usah. Mas sarapan di kantor aja."Aku kembali melirik ke arahnya. Sepertinya dia sedang merasa tak enak karena ada aku. Tak disangka, ternyata dia juga melirikku, hingga pandangan kami seki
"Delima." Mbak Silvi memanggil saat aku sedang mengelap debu di ruang tamu. Hari sudah sore, namun karena tak ada kegiatan lain, aku bersih-bersih saja."Ada apa, Mbak?" sahutku."Jujur sama, Mbak. Ada apa di antara kamu sama Mas Raka.""Maksud Mbak apa? Delima sama Mas Raka nggak ngapa-ngapain.""Maksud, Mbak. Apa ada yang kalian sembunyikan dari Mbak?""Kenapa Mbak nggak tanya sama Mas Raka aja?" Aku mulai enggan tuk mencari-cari alasan, atau menutup-nutupinya lagi. Mulai bosan dengan sandiwara yang selama ini masing-masing kami jalani.Apa bisa seorang lelaki mencintai dua orang wanita sekaligus? Sedangkan aku sendiri yang waktu itu hampir jatuh cinta padanya saja, seketika bisa pupus karena kehadiran Mas Deni. Walaupun perasaan itu harus kupendam dalam-dalam."Jadi benar, terjadi sesuatu pada kalian?""Maaf, Mbak. Delima jadi ingat. Waktu itu Mbak pernah nanyak, apa Delima rindu kampung atau enggak. Kalau sekiranya Delima pulang, Mbak nggak kenapa-napa, kan?" Aku mulai membahas ni
Aku terkejut melihat siapa yang datang. Mbak Silvi pasti lupa menutup pintu saat Mas Raka pulang tadi. Memang biasanya hanya saat kami tinggal berdua saja aku baru telaten untuk mengunci pintu. Karena merasa takut hanya tinggal berdua saja di rumah besar seperti ini.Takut kalau-kalau ada yang masuk secara diam-diam, lalu bersembunyi. Ada banyak ruangan di rumah ini. Tak seperti di rumahku. Suara orang berbisik pun masih bisa terdengar. Aku takut orang itu akan beraksi saat malam hari, disaat semua orang sudah tidur. Seperti paranoid sendiri aku tinggal di rumah orang kaya seperti ini. Tapi lihatlah sekarang. Hanya karena aku tak ikut andil mengunci pintu depan, seseorang yang harusnya tak perlu mendengar, jadi tahu. Dan pasti akan berpikiran yang tidak-tidak. Padahal, semua ini sudah menjadi keinginanku sendiri. Tanpa paksaan, dan juga intimidasi dari siapapun."Keterlaluan kamu, Raka. Seenaknya saja memperlakukan istri kamu seperti itu. Dasar anak kurang ajar. Apa kamu nggak mikir