Tangan dengan sarung tangan putih kini mencoba untuk membersihkan luka yang diperkirakan berada di sekitar sumbernya. Seseorang yang baru saja datang berbisik kepada dokter itu. "Katanya, pasien ini baru saja terkena tembakan."
Dokter tersebut mengangguk dan kembali membersihkan sisa-sisa darah. Kalau begitu, mereka harus segera melakukan operasi untuk mengangkat peluru di daerah sekitar jantung.
Tetapi, tunggu ada yang aneh. "Bagian mana yang terkena tembakan?"
"Daerah jantung."
Alis sang dokter berkerut bingung. Ia mencoba menelusuri dengan tangannya, siapa tahu lukanya tidak terlihat--meski seharusnya terlihat. Namun, ternyata tidak ada kulit yang terasa bolong. Sumber lukanya pun menghilang. "Apakah dia benar-benar ditembak?"
Di sisi lain, masih ada Anna yang jatuh pingsan. Karena dia tidak memiliki luka selain di kedua telapak tangan, maka dia hanya dirawat untuk satu malam saja. Salah satu asisten rumah tangga mengajukan diri untuk mengawasi Anna sampai diperbolehkan untuk pulang.
Melihat bagaimana kondisi Anna yang mengenaskan, wajah pucat pasi, riasan yang sudah berantakan karena air mata, bibir dengan polesan lipstik yang masih tahan namun sudah sedikit tercoret akibat diusap kasar. "Dari wajah saja sudah terlihat bahwa Bu Anna tidak baik-baik saja. Tetapi, kenapa yang lain masih berpikir itu disengaja demi mencari perhatian Pak Raden?"
Jika ingin mencari perhatian sang suami, maka Anna tidak mungkin memiliki tekad untuk membunuh Raden. Itu akan merugikan diri sendiri.
Saat ia sedikit melamun, pintu kamar rawat diketuk. Kemudian pengawal Anna, Sahir, masuk untuk memberitahu sesuatu. "Apa kamu tahu pistol Bu Anna ada di mana?"
"Tentu saja di kamar."
"Saya sudah cari di semua sisi, bahkan asisten yang lain sudah membersihkan kembali kamarnya, tapi tetap kita tidak menemukan pistolnya."
"Jadi, maksudmu pistolnya hilang?"
"Iya. Juga saya sempat menerima laporan sebelum ke sini. Kata dokter, tidak ditemukan bekas peluru di tubuh Pak Raden sama sekali."
*****
Bagi Raden, PT. Kusuma Jaya bukan sekadar bisnis turunan dari sang keluarga. Dia sudah menganggap bahwa perusahaan itu adalah sebagian dari hidupnya. Bukan berarti dia gila harta, namun sejak kebakaran yang menghabisi keluarganya, hanya perusahaan itu yang dia punya.
Sejak dahulu, Raden tidak pernah memiliki apa pun. Dia menjadi anak yang tersingkirkan dari ketiga saudara lainnya. Orang tuanya tidak pernah menatap dia dengan benar. Meski begitu, Raden patut bersyukur dia masih bisa tinggal di rumah orang tuanya walaupun harus tinggal bersama pembantu lain.
Ketika kebakaran tersebut terjadi, tidak ada lagi yang tersisa di dirinya. Orang tuanya dan ketiga saudara yang tinggal di bagian utama meregang nyawa dan tidak bisa diselamatkan. Raden yang saat itu berumur tujuh tahun dititipkan ke panti asuhan. Berkat panti asuhan tersebut, Raden masih mampu untuk melanjutkan sekolahnya sampai sepuluh tahun kemudian.
Kala ia berhasil mendapatkan KTP sendiri, muncul seorang kerabat setia Ayahnya, Aditya Widaya. Sejak kebakaran terjadi, Aditya dengan cekatan mengambil alih dan mempertahankan perusahaan tersebut. Sesuai dengan rencana awal, ketika Raden sudah legal, maka dia akan memegang kembali perusahaan keluarganya.
Di situlah Adit membawa Raden kembali ke kehidupan mewah dan menyekolahkannya di bidang teknik dan bisnis. Di umur 21, Raden sepenuhnya memegang PT. Kusuma Jaya di bawah pengawasan Adit.
Membawa PT. Kusuma Jaya kembali seperti sedia kala sangat tidak mudah. Usaha Adit pun belum berhasil mebbawa PT. Kusuma Jaya ke kejayaannya. Di saat itu salah satu rivalnya, PT. Setia Abadi terus mengungguli dunia alat mesin berat.
Raden yang melalui banyak percobaan, kesalahan, kemenangan, dan lain-lain akhirnya mulai benar-benar membangkitkan PT. Kusuma Jaya.
Namun, ketika ia sudah berada di titik stabil yang tinggi, justru ia dibunuh oleh istrinya sendiri. Apakah semua perjuangannya akan berakhir di sini? Apakah pada akhirnya keluarga Setiawan beserta PT. Setia Abadi akan kembali menang dengan cara kotor seperti ini?
"Jari Pak Raden bergerak! Tunggu, beliau juga berkedip-kedip!" seru seseorang. Didengar dari bentuk suara, yang berseru barusan adalah perempuan. Siapa itu?
Kedua kelopak mata itu terbuka. Sesekali berkedip-kedip karena tidak terbiasa dengan cahaya.
Kamar putih, penuh dengan mesin, dan bau khas antiseptik. Tebakannya berkata ini adalah rumah sakit. "Ergh...." erang Raden ketika mencoba menggerakkan tangan atau badannya yang lain.
Dua suster beserta satu dokter datang. Dokter memeriksanya dengan fokus. "Bagaimana perasaan Bapak?"
Huh? Bapak? "Aduh...." Tiba-tiba keningnya terasa sakit. Sepertinya dia terlalu lama tertidur.
"Apakah ada yang terasa sakit?"
"Kepala, tangan ... Tunggu." Wajah Raden membeku ketika menyadari sesuatu. "Aah ... Tes ... Satu ... Dua ... Kok suara Raden yang keluar?!"
Kebingungan dengan Raden yang bertingkah seperti itu, Dokter kembali menegur. "Pak? Apakah--"
Mata Raden tidak lagi tampak lesu, melainkan sangat tegang dan menatap dokter dengan was-was. "Saya bukan Raden, saya adalah Anna."
"Anna? Siapa itu?"
Asisten yang ada di pojok kamar segera menyahut. "Bu Anna adalah istri Pak Raden."
Melihat bagaimana reaksi Raden yang malah tersentak dan histeris sendiri, kedua perawat langsung menahannya. Saat ini Raden terlalu agresif ingin berdiri padahal kondisinya masih tidak memungkinkan. Memang meski tidak ditemukan peluru, anehnya tubuh Raden bertindak seakan tertembak sungguhan sehingga lelaki itu harus dirawat secara intensif.
"Saya bukan Raden," ulangnya sekali lagi sebelum jatuh tertidur akibat obat penenang yang disuntikkan.
Di ujung, sang asisten hanya bisa menutup mulut dengan tangan. Baru kali ini dia melihat sosok Raden yang tidak bisa dikendalikan. Apalagi dia menyebut nama Anna berkali-kali.
*****
"Ini tidak nyata, kan?" Suara wanita itu terdengar lebih rendah dibanding biasanya. Jari-jarinya bergerak menyentuh mukanya. Dari pipi ke bibir, kemudian hidung dan mata. Lalu mencoba melihat rambut panjangnya sendiri. "Aku ... di tubuh Anna?"
Tidak seperti Raden yang sempat bertingkah agak gila karena keanehan ini, Anna lebih santai namun terus berkaca sambil mencoba memikirkan apa yang terjadi.
"Terakhir kali aku ditembak, tapi aku malah sadar di ruang inap biasa. Juga ... tubuh Anna? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Saat ia berbalik, ia menunjuk seorang asisten. "Hei kamu!"
Aura Anna yang berbeda membuat ruangan itu lebih tegang. Ketika dia menunjuk, asisten yang dipanggil merasa jantungnya nyaris melompat keluar. Ia merespon dengan terbata-bata, "Sa, saya?"
"Iya."
"Tampar aku."
"Apa?"
Bukankah itu perintah yang sangat kurang ajar jika sang asisten sungguhan melakukannya? "Mana mungkin saya bisa melakukannya. Pak Raden pasti marah."
"Pak Raden tidak akan marah," sahut Anna dengan tegas. Karena yang di dalamnya adalah Raden, maka secara otomatis Raden yang menyuruh asisten itu untuk menampar tubuh Anna. "Cepat lakukan atau saya akan memecat kamu."
Asisten itu tetap bergeming. Dia tidak begitu takut dengan ancaman tersebut. Sepengetahuannya, yang bisa memecat pekerja rumah hanya Raden saja.
Sialan, kesal Raden dalam batin. Karena dia berada di tubuh Anna, ancaman atau perintahnya jadi tidak didengarkan. "Cepat lakukan!"
"B-baik, Bu. Tetapi, jangan beritahu--"
"Sekarang lakukan saja dulu!"
Plak! Satu tamparan yang ternyata cukup keras mendarat di pipi mulus Anna. Ketika ia mencoba membuka mata dan mengerjap-ngerjap, jiwa Raden sadar bahwa ia sungguhan berada di tubuh Anna. Satu lagi, hal ini juga nyata adanya. "Sekarang tubuhku, maksudku Raden, ada di mana?"
"Tidak bisa!" seru asisten tersebut. "Anda sudah menembak Pak Raden, jadi anda tidak boleh--"
"Siapa kamu sampai melarang saya menemui suami saya sendiri?!" Suara Anna melengking sampai orang di luar ruangan dapat mendengar. Asisten-asisten tersebut terpaksa membawa wanita itu untuk menemui Raden karena Anna mengeraskan suara dan bertingkah menyeramkan.
Setelah naik lift dan menyusuri lorong, tibalah mereka di depan pintu ruang rawat Raden. Tanpa mengetuk, dia masuk begitu saja. Ketika mendapati tubuhnya masih terbaring di atas ranjang, bulu kuduknya berdiri.
Begini kah rasanya keluar dari tubuh sendiri?
"Bagaimana kondisinya?" tanya Anna langsung pada orang yang berjaga sejak tadi.
"Pak Raden sempat terbangun, tapi kondisinya tidak stabil," jawab seorang pengawal.
Tidak stabil? "Maksudnya?"
"Pak Raden berkata bahwa ia bukan Pak Raden, melainkan Bu Anna." Kulit Anna merinding ketika mendengar itu. "Lalu Pak Raden berusaha untuk bangun, padahal kondisinya masih tidak memungkinkan. Karena itu, dokter menyuntikkan obat penenang dan sampai saat ini Pak Raden belum bangun lagi."
Dia tidak lanjut membalas lagi, tapi mata cokelat Anna menatap tubuh Raden penuh perhatian. Sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan terhadap tubuhku, Anna? Kenapa kamu senang sekali membuat kesusahan, bahkan hal yang mustahil pun bisa terjadi?
Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain duduk diam di kursi dan mengawasi tubuhnya sendiri.
Bagaimana ini? Ia rasa kondisi tertukar tubuh lebih buruk dibanding meninggal karena ditembak sang istri.
[Bersambung]
Sampai keesokan harinya mereka masih berada dalam status tertukar tubuh. Jiwa Anna yang berada di dalam tubuh Raden pun baru menyadarkan diri. Namun, bedanya dia hanya berdiam saja. Membiarkan dokter dan perawat datang mengecek perkembangan kondisi tubuh. Tidak banyak percakapan yang terjadi selain menjawab pertanyaan sang dokter.Anna bisa beristirahat lebih tenang dan nyenyak meski ia sadar bahwa mereka sedang mengalami hal yang aneh.Sedangkan Raden yang berada di tubuh Anna terbangun setelah tertidur tiga jam yang lalu. Itu pun bukan karena dia bangun sendiri, melainkan dibangunkan oleh seseorang yang cukup kasar. "Hei, bangunlah!"Siapa yang berani memerintah seperti itu kepadaku? Walaupun dia belum benar-benar sadar diri, ia mendongakkan kepalanya dan mendapati seorang wanita beserta lelaki yang wajahnya sangat ia hafal."Apa yang sudah kamu lakukan?!" Suara wanita paruh baya tersebut meninggi, sama seperti kedua alisnya. "Rumahmu benar-ben
Mau dipikirkan berapa kali pun, hasilnya tetap nihil. Otak Anna sudah tidak kuat untuk berpikir lagi. Pertukaran tubuh saja sudah aneh, maka akan seaneh apa cara mengembalik tubuh mereka? Tidak mungkin jika mereka harus melalui prosedur berbahaya seperti yang ada di drama Korea, kan? “Berpikirlah....” gumam Anna terus menerus. Kaki kanannya terus mengetuk lantai mobil sampai membuat supirnya melirik heran. Tidak seperti biasanya Raden akan bersikap segelisah ini. Meski ada hal yang terus mengganggu pikirannya, setidaknya kakinya tidak akan membuat ketukan seribut ini. “Bapak kelihatannya tidak mau menemui Bu Anna, ya? Kita masih bisa kembali ke rumah lagi,” usul sang supir. Namun, Anna langsung menggeleng kepala. “Tidak apa-apa. Kita tetap pergi ke rumah Anna,” suruhnya. Perjalanan kembali dilanjutkan meski gelagatnya tetap mengatakan bahwa ia memiliki banyak pikiran. Bagaimana ini? Pasti nanti Raden akan bertanya apakah dia sudah mendapatkan solusiny
Setelah semua kembali normal, hari-hari terlewati begitu saja. Tidak ada yang berubah kecuali pengawasan Anna yang lebih ketat. Raden pun semakin menegaskan bahwa semua kepergian Anna harus dilaporkan ke dirinya. Anna tahu bahwa dia diawasi nyaris 24 jam. Akan tetapi, dia sudah tidak ada niatan untuk melakukan kekacauan lagi. Sudah cukup hari-hari itu menjadi luapan kegilaannya. Sayangnya, semesta tidak membiarkan Anna bersantai begitu saja. Ia mendapat pesan yang menyatakan,'Datang ke rumah. Ayah mau bicara denganmu.' Atas perintah sang suami, Anna memberitahu kepada lelaki tersebut melalui media pesan. Kemudian mengirimkan gambar pesan sebagai bukti. 'Apakah boleh?' tanyanya melalui pesan teks. 'Jam dua siang nanti. ASAP.' 'Ya.' Balasan singkat itu ditunjukkan Anna secara nyata kepada kedua pengawalnya. "Aku ingin pergi ke rumah keluargaku." Tibalah dia di rumah yang sudah lama tidak didatang
"Semua keberhasilanku juga karena Ayah dan Ibu, dong," sahut Elisa setelah sang Ibu sibuk memuji-muji dirinya di depan ketiga saudaranya. "Aku jadi tahu apa yang kuinginkan dan bisa melakukan yang terbaik di sana." "Baguslah kalau begitu, Nak," balas Malik dengan tatapan yang terpancar kehangatan penuh kasih sayang. "Kamu juga belum menemukan pasangan di sana, ya?" Elisa meringis, dia sudah menebak akan terjadi pembahasan mengenai pacar. Tentu saja, dia sudah berusia 28 tahun namun masih tetap single setelah tiga tahun lalu ia diputuskan oleh sang mantan. Sejak saat itu, dia lebih fokus pada pencapaian karirnya alih-alih memikirkan mengenai pernikahan. "Masih belum, Yah. Aku belum dapat calon yang pas." Beruntung, orang tuanya cukup santai mengenai itu. "Tidak apa-apa. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu. Tapi, kalau kamu sudah punya calonnya, jangan lupa kenalkan pada kami, lho." "Aku jadi ingin seperti Kakak juga. Jadi wanita karir sukses du
Raden mencoba melepaskan dasi biru tua dengan sedikit kasar. Akhir-akhir ini ada banyak urusan pekerjaan yang membuat lebih lelah dibanding biasanya. Hatinya juga merasa gelisah seakan-akan ada suatu hal yang salah telah terjadi. Drrrtt! Drrrtt! Tanpa melihat siapa peneleponnya, Raden langsung menerima panggilan masuk tersebut. "Siapa ini?" "Raden." Ini adalah suara Anna. "Kenapa?" Dasinya berhasil terlepas dari leher dan ia gulung untuk ditaruh di tempat khusus dasi. "Apakah sekali saja kamu pernah menginginkanku?" tanyanya dari seberang sana. Pertanyaan acak macam apa itu? "Memangnya perlu kujawab--" "JAWAB SAJA!" Teriakan Anna benar-benar membuat gendang telinga Raden sakit. Namun, hal ini membuat hati Raden benar-benar bergemuruh. Meski kini di badannya hanya tersisa kemeja putih polos dan celana kerja yang masih rapi, Raden bergegas keluar dari kamar dan rumahnya. "Apa? Ulangi pe
Seharusnya semua telah berakhir. Seharusnya ia tidak lagi menarik nafas. Seharusnya tidak ada lagi cahaya lampu yang menyinari matanya. Seharusnya begitu. Akan tetapi, kenapa untuk mengakhiri hidup saja ia tidak bisa melakukannya? Sebuah kekecewaan langsung menghampiri ulu hatinya saat ia membuka mata dan mendapati langit-langit rumah sakit. Anna mencoba mengangkat tangan dan mendapati bagaimana telapak tangan mungilnya telah menjadi telapak tangan besar milik Raden. "Jadi ... aku kembali tertukar lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tentu saja tidak akan ada orang yang bisa menjawab hal itu. Anna menghela nafas lemas. Pada akhirnya dia tidak diperbolehkan semesta untuk menghadapi ajalnya sendiri. "Memangnya dosa besar apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai pintu mautku pun tertutup?" "Pak Raden!" seru seseorang yang kembali setelah mendengar hasil analisa dokter. "Tadi anda pingsan di depan pintu rumah, kami jadi khawatir dengan kondisi kes
"Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Laila kepada Raden--lebih tepatnya Anna--yang saat ini baru saja memuntahkan isi perut setelah mendatangi rapat. Ini sangat aneh, tidak biasanya si Bos terlihat pucat saat memasuki ruangan rapat, tidak berbicara apapun, dan ketika kembali malah langsung muntah di toilet. Hal ini malah mengingatkan Laila pada demam punggungnya saat baru menjadi sekretaris. Namun, tidak mungkin tiba-tiba Raden mengalami demam panggung, kan? Raden keluar dan mendudukkan diri di sofa abu-abu empuk. Tangannya terus memijat dahi lantaran rasa pusing tidak segera menghilang. Sedangkan Laila menjadi sekretaris yang gesit untuk memberikan minyak angin kepada Raden. "Kelihatannya Bapak tidak enak badan hari ini. Bukankah lebih baik Bapak pulang saja daripada memaksakan diri seperti ini?" Anna menggeleng, menolak tawaran Laila. Sebentar lagi adalah jam pulang, maka dia masih mampu untuk bertahan sampai jam pulang tiba. "Bapak tidak akan lembu
Untuk kembali ke tubuh masing-masing tanpa bertele-tele, mereka melakukan ciuman cepat di dalam mobil. Setelah itu, tiga hari kemudian ada kedatangan seorang psikiater ke rumah Anna. Persis dengan janji Raden di hari itu. Tentu saja Anna menolak, dia tidak ingin bertemu sama sekali. Obat-obatan tidak akan berhasil menyembuhkan luka kehidupannya. Untuk apa Raden bersikeras untuk sesuatu yang sia-sia? Namun, Anna sadar bahwa Raden melakukan itu karena dia memang tidak mengerti keadaan sang istri yang sebenarnya. Raden memaksakan pikirannya yang berkata tindakan itu adalah hal baik, tanpa memedulikan pendapat Anna sama sekali. "Kumohon, setelah ini jangan datang lagi. Anggap saja aku memperbolehkanmu untuk makan gaji buta," ujar Anna kepada psikiater yang berkacamata itu. Dengan tatapan yang memelas, sang psikiater menghela nafas. Dia sudah mencoba agar bisa berbicara dengan Anna, tapi yang didapatkannya adalah penolakan terang-terangan. Masalahnya, jika