Kekuatan uang dan jabatan memang tidak main0main. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit setelah Anna memberi perintah, sudah ada tiga orang profesional datang dan mencari titik lokasi tubuhnya dengan cepat. Tentu saja semua itu dapat dilakukan dengan tubuh Raden.
Kemampuan mereka memang sangat mumpuni, dalam tiga puluh menit juga mereka menemukan pelacak lain di dalam barang Anna sehingga mudah mendapatkan alamat spesifiknya. Akan tetapi, itu juga yang membuat Anna keheranan. "Bagaimana bisa ada pelacak lain selain di ponselku?"
"Kami duga memang ada orang yang sengaja memberikan pelacak tersebut di barang lain. Kalau dilihat dari keakuratan pelacak tersebut, pasti pelacak itu dipakai di barang yang selalu dipakai pemiliknya."
Selalu dipakai? Bukankah terakhir kali dia tidak memakai apa pun kecuali sepatu, baju, kalung, anting-anting, dan ... jam tangan?
Benar! Kalau di film, jam tangan adalah target umum untuk dipasang pelacak atau kamera.
Sejak Masya meluapkan emosi secara mendadak kepadanya di malam itu, Anna tahu bahwa dia dibenci sang Ibu. Meski masih mengharapkan kasih sayang, jauh di dalam hatinya, Anna tahu dia tidak memiliki kesempatan tersebut kecuali Masya sendiri yang bertobat. Namun, melihat perbuatannya bisa sampai sejauh ini, dia jadi mengerti bahwa sang Ibu tidak akan pernah bertobat dan melihatnya dengan cara yang benar. Di hadapannya, Raden sudah siap jika melihat Anna mengamuk. Dia pun sudah marah saat Masya menghubungi ponsel wanita tersebut. Hanya saja, kenapa tatapan Anna terasa lebih lemah dari biasanya? Wanita itu malah tidak banyak berekspresi dibanding saat mereka bertengkar. "Oh, begitu...." "Oh? Hanya oh?" Kedua matanya melotot, sama sekali Raden tidak percaya kalau respon Anna akan sesantai itu. "Ya ... mau bagaimana lagi? Kurasa aku bisa terbiasa jika Ibu yang melakukannya." "Sialan, dia tidak pantas kamu sebut Ibu lagi," sebal Raden. Ingin sekali di
Tubuh Anna saat ini masih belum memungkinkan untuk bertukar tubuh, sang pemilik asli tubuh juga tidak begitu berpikir untuk kembali ke tubuhnya sehingga mereka memutuskan tetap tertukar tubuh dalam beberapa hari ke depan. Tidak perlu khawatirkan pekerjaan, selain sudah sedikit terbiasa, sekarang Raden pun membimbing sekaligus mengawasinya dari jauh."Kamu tak perlu khawatir, cukup berpura-pura melihat isi laporannya satu per satu. Kamu hanya perlu bertindak jika kuperintahkan." "Oke," jawab Anna singkat dengan mata yang terfokus pada layar komputer. Saat ini dia menunggu semua laporan yang masuk terkirim kepada email rahasia Raden. "Sudah terkirim semua." "Iya, aku sudah lihat. Kumatikan dulu telepon ini."Tanpa menunggu lebih lama, sambungan telepon telah terputus. Anna melakukan apa yang Raden katakan barusan, yaitu berpura-pura membaca isi laporan dan terlihat sibuk. Sebenarnya aneh jika harus berpura-pura, jadi Anna sekalian me
'Temui aku setelah aku keluar dari rumah sakit.' Karena itu, hari ini mereka bertemu di sebuah kafe yang baru saja dibuka. Ekspresi Anna rumit untuk dijelaskan. "Astaga, kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Padahal aku memberitahu kedatangan Ibu di hari yang sama." "Maafkan aku. Aku hanya butuh waktu berpikir apa yang sebenarnya terjadi." Mata gelap Raden menatap bola mata sang lawan dengan lurus dan mengintimidasi. Anna merasa sedikit tidak nyaman tapi mencoba ditahan. "Sejak kapan ... orang tuamu menyuruh kita bercerai?" "Se, sebenarnya tidak lama. Saat pernikahan kita menginjak umur ke tiga, di situ orang tua mulai menyuruhku untuk bercerai." "Seandainya kita tidak bertukar tubuh dan Ibumu sungguhan berkata seperti itu kepadamu, apa kamu akan menurutinya?" Jawaban Anna saat ini sangat penting untuk Raden. Dia perlu tahu apakah Anna pun ingin berusaha lepas darinya. Wanita tersebut berusaha memalingkan arah mata. Kenapa suaminya menatap
Sebagai pancingan sekaligus tindakan awal Raden untuk menepati janji, dia membuat secara acara yang dihadiri oleh para dewan komisaris serta beberapa perwakilan dari rekan kerjanya. Dilihat dari luar, acara ini dilaksanakan agar kekerabatan bisa meningkat dan menjalin kerja sama yang lebih baik. Sebenarnya akan banyak yang bertanya-tanya, kenapa pemimpin PT. Setia Abadi dan istrinya turut diundang di acara ini. Namun, Anna melaksanakan peran dan dialog Raden dengan baik. Meski ini kali pertama dia menjadi pelaksana dan bintang utama dalam sebuah acara, pembawaannya sangat tenang seakan dia benar-benar terbiasa. Ketika salah satu orang melapor bahwa Malik dan Masya sudah tiba, Anna menghampiri mereka dan melakukan sambutan. "Saya senang kalian berdua datang ke sini." Masya memberi tatapan pongah sekaligus was-was, sedangkan Malik membalas dengan formal. Setelah berbasa-basi pendek, Anna mempersilakan kedua orang tersebut untuk menikmati susunan acara.
"Bagaimana kalau kita melakukan kencan pertama?" usul Raden di tengah malam. Kelopak mata Anna yang sudah tertutup kembali terbuka dan menatap kosong langit-langit kamar. Kencan? Aneh sekali untuk didengar. Apakah Raden akan percaya jika seumur hidup Anna tidak pernah berkencan? Selama ini dirinya terkurung dalam rumah. Meski tidak ada kesalahan yang pantas membuatnya dipenjara, pergerakan Anna selalu dibatasi. Termasuk kedekatannya dengan lelaki lain. Jadi, jatuh cinta sedalam mungkin tidak sempat ia rasakan, apalagi berkencan. "Bagaimana cara kita melakukannya?" "Ya ... cukup jalan-jalan bersama?" Suara pria tersebut terasa sedikit bimbang, tetapi juga percaya diri karena sudah pernah melakukan sebelumnya. "Sambil kita menikmati momen yang ada bersama-sama." Kini dia menyampingkan postur tubuhnya sehingga bisa melihat sisi Anna dari samping. Mendengar pertanyaan barusan, ia duga Anna tidak pernah berkencan. "Kamu benar-benar seperti anak kec
Bak pangeran berkuda putih yang sedang menjemput gadis malang nan cantik, di dunia nyata pangeran tampan itu adalah sesosok pria berdada bidang, tampan, dan membawa mobil hitam yang disetir oleh supir pribadi. Sedangkan gadis malang dan cantik sangat cocok untuk Anna. Wanita itu memiliki tubuh bak model, tinggi namun ramping, wajahnya elok dengan bola mata cokelat yang gelap, tetapi nasibnya buruk. Saat ini dia sudah berdiri di depan pintu rumah dengan beberapa pekerja di sampingnya. Sesuai ucapan di teks pesan, mobil hitam Raden memasuki area rumah Anna dan berhenti di depannya. Lelaki itu menjemput Anna untuk pergi bersama-sama ke bandara. Tanpa diminta, Raden keluar dan mengambil koper Anna dari tangan salah satu pembantu dan memindahkan ke bagasi. Padahal biasanya sang supir akan melakukan itu, tumben sekali. "Ayo masuk." Anna masuk terlebih dahulu, kemudian disusul Raden. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, mobil membawa mereka pergi dari ar
Negara yang mereka kunjungi adalah Hungaria, Anna cukup tidak familiar dengan nama tersebut, apalagi kotanya. Kini mereka telah menginjak tanah Budapest, ibu kota dari negara tersebut dan menjadi salah satu kota tercantik di Eropa. Bahkan mereka juga memiliki sejumlah situs warisan dunia yang diakui UNESCO. Meski di masa modern telah menjadi kota metropolis, Budapest tetap mempertahankan sejarah dan warisan budaya yang dapat dilihat dari berbagai bangunan kuno, museum, sampai memorial. Mungkin ini juga alasan Budapest menjadi kota yang mereka kunjungi, bukan tempat terkenal seperti Paris atau negara lain yang sudah sangat dikenal romantis untuk pergi dengan pasangan. Rupanya ada kota romantis lainnya yang tidak begitu sering disebut. "Mereka terkenal dengan mata air panasnya?" tanya Anna sambil menikmati waktu sejenak di balkon hotel. Kini terpampang nyata di matanya bahwa ada kota secantik Budapest. Beberapa bangunan besar juga terlihat jelas dari lokasi hotel. Tida
Raden tidak menyesal dengan pilihan Laila. Memang sekretarisnya direkrut karena memiliki kecerdasan tinggi dengan riwayat edukasi yang sangat baik, tetapi mana ia duga bahwa Laila pun berhasil menentukan destinasi negara terbaik untuk berkencan selain nama-nama kota yang sudah sering terdengar. Sekaligus liburan, rasa lelah yang sempat Raden tanggung pun terangkat. Kini mereka menyusuri jalan di jembatan. Ada orang-orang lain yang juga jalan bersama mereka, namun dunia terasa hanya diisi mereka saja. Tidak, bercanda, mereka tidak menghayati sampai sebegitunya. "Sehabis ini kembali saja ke hotel, aku sudah lelah," celetuk Anna setelah jeda keheningan terjadi cukup lama. Raden mengangguk setuju. Hari ini mereka sudah banyak mengunjungi tempat, mungkin kunjungan galeri seni bisa ditunda sampai besok saja. Lagi-lagi tidak ada yang bicara, mereka hanya menikmati udara sepoi-sepoi sekaligus melihat kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan. Dari dekat, Raden