Share

3. Mustahil Namun Nyata

Tangan dengan sarung tangan putih kini mencoba untuk membersihkan luka yang diperkirakan berada di sekitar sumbernya. Seseorang yang baru saja datang berbisik kepada dokter itu. "Katanya, pasien ini baru saja terkena tembakan."

Dokter tersebut mengangguk dan kembali membersihkan sisa-sisa darah. Kalau begitu, mereka harus segera melakukan operasi untuk mengangkat peluru di daerah sekitar jantung.

Tetapi, tunggu ada yang aneh. "Bagian mana yang terkena tembakan?"

"Daerah jantung."

Alis sang dokter berkerut bingung. Ia mencoba menelusuri dengan tangannya, siapa tahu lukanya tidak terlihat--meski seharusnya terlihat. Namun, ternyata tidak ada kulit yang terasa bolong. Sumber lukanya pun menghilang. "Apakah dia benar-benar ditembak?"

Di sisi lain, masih ada Anna yang jatuh pingsan. Karena dia tidak memiliki luka selain di kedua telapak tangan, maka dia hanya dirawat untuk satu malam saja. Salah satu asisten rumah tangga mengajukan diri untuk mengawasi Anna sampai diperbolehkan untuk pulang.

Melihat bagaimana kondisi Anna yang mengenaskan, wajah pucat pasi, riasan yang sudah berantakan karena air mata, bibir dengan polesan lipstik yang masih tahan namun sudah sedikit tercoret akibat diusap kasar. "Dari wajah saja sudah terlihat bahwa Bu Anna tidak baik-baik saja. Tetapi, kenapa yang lain masih berpikir itu disengaja demi mencari perhatian Pak Raden?"

Jika ingin mencari perhatian sang suami, maka Anna tidak mungkin memiliki tekad untuk membunuh Raden. Itu akan merugikan diri sendiri.

Saat ia sedikit melamun, pintu kamar rawat diketuk. Kemudian pengawal Anna, Sahir, masuk untuk memberitahu sesuatu. "Apa kamu tahu pistol Bu Anna ada di mana?"

"Tentu saja di kamar."

"Saya sudah cari di semua sisi, bahkan asisten yang lain sudah membersihkan kembali kamarnya, tapi tetap kita tidak menemukan pistolnya."

"Jadi, maksudmu pistolnya hilang?"

"Iya. Juga saya sempat menerima laporan sebelum ke sini. Kata dokter, tidak ditemukan bekas peluru di tubuh Pak Raden sama sekali."

*****

Bagi Raden, PT. Kusuma Jaya bukan sekadar bisnis turunan dari sang keluarga. Dia sudah menganggap bahwa perusahaan itu adalah sebagian dari hidupnya. Bukan berarti dia gila harta, namun sejak kebakaran yang menghabisi keluarganya, hanya perusahaan itu yang dia punya.

Sejak dahulu, Raden tidak pernah memiliki apa pun. Dia menjadi anak yang tersingkirkan dari ketiga saudara lainnya. Orang tuanya tidak pernah menatap dia dengan benar. Meski begitu, Raden patut bersyukur dia masih bisa tinggal di rumah orang tuanya walaupun harus tinggal bersama pembantu lain.

Ketika kebakaran tersebut terjadi, tidak ada lagi yang tersisa di dirinya. Orang tuanya dan ketiga saudara yang tinggal di bagian utama meregang nyawa dan tidak bisa diselamatkan. Raden yang saat itu berumur tujuh tahun dititipkan ke panti asuhan. Berkat panti asuhan tersebut, Raden masih mampu untuk melanjutkan sekolahnya sampai sepuluh tahun kemudian.

Kala ia berhasil mendapatkan KTP sendiri, muncul seorang kerabat setia Ayahnya, Aditya Widaya. Sejak kebakaran terjadi, Aditya dengan cekatan mengambil alih dan mempertahankan perusahaan tersebut. Sesuai dengan rencana awal, ketika Raden sudah legal, maka dia akan memegang kembali perusahaan keluarganya.

Di situlah Adit membawa Raden kembali ke kehidupan mewah dan menyekolahkannya di bidang teknik dan bisnis. Di umur 21, Raden sepenuhnya memegang PT. Kusuma Jaya di bawah pengawasan Adit.

Membawa PT. Kusuma Jaya kembali seperti sedia kala sangat tidak mudah. Usaha Adit pun belum berhasil mebbawa PT. Kusuma Jaya ke kejayaannya. Di saat itu salah satu rivalnya, PT. Setia Abadi terus mengungguli dunia alat mesin berat.

Raden yang melalui banyak percobaan, kesalahan, kemenangan, dan lain-lain akhirnya mulai benar-benar membangkitkan PT. Kusuma Jaya.

Namun, ketika ia sudah berada di titik stabil yang tinggi, justru ia dibunuh oleh istrinya sendiri. Apakah semua perjuangannya akan berakhir di sini? Apakah pada akhirnya keluarga Setiawan beserta PT. Setia Abadi akan kembali menang dengan cara kotor seperti ini?

"Jari Pak Raden bergerak! Tunggu, beliau juga berkedip-kedip!" seru seseorang. Didengar dari bentuk suara, yang berseru barusan adalah perempuan. Siapa itu?

Kedua kelopak mata itu terbuka. Sesekali berkedip-kedip karena tidak terbiasa dengan cahaya.

Kamar putih, penuh dengan mesin, dan bau khas antiseptik. Tebakannya berkata ini adalah rumah sakit. "Ergh...." erang Raden ketika mencoba menggerakkan tangan atau badannya yang lain.

Dua suster beserta satu dokter datang. Dokter memeriksanya dengan fokus. "Bagaimana perasaan Bapak?"

Huh? Bapak? "Aduh...." Tiba-tiba keningnya terasa sakit. Sepertinya dia terlalu lama tertidur.

"Apakah ada yang terasa sakit?"

"Kepala, tangan ... Tunggu." Wajah Raden membeku ketika menyadari sesuatu. "Aah ... Tes ... Satu ... Dua ... Kok suara Raden yang keluar?!"

Kebingungan dengan Raden yang bertingkah seperti itu, Dokter kembali menegur. "Pak? Apakah--"

Mata Raden tidak lagi tampak lesu, melainkan sangat tegang dan menatap dokter dengan was-was. "Saya bukan Raden, saya adalah Anna."

"Anna? Siapa itu?"

Asisten yang ada di pojok kamar segera menyahut. "Bu Anna adalah istri Pak Raden."

Melihat bagaimana reaksi Raden yang malah tersentak dan histeris sendiri, kedua perawat langsung menahannya. Saat ini Raden terlalu agresif ingin berdiri padahal kondisinya masih tidak memungkinkan. Memang meski tidak ditemukan peluru, anehnya tubuh Raden bertindak seakan tertembak sungguhan sehingga lelaki itu harus dirawat secara intensif.

"Saya bukan Raden," ulangnya sekali lagi sebelum jatuh tertidur akibat obat penenang yang disuntikkan.

Di ujung, sang asisten hanya bisa menutup mulut dengan tangan. Baru kali ini dia melihat sosok Raden yang tidak bisa dikendalikan. Apalagi dia menyebut nama Anna berkali-kali.

*****

"Ini tidak nyata, kan?" Suara wanita itu terdengar lebih rendah dibanding biasanya. Jari-jarinya bergerak menyentuh mukanya. Dari pipi ke bibir, kemudian hidung dan mata. Lalu mencoba melihat rambut panjangnya sendiri. "Aku ... di tubuh Anna?"

Tidak seperti Raden yang sempat bertingkah agak gila karena keanehan ini, Anna lebih santai namun terus berkaca sambil mencoba memikirkan apa yang terjadi.

"Terakhir kali aku ditembak, tapi aku malah sadar di ruang inap biasa. Juga ... tubuh Anna? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Saat ia berbalik, ia menunjuk seorang asisten. "Hei kamu!"

Aura Anna yang berbeda membuat ruangan itu lebih tegang. Ketika dia menunjuk, asisten yang dipanggil merasa jantungnya nyaris melompat keluar. Ia merespon dengan terbata-bata, "Sa, saya?"

"Iya."

"Tampar aku."

"Apa?"

Bukankah itu perintah yang sangat kurang ajar jika sang asisten sungguhan melakukannya? "Mana mungkin saya bisa melakukannya. Pak Raden pasti marah."

"Pak Raden tidak akan marah," sahut Anna dengan tegas. Karena yang di dalamnya adalah Raden, maka secara otomatis Raden yang menyuruh asisten itu untuk menampar tubuh Anna. "Cepat lakukan atau saya akan memecat kamu."

Asisten itu tetap bergeming. Dia tidak begitu takut dengan ancaman tersebut. Sepengetahuannya, yang bisa memecat pekerja rumah hanya Raden saja.

Sialan, kesal Raden dalam batin. Karena dia berada di tubuh Anna, ancaman atau perintahnya jadi tidak didengarkan. "Cepat lakukan!"

"B-baik, Bu. Tetapi, jangan beritahu--"

"Sekarang lakukan saja dulu!"

Plak! Satu tamparan yang ternyata cukup keras mendarat di pipi mulus Anna. Ketika ia mencoba membuka mata dan mengerjap-ngerjap, jiwa Raden sadar bahwa ia sungguhan berada di tubuh Anna. Satu lagi, hal ini juga nyata adanya. "Sekarang tubuhku, maksudku Raden, ada di mana?"

"Tidak bisa!" seru asisten tersebut. "Anda sudah menembak Pak Raden, jadi anda tidak boleh--"

"Siapa kamu sampai melarang saya menemui suami saya sendiri?!" Suara Anna melengking sampai orang di luar ruangan dapat mendengar. Asisten-asisten tersebut terpaksa membawa wanita itu untuk menemui Raden karena Anna mengeraskan suara dan bertingkah menyeramkan.

Setelah naik lift dan menyusuri lorong, tibalah mereka di depan pintu ruang rawat Raden. Tanpa mengetuk, dia masuk begitu saja. Ketika mendapati tubuhnya masih terbaring di atas ranjang, bulu kuduknya berdiri.

Begini kah rasanya keluar dari tubuh sendiri?

"Bagaimana kondisinya?" tanya Anna langsung pada orang yang berjaga sejak tadi.

"Pak Raden sempat terbangun, tapi kondisinya tidak stabil," jawab seorang pengawal.

Tidak stabil? "Maksudnya?"

"Pak Raden berkata bahwa ia bukan Pak Raden, melainkan Bu Anna." Kulit Anna merinding ketika mendengar itu. "Lalu Pak Raden berusaha untuk bangun, padahal kondisinya masih tidak memungkinkan. Karena itu, dokter menyuntikkan obat penenang dan sampai saat ini Pak Raden belum bangun lagi."

Dia tidak lanjut membalas lagi, tapi mata cokelat Anna menatap tubuh Raden penuh perhatian. Sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan terhadap tubuhku, Anna? Kenapa kamu senang sekali membuat kesusahan, bahkan hal yang mustahil pun bisa terjadi?

Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain duduk diam di kursi dan mengawasi tubuhnya sendiri.

Bagaimana ini? Ia rasa kondisi tertukar tubuh lebih buruk dibanding meninggal karena ditembak sang istri.

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status