Aku hilir mudik di kamar. Memikirkan solusi lain atas nasib benih di perut ini. Ada dua hal yang terlintas dalam benak. Pertama, aku minta saja Andini menggagalkan pertunangan dengan Nata. Dan setelahnya aku bisa menjadi peri penghibur yang akan membuatnya melupakan si bodoh itu. Tentu saja dengan begitu pernikahan aku dengannya bisa dipercepat.Solusi yang kedua, aku harus menggugurkan benih ini. Hanya saja tidak boleh ketahuan Burhan. Aku agak sangsi dengan ide kedua ini. Selain takut, tidak semua kehamilan bisa digugurkan.“Pokoknya aku mau Nata hanya menikah denganku. Suruh Andini memutuskan pertunangan mereka, Ma.” Aku merengek pada Mama. Bahkan pada bapak juga. Apapun caranya, mereka harus pisah.Aku, Mama, dan bapak merongrong Andini untuk memutus pertunangan itu. Sayangnya gadis bodoh itu malah melawan. Entah apa yang dikasih Nata. Andini malah menantangku untuk merebut cinta Nata. Sungguh kurang ajar. Wanita yang kemarin tunduk di depan kakiku itu kini berdiri tegak dengan me
KETIKA MAS GAGAH TIBA 13POV AndiniLagi enak-enaknya makan, Wulandari lari-lari ke dapur, lalu dia muntah-muntah di sana. Menghilangkan selera makan semua orang. Aku segera beranjak dari duduk, mengikuti Wulandari. Adik tiriku itu sedang menumpahkan isi perutnya di wastafel. Semakin meruncing saja kecurigaanku.“Kamu kenapa Wulan?” Aku mendekatinya. Dia tidak menjawab hanya menunjukkan telapak tangan.“Diam di sana! Aku mual melihatmu,” serunya kemudian. Bersamaan dengan itu, Bu Hamidah menghampiri. Mengernyit atas kalimat Wulan barusan.“Kenapa, Wulan?” Raut ramah yang diperlihatkannya pada Wulan sejak tadi jadi berubah datar.“Aku sepertinya masuk angin, Bu.” Dia mulai menguasai diri.“Kamu tidak sedang hamil kan Wulan?” Aku menyelidik.“Ngaco kamu, Mbak,” katanya dengan nada sengit.Wulandari mengusap wajahnya dan menempelkan telapak di jidat.“Sini pakai minyak angin kalau kamu sakit.” Bu Hamidah jalan ke depan. Wulandari dan aku mengikuti.“Diolesi pakai minyak angin adikmu, And
Lewat Dzuhur, Nata membawaku ke sebuah bendungan tempat rekreasi yang ada di kabupaten kami. Tempat yang sering dia gunakan untuk latihan dayung.Aku dan dia duduk di tepian danau. Menyimpan bokong pada rerumputan hijau. Menatap hamparan air tenang tanpa ombak. Embus anginnya cukup besar.“Jadwal tandingku sudah turun, Burik.” Lelaki gagah itu bicara tanpa melihatku. Dua netranya lulus ke depan memandang air.“Kapan?”“Sebulan lagi.”“Jadi Mas mau segera pergi?”“Ya, minggu ini aku berangkat.”Aku terdiam beberapa saat. Kehilangan Nata seperti kehilangan pijakan untuk berdiri. Kehadirannya bukan hanya sebagai pengisi hati, tapi dia membentukku lebih kuat.“Aku hanya bisa mendoakan,” kataku bersama rasa hampir kehilangan. Aku menunduk memandang rumput. Tanpa Nata, akan seperti apa jadinya.“Aku tidak akan lama.” Lanjutnya kemudian. Nata mengambil batu dan melemparkannya di danau sana.“Sekarang aku tidak kerja karena ambil dispen untuk tanding. Kalau tanding selesai, aku harus balik ka
Aku dan Nata berjalan di pinggir danau. Menikmati embusan angin dan pemandangan asri. Di ujung sana, bendungan membentang kokoh.Setiap kali melewati medan curam, tangan Nata sigap menggenggam tanganku. Selalu ada desir bersama jari yang tertaut. Indah serupa dipayungi berjuta warna pelangi. Pria gagah yang menunjukkan cinta dengan cara sederhana ini begitu melindungi.“Mas. Tadi Wulan muntah-muntah. Bukankah itu semakin menunjukkan kalau dia hamil.” Aku mengangkat rok dan menaiki batu yang cukup besar. Nata mengulurkan tangannya, menarikku naik.“Entah lah. Aku tidak pernah memikirkan dia.”Di atas batu besar ini, Nata bertolak pinggang. Menghela napas panjang. Kelopak matanya memicing melihat ke kejauhan. Cahaya mentari sudah belok ke barat.“Aku hanya kepikiran, siapa yang menghamilinya. Kenapa dia ngotot banget deketin kamu? Kalau dia sudah punya pacar, harusnya fokus saja sama pacarnya. Tidak perlu sengaja datang ke rumah untuk mengambil hati ibu.”“Mungkin gak jelas siapa bapakn
Nata mengantarkanku ke rumah di sore hari. Seperti biasa, dia hanya sampai gerbang tidak mau masuk.Aku disambut kondisi bak kapal pecah begitu membuka pintu. Piring kotor bekas makan berserakan di meja ruang tamu. Nasi mengering menghiasi lantai bercampur dengan debu. Bantal sofa ada di mana-mana. Jemuran yang sudah kering teronggok di kursi. Sementara jemuranku sendiri belum ada yang mengangkat.“Semakin enak, ya, hidupmu.” Suara dingin itu terdengar dari ruang nonton. “Sudah jadi calon istri orang kaya lupa sama keluarga.” Lanjutnya.Tumben dia agak melow. Ke mana taringnya?Aku mengalihkan pandangan dari kondisi berantakannya ruang tamu. Memaksakan diri untuk abai. Kalau semua aku yang mengerjakan, mereka malah keenakan.Beranjak ke ruang nonton, aku melihat wanita yang sedang memainkan ponsel itu. “Bagaimana Wulan? Tadi dia muntah-muntah di rumah Nata.” Aku sengaja bilang begitu untuk memberinya informasi.“Kamu itu, ya, Andini. Tahu Wulan tidak pernah masak. Malah kamu suruh dia
KETIKA MAS GAGAH TIBA 15POV Bu SumarniAku menarik Wulan dari gadis kesetanan itu. Kurang ajar Andini, berani-beraninya dia melukai buah hatiku.“Aku pastikan kalian keluar dari rumah ini tanpa harga diri sama sekali!” katanya murka.Andini sepertinya tidak bisa menguasai diri, dari pada terjadi keributan yang lebih parah dan malah aku yang kalah, kutarik Wulan untuk menjauh. Aku akan pakai cara lebih apik dari pada hanya sebatas bertengkar.Aku membawa Wulan masuk kamar. Buah hatiku itu menangis tergugu. Kasihan sekali, ikut perih aku mendengar tangisannya. Kuraba wajah itu dan kusingkap pipinya, jejak telapak membekas di sana, kulitnya bahkan terlihat berdenyut.Kurang ajar kamu Andini, akan kubalas lebih parah dari ini. Berani-beraninya dia. Aku saja tidak pernah melukai Wulan.“Sakit, Ma.”“Iya, sayang. Mama tahu pasti sakit.”Tanganku terkepal. Dendam membara. Aku tidak akan tinggal diam.Aku mengambil baskom kecil, es dan air. Anak tiri bodoh itu masih ada di ruang makan member
Menit-menit berlalu. Gadis cantikku ini mulai tidur lelap. Darahku berdesir setiap kali melihat jejak di pipinya. Aku meraba kening Wulandari. Boleh saja dia sudah dewasa, bagiku dia tetap anak-anak.Bersama malam yang semakin pekat, aku merajut kenangan.Tidak akan pernah terhapus dari ingatan kejadian belasan tahun silam. Saat itu usia Wulandari baru kelas dua SD. Aku mendapati bapaknya selingkuh dengan wanita lain. Setahun lamanya kami ada dalam debat kusir tidak bertepi. Bertengkar setiap hari.“Aku selingkuh karena sipatmu juga, Ma. Sudah bosan aku hidup bersamamu.” Darman teriak dan bersumpah serapah. Dia baru saja mengakui perselingkuhannya.“Begitu. Kamu lebih memilih jalang itu dari pada aku dan Wulan?”“Ya, aku memilih dia yang bisa menghargaiku dari pada kamu yang tidak pernah bersyukur!” Darman mengambil tas dan mengemasi pakaiannya. Wulandari yang saat itu sudah berada di bangku kelas 3 SD tentu saja paham kalau bapaknya akan pergi. Dia menjerit memeluk pinggang Darman. “
KETIKA MAS GAGAH TIBA 16POV Andini“Andini!” Suara teriakan bapak menggelegar dari depan kamar utama. Sudah pastilah bapakku menerima hasutan dari Bu Sumarni. Tidak mengapa. Aku sudah siap dengan semuanya.Setiap orang tentu ingin hidup tenang dan damai. Menjalani hari-hari dalam kerukunan. Tetapi beginilah nasib hidupku. Harus seatap dengan manusia berhati iblis.Mengalah. Sudah sejak lama. Sabar. Sudah dari dulu. Sekarang waktunya aku pasang badan untuk bertahan.Terbayang dalam benak akan seperti apa bapak marahnya malam ini. Mungkin dia akan menamparku sama seperti yang kulakukan pada Wulan. Bahkan mungkin mengusir dan membuang semua pakaianku. Wajar, mengalah saja aku masih disalahkan apa lagi jelas-jelas melawan begini.Aku berjalan menghampiri bapak dengan langkah hati-hati. Segelas kopi panas dan air putih kubawa turut serta dalam nampan.Aku bukan orang yang pandai mengendalikan diri. Selama ini hanya menjadi si gadis terpuruk yang selalu mengalah. Baru sekarang ini bisa mel