Bab 157. Alisya Membeli Perusahaan Alina? “Iya, kamu, kan tahu aku dan Mas Robert sama sekali enggak paham tentang perusahaan, apalagi mengelolanya. Pabrik ini juga aku jual ke kamu, kan? Ini juga begitu,” ucap Tiara menjelaskan.“Lho, maksudnya bagaimana ini, aku enggak paham!?”“Tolong, kamu yang bayari dana milik keluarga Mbak Dinda, nah saham di perusahaan yang sudah terlanjur ditanamkan oleh Mas Ardho menjadi milik kamu. Perusahaan mertua kamu itu tak sanggup mengembalikan dana Mas Ardho, ya, kepemilikan perusahan itu jatuh ke tangan kamu, dong. Kebetulan sekali, bukan? Perusahaan milik mertua kamu itu enggak akan jatuh ke tangan orang lain, tapi ke tangan kamu! Seenggaknya putra kamu si Bima, kelak masih punya peninggalan perusahaan nenek buyutnya.”“Begitu, ya? Tapi, Mas Ardhonya setuju enggak?”“Kan, kami memang udah mufakat begitu! Di depan keluarga istrinya, juga di depan papa. Tolong, ya, Sya! Aku enggak tau mesti minta tolong ke siapa lagi. Cuma kamu teman aku yang
Bab 159. Perintah Alina Kepada Raja“Selamat datang, Bu Alisya! Kami siap bekerja di bawah pimpinan Ibu!” serempak semua karyawan berikrar.Alina terpana. Alisya, wanita yang sangat dia benci disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh karyawan. Karyawan yang kemarin maish menjadi bawahannya. Orang-orang yang kemarin masih begitu menghormatinya.Tetapi hari ini tak satupun yang memperdulikan dirinya. Pantas tadi saat dia memasuki ruangan, semua menatap aneh terhadapnya. Bahkan wanita itu berniat memberi pelajaran kepada para karyawan yang dia anggap tak tahu sopan santun itu.“Selamat datang, Bu Dirut! Silahkan duduk!” Ardho menunjuk kursi empuk untuk Alisya. “Mas, ini … kenapa Bu Alina ada di sini dan, kenapa dia diperlakukan seperti ini? Lepaskan tangannya, Pak Satpam!” perintah Alisya kepada dua orang security yang masih mencekal lengan Alina.“Ibu ini hendak membuat kekacauan, Bu Dirut! Saya sudah memintanya baik-baik untuk keluar. Tetapi, dia tak mengindahkan. Terpaksa dia d
Bab 160. Deva di Kos-an Mona“Masih sakit perutnya?” tanya Mona seraya mengehenyakkan bokongnya di sisi kasur ketika melihat Deva mulai bergerak pelan. “Satu malaman Bapak merintih, lewat subuh tadi baru terlelap. Sekarang Bapak harus sarapan, saya sudah belikan bubur di warung depan! Saya suapin, ya!” bujuknya. Deva mengucek mata, lalu menatap gadis itu dengan lesu.“Saya bantu duduk dulu!” saran Mona memegang kedua bahu Deva.“Aku malas makan, aku juga malas untuk bernafas! Kenapa aku tidak mati saja! Kenapa aku masih hidup?” lirih Deva, menepis kedua tangan Mona di bahunya.“Bapak putus asa banget, ya! Saya udh capek ngebujuk Bapak dari kemarin. Dibeliin makan malam, disentuh pun tidak. Terserah Bapak, deh! Tapi, Bapak enggak boleh mati di kamar saya! saya bisa terjerat masalah, dong!” sergah Mona mulai putus asa.“Aku enggak mau hidup lagi, Mona! Kalau kau keberatan aku mati di sini, baik, aku akan pergi!” Deva segera bangkit, namun tubuhnya kembali ambruk. Pria itu meringi
Bab 161. Direktur Utama Baru Itu Adalah Alisya“Bapak mau ke kantor?” Mona membuyarkan lamunan Deva.“Aku ragu, Mon,” sahut Deva menghela nafas panjang.“Pergilah, siapa tahu kehadiran Bapak memang betul-betul diharapkan. Bapak mandi dulu, saya siapkan air hangat!”“Terima kasih, Mona!”*Taksi yang dipesankan oleh Mona untuk Deva memasuki halaman gedung perkantoran berlantai empat. Deva keluar dari sana. Mengedarkan pandangan mencari keberadaan Raja.“Mas!” Yang dia cari menyapa.Deva menoleh. Raja dan Alina berjalan menghampiri. Hati Deva sedikit terenyuh saat melihat mata bengkak dan wajah sembab Alina. Terlihat jelas sang mama sedang begitu kecewa dan menderita. Tetapi, rasa kecewa di hati Deva akibat perbuatan sang bunda jauh lebih besar. Karena perbuatan sang Mama, Deva kehilangan istri dan anak-anaknya. Ini teramat sulit untuk dia maafkan begitu saja.“Deva, apa kabar, Nak?” sapa Alina dengan suara sengau. Jelas terdengar kalau wanita itu sedang menanan tangis yang tersen
Bab 162. Penolakan Alisya, Alina Terkapar“Ka-kamu? Kamu di sini, Sya?” Raja yang melangkah masuk pertama kali. Deva masih membeku di posisi berdirinya. Menatap tak percaya wanita di hadapannya.Sebuah lengkungan terbentuk di bibir ranum Alisya. Senyum segar mekar di sana. Sama sekali dia tak terkejut akan kedatangan para mantan keluarga suaminya. Setelan blezer berwarna kuning gading senada dengan rok sebatas lutut dengan warna senada menambah anggun penampilannya. Aroma parfum berbau lembut khas miliknya menguar antara ada dan tiada. Itu aroma khas Alisya. Deva sudah sangat hapal.Kelembutan yang membuat hati pria itu kembali membuncah. Aroma khas yang akan dia yakini milik Alisya saat dia memeluk sang istri dari belakang, seperti biasanya. Alisya akan meronta manja, berbisik bahwa ini adalah kantor. Lalu Deva mengencangkan pelukan, bahkan menambah serangan dengan mengecup lembut tengkuk dan mengulum halus daun telinga wanitanya.“Mas, nakal … ih …!” Alisya akan menggelinjang,
Bab 163. Permintaan Luna“Terima kasih, Pak Arul! Jangan lupa nanti siang jemput Non Rena, ya!” titah Alisya seraya turun dari mobil. Mobil mewah milik Damar. Mobil itu menepi di halaman gedung perkantoran di mana kantor Alisya kini berada. Kantor perusahaan yang telah dengan resmi dia kuasai. Tiga hari yang lalu dia mengudang seluruh pemegang saham perusahaan, dan dia dinobatkan sebagai Direktur Utama di perusahaan itu.“Baik, Bu.” Sang supir mengangguk patuh.Alisya melangkah masuk menuju gedung. Namun, segera terhenti. Seseorang menghentikan langkahnya.“Maaf, selamat pagi! Boleh meminta waktunya sebentar, Mbak?”Alisya menoleh. Seorang wanita cantik tersenyum begitu ramah ke arahnya. “Selamat pagi, hay … apakah kita saling kenal?” sapanya balas tersenyum tak kalah ramah.“Mbak belum kenal saya, tapi saya sangat mengenal Mbak,” jawab gadis itu seraya mengulurkan tangan.“Mbak Luna … Mbak di sini?” Belum sempat Alisya menjabat tangan terulur itu, tiba-tiba Pak Arul keluar dari
Bab 164. Deva Mengemis Kepada Alisya“Alisya, Mama makin parah.” Deva tiba-tiba muncul di hadapan Alisya. Wanita itu mengernyitkan kening. Benaknya sibuk berfikir, kenapa keluarga mantan suami masih saja membayang-bayangi dirinya. Apa hubungan anatar dirinya dengan kondisi kesehatan Alina? Toh, dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi keluarga itu.“Sya!” Deva kini berdiri tepat di sampingnya. “Mama mengalami pecah pembuluh darah, dia harus segera dioperasi. Kata Dokter besar kemungkinan Mama akan mengalami stroke seperti dulu. Meski begitu, tindakan operasi harus segera dilakukan,” ucap Deva lagi dengan wajah mendung.“Maaf, Pak Deva. Sebelumnya saya mengucapkan bahwa saya turut prihatin. Dan selanjutnya saya ingin menegaskan bahwa saya tidak ada hubunganya dengan kondisi kesehatan ibu Anda. Saya bukan dokter, dan sedang sibuk, permisi!” Alisya melempar seuntai senyum, dingin. Lalu melangkah menuju lif.“Tunggu, Sya!” Deva buru-buru mengejarnya. Dua orang security yang mengawasi sej
Bab 165. Hubungan Terlarang Fajar“Kamu berhasil?” Mawar menyambut kedatangan putri sambungnya. Sonya baru saja pulang dari kantor Alisya, meminta dicairkan kepemilikan saham di perusahaan itu. Meski jumlahnya hanya lima belas persen, namun kalau diuangkan totalnya cukup besar. Sebagai istri sah Rahman, Mawar merasa berhak mendapat bagian juga meski itu adalah harta warisan dari keluarga Rahman.“Belum cair, Ma. Alisya berjanji akan mencairkannya akhir bulan ini,” jawab Sonya berjalan masuk dan langsung menuju kamarnya. Sempat wanita itu melirik ke sudut teras, Fajar menatapnya dari sana. Sonya menggerakan telunjuk, memberi kode agar Fajar mengikutinya ke kamar. Namun, pria itu tak bisa berkutik, ada Mawar di dekatnya. Tak ingin mengambil resiko ketahuan, kalau dirinya ternyata pasang dua. Ibu dan anak dipacari sekaligus.“Lho, ini masih awal bulan, kenapa lama sekali? Masa iya, kita harus menunggu satu bulan?” protes Mawar mengekori Sonya.“Alisya baru saja membayari saham Pak