Sampai keesokan harinya mereka masih berada dalam status tertukar tubuh. Jiwa Anna yang berada di dalam tubuh Raden pun baru menyadarkan diri. Namun, bedanya dia hanya berdiam saja. Membiarkan dokter dan perawat datang mengecek perkembangan kondisi tubuh. Tidak banyak percakapan yang terjadi selain menjawab pertanyaan sang dokter.
Anna bisa beristirahat lebih tenang dan nyenyak meski ia sadar bahwa mereka sedang mengalami hal yang aneh.
Sedangkan Raden yang berada di tubuh Anna terbangun setelah tertidur tiga jam yang lalu. Itu pun bukan karena dia bangun sendiri, melainkan dibangunkan oleh seseorang yang cukup kasar. "Hei, bangunlah!"
Siapa yang berani memerintah seperti itu kepadaku? Walaupun dia belum benar-benar sadar diri, ia mendongakkan kepalanya dan mendapati seorang wanita beserta lelaki yang wajahnya sangat ia hafal.
"Apa yang sudah kamu lakukan?!" Suara wanita paruh baya tersebut meninggi, sama seperti kedua alisnya. "Rumahmu benar-benar seperti kapal pecah."
Ah, benar juga. Karena tidak memungkinkan untuk Anna tidur di sofa tamu rawat inap, ia memutuskan untuk tidur di kamar Anna. Beruntung para asistennya sudah membersihkan dengan kilat sehingga ia tidak perlu khawatir untuk tidur di ranjangnya.
Gara-gara ini juga, Raden jadi berpikir apakah orang tua Anna selalu datang pagi-pagi hari untuk melihat Anna? Atau kebetulan saja mereka datang di hari saat tubuh Annda dan Raden tertukar?
"Kelihatannya kamu sangat marah karena semalam, ya." Masya sengaja menekankan satu kata dalam kalimatnya. Namun, Anna lebih memilih menatap lurus kepada sang Ayah dibanding mendengar perkataan aneh Ibunya.
"Anna," panggil Malik. Akhirnya dia bersuara juga, batin Raden.
Orang yang dipanggil hanya bergumam kecil agar Malik melanjutkan apa yang ingin ia katakan. "Apakah semalam kamu menembak Raden?"
Orang yang lebih responsif atas pertanyaan itu adalah Masya. Dengan mata membulat tidak percaya, ia mengeraskan volume seakan-akan ingin membuat semua orang tahu kalau dia sedang terkejut. "APA?! Astaga! Kamu ini sudah gila, ya?!"
"Gila?" Jika dilihat dari kondisi Anna semalam ... "Mungkin saja aku memang sudah gila."
Malik memijat keningnya. Ia mengetahui itu karena seorang mata-mata yang ia taruh di rumah ini melapor kejadian tersebut. Katanya, setelah Anna pulang dari acaranya, semua barang dihancurkan. Bahkan Raden ditembak, padahal lelaki itu baru datang setelah sekian lamanya tidak mengunjungi rumah ini. "Kenapa?"
Entahlah. Sayang sekali saat ini di dalam tubuh Anna bukan orang yang sebenarnya. Jadi, Raden mencoba melontarkan kalimat sesuai gaya bicara Anna selama ini. "Memangnya aku butuh alasan untuk itu?"
PLAK!
Tangan Masya sangat ringan untuk menampar pipi Anna sampai memerah. Raden tidak percaya bahwa saat ini dia ditampar setelah dibangunkan mendadak. "Kamu ini gila, ya?! Cepat kunjungi suamimu dan minta maaf ke dia!"
Apakah ini adalah kali pertama untuk Anna ditampar ibunya sendiri?
Karena terkejut sekaligus efek baru bangun tidur, tubuhnya malah membeku. Masya nyaris mau menarik dengan kasar, namun Malik menahannya. "Biarkan dia merespon dengan benar dulu. Sepertinya kita datang ke sini terlalu pagi?"
"Pagi? Ini sudah jam delapan, bukankah dia selalu bangun jam lima?" heran wanita cerewet tersebut. Dahinya berkernyit meski pada akhirnya tetap tunduk pada perkataan suami.
Sebelum mereka berdua pergi, Malik kembali memberi nasihat--atau mungkin adalah perintah. "Kamu harus cepat meminta maaf kepada Raden. Jika hubungan kalian semakin buruk, terpaksa saya harus menyeretmu kembali ke rumah."
Mereka pergi sedangkan Raden masih mencoba untuk mencerna semuanya. Padahal selama ini pasutri Setiawan tampak sangat menyayangi Anna, putri mereka. Tapi barusan saja dia seperti sedang diancam. Bahkan bulu kuduknya berdiri untuk perasaan yang tidak bisa dijelaskan.
"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ini adalah hal bagus. Memang seharusnya wanita itu meminta maaf kepadaku," gumamnya. "Sudahlah, sekarang aku harus mandi ... Tunggu, gimana caranya agar aku bisa mandi?"
Bukannya Raden lupa mendadak gimana cara teknis untuk mandi. Memang dia hanya perlu buka baju, membilas tubuh dengan air, pakai sabun, kembali disiram air, dan memakai pakaian lagi. Tapi, masalahnya sekarang dia ada di tubuh Anna.
Merah tomat mulai menjalar ke pipinya. Pipinya sudah seperti sedang menggunakan blush-on saking meronanya dia saat memikirkan kegiatan selanjutnya.
"Astaga, dan dia akan melihat ... adikku?!"
*****
"Huh, untung saja aku tidak disuruh mandi," celetuk Anna. Saat ini posisinya dia masih di dalam tubuh Raden dan baru saja bagian atas tubuhnya diseka oleh perawat. "Kuharap tubuhku benar-benar pingsan dan tidak ada jiwa Raden di dalamnya."
Setelah semua rutinitas pagi para perawat medis selesai, dia bisa menikmati program televisi di hadapannya. Meski tidak sebagus channel televisi luar, setidaknya ruangan ini tidak akan sepi.
Sayang sekali, kenikmatan itu langsung direnggut ketika seseorang membuka pintu dengan kasar. Mata gelap milik Raden membesar, dia tidak percaya bahwa jiwa lelaki itu sungguhan berada di tubuhnya!
Setelah menutup pintu dengan benar, kaki Raden melangkah mendekat. Sebagai sikap pertahanan, Anna berseru terlebih dahulu, "Sialan! Apa yang kamu lakukan terhadap tubuhku?!"
Kaki jenjang Raden--yang sebenarnya adalah milik Anna--berhenti melangkah. Pria itu tertegun mendengar pertanyaan konyol tersebut. "Seharusnya aku yang bertanya!"
Meski menggunakan suara Anna, Raden tetap berhasil membuatnya terlihat lebih mendominasi. "Kamu sudah menembakku sampai aku nyaris meninggal dan kini tubuh kita tertukar! Bagaimana caramu akan bertanggung jawab?"
Anna sedikit bergetar, dia masih tidak siap harus menghadapi Raden yang sudah pernah ia coba bunuh. Melihat kepala yang mulai tertunduk, Raden kembali berjalan mendekat dan menyesuaikan tinggi kepala mereka agar bisa sejajar. "Karena perbuatanmu sangat keterlaluan, aku tidak akan pernah melepaskanmu bahkan sampai kamu mati."
Ketika Raden menarik kepalanya, Anna tidak bisa berkata-kata. Matanya melihat ke sana sini sebagai tanda kegugupannya. 'Tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Aku tidak boleh terlihat ketakutan,' batinnya.
Setelah Anna menyakinkan diri dan Raden pun mendengus, suasana tidak sedingin tadi. Apalagi tiba-tiba Raden berceletuk, "Astaga, aneh sekali kita bertengkar dengan suara yang berbeda. Hei, tubuh kita tertukar."
Informasi tidak berguna itu membuat Anna memutar mata malas, dia pun sejak awal bangun sudah sadar dan histeris terlebih dahulu. Raden melanjutkan prasangkanya, "Apa kamu menggunakan sihir?"
"Kamu kira diam-diam aku adalah penyihir hitam seperti di cerita fiksi?"
"Siapa tahu?"
"Dasar gila. Aku tidak percaya bahwa CEO macam kamu masih percaya sihir," omel Anna. Ia melemparkan pandangan ke teleivisi lagi dengan bibir mengulum. Raden yang tidak suka dihindari seperti itu langsung merebut remot yang berada di samping tubuhnya, lantas segera mematikan televisi.
"Tidak ada tontonan TV sampai kamu menjelaskan semua ini." Raden tetap keras kepala. Dia yakin bahwa Anna terlah berbuat sesuatu. "Oh, juga peluru yang ada di tubuhku--"
Tangan milik Anna langsung membuka baju pasien Raden dan mencoba menyentuh dada. Jiwa yang ada di dalam tubuh Raden adalah seorang perempuan dan Anna tidak terbiasa jika seseorang tiba-tiba menyentuh dadanya. "Hei! Menyingkir! Kamu mau memperkosa aku?"
"Bukankah aku ini berhak untuk menyentuh tubuh sendiri?" tanya Raden sekaligus sebagai alasan. Tangannya berhasil ditepis keras oleh Anna. Dia pun mengerjap-ngerjapkan mata dan mulai berkaca-kaca. "Kamu mau nangis? Astaga! Aku tidak sedang melecehkan kamu! Lihat, bahkan saat aku mandi pun aku berusaha untuk tidak menyentuh--ah, sudahlah lupakan saja. Intinya, apakah saat ini ada bekas jahitan dokter di tubuhku?"
Anna refleks mencoba menyentuh bagian yang hendak Raden sentuh tadi. Setelah menyakinkan diri bahwa tidak ada apa pun di sana, ia berhenti mengusap dan menggeleng. "Tidak. Padahal aku yakin aku menembak di daerah jantungmu."
"Bagian lain?" Raden mulai panik dan hendak menyentuh Anna lagi, tapi Anna buru-buru memberi tatapan horor.
"Jangan sentuh aku. Biarkan aku yang mengecek sendiri!"
Raden mengencangkan pinggangnya. Lihat sekarang, Anna bersikap seolah dia pemilik tubuh Raden sebenarnya. Dasar tidak tahu diri.
"Tidak ada."
Jawaban tersebut membuat Raden berdecak sebal. "Sekarang keanehannya bertambah satu lagi. Astaga, kamu ini benar-benar biang masalah. Seandainya kamu semalam tidak menembakku, kita tidak akan terjebak di situasi ini."
"Oh, jadi sekarang kamu mau menyalahkanku? Huh! Seandainya kamu mau menemaniku ke acara Ayah, aku tidak akan menembakmu."
"Kenapa malah aku yang salah?" Raden tidak terima dengan tuduhan Anna yang tidak masuk akal. "Sejak awal kamu yang sudah tidak waras, makanya bisa tertawa setelah menembakku."
Tidak waras? Jadi Raden pun berpikir kalau dia sudah gila? "Perhatikan ucapanmu."
"Kenapa harus aku yang memperhatikan ucapanku? Memangnya seorang pembunuh pantas menyuruh korbannya terus diam?"
"BAHKAN KAMU TIDAK MATI!" Anna menggaungkan suara Raden yang sangat keras, bahkan Raden sendiri sampai menutup telinganya. "Aku tidak gila, dan aku bukan pembunuh!"
Kedua tangan Anna bertepuk tangan, tepukan tangan yang ditujukan pada jiwanya sendiri. "Hebat sekali kamu bisa bertingkah seakan kamu bukan pendosa. Meski aku tidak jadi terbunuh, aku tetap bisa menuntutmu atas percobaan pembunuhan. Kamu tetap bisa dihukum karena itu."
"Haha," tawa Anna singkat. Tiba-tiba ia merasa ia mendapatkan keuntungan untuk berada di tubuh Raden. "Lebih tepatnya, tubuhmu lah yang akan melakukannya. Jika kamu tetap terjebak di tubuhku, malah jiwamu yang akan menerima hukumannya. Benar, bukan?"
Tangannya mengepal, nafasnya jadi sedikit lebih memburu, dan dadanya naik turun. Saat ini tubuh Anna bergerak tidak sesuai keanggunan wanita biasanya. Raden mencoba mengubah suaranya lebih berat dengan pita suara Anna. "Cepat kembalikan aku ke kondisi semula. Kembalikan aku ke tubuhku!"
Anna menghela nafas kasar. "Bahkan aku pun tidak tahu kenapa pelurunya bisa hilang di tubuhmu. Lalu bagaimana caranya aku tahu--"
"Aku tidak ingin tahu! Pokoknya kamu harus menemukan caranya!" Raden melangkah ke pintu dengan gelisah dan keluar dari ruang rawatnya. Anna hanya bisa menghela nafas setelah pintunya kembali tertutup.
Ya ampun, kenapa semuanya jadi sangat membingungkan?
[Bersambung]
Mau dipikirkan berapa kali pun, hasilnya tetap nihil. Otak Anna sudah tidak kuat untuk berpikir lagi. Pertukaran tubuh saja sudah aneh, maka akan seaneh apa cara mengembalik tubuh mereka? Tidak mungkin jika mereka harus melalui prosedur berbahaya seperti yang ada di drama Korea, kan? “Berpikirlah....” gumam Anna terus menerus. Kaki kanannya terus mengetuk lantai mobil sampai membuat supirnya melirik heran. Tidak seperti biasanya Raden akan bersikap segelisah ini. Meski ada hal yang terus mengganggu pikirannya, setidaknya kakinya tidak akan membuat ketukan seribut ini. “Bapak kelihatannya tidak mau menemui Bu Anna, ya? Kita masih bisa kembali ke rumah lagi,” usul sang supir. Namun, Anna langsung menggeleng kepala. “Tidak apa-apa. Kita tetap pergi ke rumah Anna,” suruhnya. Perjalanan kembali dilanjutkan meski gelagatnya tetap mengatakan bahwa ia memiliki banyak pikiran. Bagaimana ini? Pasti nanti Raden akan bertanya apakah dia sudah mendapatkan solusiny
Setelah semua kembali normal, hari-hari terlewati begitu saja. Tidak ada yang berubah kecuali pengawasan Anna yang lebih ketat. Raden pun semakin menegaskan bahwa semua kepergian Anna harus dilaporkan ke dirinya. Anna tahu bahwa dia diawasi nyaris 24 jam. Akan tetapi, dia sudah tidak ada niatan untuk melakukan kekacauan lagi. Sudah cukup hari-hari itu menjadi luapan kegilaannya. Sayangnya, semesta tidak membiarkan Anna bersantai begitu saja. Ia mendapat pesan yang menyatakan,'Datang ke rumah. Ayah mau bicara denganmu.' Atas perintah sang suami, Anna memberitahu kepada lelaki tersebut melalui media pesan. Kemudian mengirimkan gambar pesan sebagai bukti. 'Apakah boleh?' tanyanya melalui pesan teks. 'Jam dua siang nanti. ASAP.' 'Ya.' Balasan singkat itu ditunjukkan Anna secara nyata kepada kedua pengawalnya. "Aku ingin pergi ke rumah keluargaku." Tibalah dia di rumah yang sudah lama tidak didatang
"Semua keberhasilanku juga karena Ayah dan Ibu, dong," sahut Elisa setelah sang Ibu sibuk memuji-muji dirinya di depan ketiga saudaranya. "Aku jadi tahu apa yang kuinginkan dan bisa melakukan yang terbaik di sana." "Baguslah kalau begitu, Nak," balas Malik dengan tatapan yang terpancar kehangatan penuh kasih sayang. "Kamu juga belum menemukan pasangan di sana, ya?" Elisa meringis, dia sudah menebak akan terjadi pembahasan mengenai pacar. Tentu saja, dia sudah berusia 28 tahun namun masih tetap single setelah tiga tahun lalu ia diputuskan oleh sang mantan. Sejak saat itu, dia lebih fokus pada pencapaian karirnya alih-alih memikirkan mengenai pernikahan. "Masih belum, Yah. Aku belum dapat calon yang pas." Beruntung, orang tuanya cukup santai mengenai itu. "Tidak apa-apa. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu. Tapi, kalau kamu sudah punya calonnya, jangan lupa kenalkan pada kami, lho." "Aku jadi ingin seperti Kakak juga. Jadi wanita karir sukses du
Raden mencoba melepaskan dasi biru tua dengan sedikit kasar. Akhir-akhir ini ada banyak urusan pekerjaan yang membuat lebih lelah dibanding biasanya. Hatinya juga merasa gelisah seakan-akan ada suatu hal yang salah telah terjadi. Drrrtt! Drrrtt! Tanpa melihat siapa peneleponnya, Raden langsung menerima panggilan masuk tersebut. "Siapa ini?" "Raden." Ini adalah suara Anna. "Kenapa?" Dasinya berhasil terlepas dari leher dan ia gulung untuk ditaruh di tempat khusus dasi. "Apakah sekali saja kamu pernah menginginkanku?" tanyanya dari seberang sana. Pertanyaan acak macam apa itu? "Memangnya perlu kujawab--" "JAWAB SAJA!" Teriakan Anna benar-benar membuat gendang telinga Raden sakit. Namun, hal ini membuat hati Raden benar-benar bergemuruh. Meski kini di badannya hanya tersisa kemeja putih polos dan celana kerja yang masih rapi, Raden bergegas keluar dari kamar dan rumahnya. "Apa? Ulangi pe
Seharusnya semua telah berakhir. Seharusnya ia tidak lagi menarik nafas. Seharusnya tidak ada lagi cahaya lampu yang menyinari matanya. Seharusnya begitu. Akan tetapi, kenapa untuk mengakhiri hidup saja ia tidak bisa melakukannya? Sebuah kekecewaan langsung menghampiri ulu hatinya saat ia membuka mata dan mendapati langit-langit rumah sakit. Anna mencoba mengangkat tangan dan mendapati bagaimana telapak tangan mungilnya telah menjadi telapak tangan besar milik Raden. "Jadi ... aku kembali tertukar lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tentu saja tidak akan ada orang yang bisa menjawab hal itu. Anna menghela nafas lemas. Pada akhirnya dia tidak diperbolehkan semesta untuk menghadapi ajalnya sendiri. "Memangnya dosa besar apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai pintu mautku pun tertutup?" "Pak Raden!" seru seseorang yang kembali setelah mendengar hasil analisa dokter. "Tadi anda pingsan di depan pintu rumah, kami jadi khawatir dengan kondisi kes
"Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Laila kepada Raden--lebih tepatnya Anna--yang saat ini baru saja memuntahkan isi perut setelah mendatangi rapat. Ini sangat aneh, tidak biasanya si Bos terlihat pucat saat memasuki ruangan rapat, tidak berbicara apapun, dan ketika kembali malah langsung muntah di toilet. Hal ini malah mengingatkan Laila pada demam punggungnya saat baru menjadi sekretaris. Namun, tidak mungkin tiba-tiba Raden mengalami demam panggung, kan? Raden keluar dan mendudukkan diri di sofa abu-abu empuk. Tangannya terus memijat dahi lantaran rasa pusing tidak segera menghilang. Sedangkan Laila menjadi sekretaris yang gesit untuk memberikan minyak angin kepada Raden. "Kelihatannya Bapak tidak enak badan hari ini. Bukankah lebih baik Bapak pulang saja daripada memaksakan diri seperti ini?" Anna menggeleng, menolak tawaran Laila. Sebentar lagi adalah jam pulang, maka dia masih mampu untuk bertahan sampai jam pulang tiba. "Bapak tidak akan lembu
Untuk kembali ke tubuh masing-masing tanpa bertele-tele, mereka melakukan ciuman cepat di dalam mobil. Setelah itu, tiga hari kemudian ada kedatangan seorang psikiater ke rumah Anna. Persis dengan janji Raden di hari itu. Tentu saja Anna menolak, dia tidak ingin bertemu sama sekali. Obat-obatan tidak akan berhasil menyembuhkan luka kehidupannya. Untuk apa Raden bersikeras untuk sesuatu yang sia-sia? Namun, Anna sadar bahwa Raden melakukan itu karena dia memang tidak mengerti keadaan sang istri yang sebenarnya. Raden memaksakan pikirannya yang berkata tindakan itu adalah hal baik, tanpa memedulikan pendapat Anna sama sekali. "Kumohon, setelah ini jangan datang lagi. Anggap saja aku memperbolehkanmu untuk makan gaji buta," ujar Anna kepada psikiater yang berkacamata itu. Dengan tatapan yang memelas, sang psikiater menghela nafas. Dia sudah mencoba agar bisa berbicara dengan Anna, tapi yang didapatkannya adalah penolakan terang-terangan. Masalahnya, jika
Tidak ada yang tahu sama sekali bagaimana pesan itu bisa terkirim. Saat Raden meminta salah satu pegawai handalnya memeriksa siapa pengirim surel tersebut, dia hanya mendapatkan bahwa alamatemail tersebut masih baru dan tidak ada akun media apapun yang terhubung denganemailitu. Sedangkan di Anna, wanita itu sudah mencoba untuk menanyai sang pembawa makanan, tapi hasilnya juga nihil. Katanya orang tersebut tidak merasa ada surat terselip ketika ia membawa makanannya. Surat tersebut baru muncul ketika Anna datang. Ini lebih menyeramkan dibanding film horor mana pun. "Apa yang harus kita lakukan kalau begitu?" Dahi lelaki tersebut sudah berkerut sejak datang ke rumah Anna. Astaga, lama-lama kerutan samar akan timbul meski umur Raden masih cukup muda. Orang yang diajak berpikir bersama malah tidak merespon. Mata Raden melirik, rupanya Anna lebih memilih menghirup dan menghisap teh chamomile di cangkirnya alih-alih menjawab pert