Selesai membuat sarapan pagi, aku tergerak untuk masuk kedalam kamar. Suamiku masih tertidur pulas di ranjang padahal sudah hampir pukul tujuh pagi. Nampaknya Mas Yoga terlalu lelah akibat beban pikiran yang ditanggungnya semalam.Aku pun mengguncang pelan tubuh suamiku seraya memanggil namanya."Mas Yoga, bangun, Mas. Nanti telat masuk kantor," ucapku menggoyang pelan tubuhnya. Mas Yoga tak kunjung merespon panggilanku. Dengkuran halus yang keluar dari bibirnya menandakan bahwa ia tidur dengan sangat pulas.Tak ingin menyerah, aku terus saja mengguncang tubuh suamiku. Berusaha membuatnya terbangun supaya tidak terlambat masuk kantor."Bangun, Mas, kalau telat nanti dapat surat teguran," bisikku di telinganya. Dan cara terakhirku ini ternyata sukses membuahkan hasil. Perlahan Mas Yoga bergerak. Matanya masih menyipit dengan raut yang lesu saat menatap kedua bola mataku."Kenapa berisik sekali? Aku masih ngantuk," protesnya seraya duduk menyandar di ranjang."Ini sudah hampir jam tujuh
Bingung, itulah yang kurasakan saat ini. Panggilan wawancara dari Bu Fitri bagaikan seberkas cahaya yang menyinariku di dalam kegelapan malam. Dan jujur aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Aku menyandarkan kepala di sofa sambil berpikir. Tak ada jalan keluar lagi. Aku akan mencoba minta tolong kepada Bu Siti. Bila takdir mengizinkan aku pergi, maka Bu Siti pasti bersedia menjaga putra kesayanganku. Namun bila dia menolak, aku lebih memilih bersama Zidan dan melepaskan pekerjaan itu. Aku menyambar amplop coklat yang berisi berkas lamaran lalu menggendong Zidan. Setelah mengunci pintu, aku berjalan menuju ke rumah Bu Siti. Zidan tidak banyak bergerak selama perjalanan. Nampaknya ia turut merasakan kegelisahan di dalam hati ibunya. Ketika aku sampai, Arif sedang berada di halaman rumahnya. Kulihat di bagian depan motor Arif tergantung tumpukan kardus yang diikat dengan rafia. Nampaknya ia hendak bersiap mengantarkan pesanan kue kepada pelanggan Bu Siti. Mendeng
"Saya sangat terkesan dengan apa yang kamu lakukan, Arista. Tanpa disuruh, kamu langsung membantu saya meskipun kita tidak saling mengenal. Saya bisa merasakan ketulusanmu dalam menolong orang lain," puji Pak Darmawan.Aku merasa kikuk sekaligus tersanjung mendengar pujian dari orang sehebat Pak Darmawan. Pastilah Pak Darmawan sudah banyak memakan asam garam kehidupan, sehingga dengan mudah bisa membedakan mana orang yang tulus dan mana yang munafik."Terima kasih, Pak," ucapku setengah menunduk."Sejak saya tahu kamu melamar pekerjaan di bagian finance, saya merasa kamu cocok menduduki posisi itu. Saya memang membutuhkan karyawan yang jujur dan tulus untuk mengelola keuangan perusahaan. Pagi tadi saya sudah melihat hasil psikotestmu. Dan saya memintamu untuk menuliskan surat lamaran kerja agar karaktermu lebih terlihat."Pak Darmawan meraih kaca mata baca di meja lalu memegang surat lamaranku. Kemudian ia mengambil kertas lain dan membuat beberapa coretan dengan penanya. Dari gerak g
Aku meradang mendengar tuduhan Mas Yoga yang tak berdasar. Entah apa yang merasukinya sehingga tega menganggap istrinya sendiri melakukan hal yang tidak benar demi mendapatkan pekerjaan. Apakah seburuk itu pendapatnya tentang diriku.Tanpa sadar suaraku mulai serak karena menahan rasa pilu."Apa maksud Mas bicara begitu? Mas pikir aku merayu orang supaya diterima bekerja? Selama wawancara aku hanya bertemu dengan dua orang, Bu Fitri dan Pak Darmawan," ucapku menahan diri agar tidak menangis. Sudah cukup air mataku tumpah karena Mas Yoga. Mulai sekarang aku harus menjadi perempuan yang tegar dan bisa membela diri.Bukannya merasa bersalah atas tuduhannya, Mas Yoga malah semakin curiga."Siapa itu Pak Darmawan?""Dia direktur utama PT. Sejahtera, usianya sudah enam puluhan.""Kamu pikir aku bodoh. Mana mungkin direktur mau mewawancarai calon staf biasa?" decih Mas Yoga."Tapi kenyataannya memang begitu. Aku tidak sengaja menolong Pak Darmawan saat dia menjatuhkan dokumen di lobi. Waktu
Hawa dingin serasa merayap di seluruh tubuhku. Tak henti-hentinya aku membaca ulang isi pesan tak bernama itu. Di dalam keremangan, aku mencoba menenangkan diri sendiri. Mungkinkah si pemilik nomer salah mengirimkan pesannya kepadaku? Tapi jika ditelisik dari kata-katanya sepertinya pesan ini memang ditujukan untuk Mas Yoga. Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di kepalaku seperti gasing. Bila firasatku benar lalu siapa sesungguhnya orang ini? Kenapa dia memberikan ancaman tanpa mencantumkan nama? Dan yang paling membuatku risau, dari mana dia mendapatkan nomer ponselku? Saat aku masih menerka-nerka jawabannya, ponselku mendadak mati. Pasti penyebabnya karena daya baterai ponselku sudah habis total. Tak ayal kegelapan total menyelubungi aku saat ini. Tanpa setitik cahaya, aku merasa kehilangan oksigen di dalam paru-paru. Napasku pun terdengar pendek dan tersengal-sengal. Bagaikan ikan kekurangan air, aku megap-megap dalam kegelapan pekat ini. Tanganku menggapai ke udara kosong,
Pertanyaan Mas Yoga membuatku tak mampu berkata-kata. Cincin pernikahan adalah simbol cinta dan keterikatan suci antara suami dan istri. Namun sekarang Mas Yoga malah berpikir untuk menjualnya. Sungguhkah ini jalan terakhir bagi kami?"Rista, bagaimana?" tanya Mas Yoga menyentakku dari lamunan.Aku masih dilanda kebimbangan yang luar biasa. Kini aku dihadapkan pada dua pilihan sulit, antara mempertahankan lambang pernikahanku yang sarat akan kenangan, atau membiarkan suamiku dilaporkan kepada polisi. Aku tak bisa main-main dalam hal ini. Aku harus berpikir matang supaya tidak menyesal di kemudian hari."Aku...setuju, Mas," jawabku dengan berat hati. Untuk menyelesaikan suatu masalah terkadang kita harus rela kehilangan sesuatu."Kalau begitu aku akan menjualnya besok pagi. Aku janji begitu punya uang, aku akan membelikanmu cincin baru yang lebih bagus."Aku mengangguk pelan kendatipun aku menolak percaya pada janji Mas Yoga. Bukannya menghina, tetapi mengingat pinjaman Mas Yoga yang m
Dian, kata-katamu tidak sopan! Tahu apa kamu soal rumah tanggaku? Jangan asal menuduh kalau kamu tidak tahu apa yang terjadi," sentakku tersulut emosi. "Tapi aku kenal Kak Yoga lebih lama dari Mbak Rista. Mas Yoga itu selalu menjaga harga diri," kilah Dian."Kamu pikir manusia tidak bisa berubah? Kalau kamu mau bukti aku merongrong kakakmu atau tidak, tanyakan saja pada Mas Yoga. Dan tanyakan sekalian apa dia pernah meminjam uang kepada orang lain."Daripada sibuk membela diri, lebih baik aku menantang Dian untuk bicara dengan kakaknya. Apabila nantinya aku terbukti tidak bersalah, dia pasti akan malu sendiri. Dian kembali menanggapi perkataanku tetapi kini dengan nada yang lebih rendah. "Andaikata benar Kak Yoga sampai nekat berbuat begitu, pasti karena desakan kebutuhan. Mbak Rista harusnya bantu Kak Yoga dong. Kerja apa kek gitu, jangan diam saja di rumah. Istri zaman sekarang harus bisa cari duit juga, Mbak, jangan cuma minta uang terus kepada suami."Lidah anak ini benar-benar
Tanpa menghiraukan intimidasi yang diberikan Mas Yoga, aku memeluk Zidan. Aku sangat menyayangi putra semata wayangku ini. Namun aku sadar bahwa rasa sayang saja tidak cukup. Apabila aku terus berada di rumah, bagaimana aku bisa memberikan makanan bergizi dan pendidikan yang bagus untuk Zidan? Tidak, aku tidak boleh menyerah sebelum bertanding. Untuk sementara waktu, aku harus belajar mengesampingkan perasaanku. "Kita ke rumah Bu Siti sekarang, Mas," ujarku mantap. "Kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" "Iya, aku yakin," jawabku berjalan menuju pintu. Melihat pendirianku yang tidak bisa lagi digoyahkan, Mas Yoga akhirnya menyerah. Ia pun mengantarkan aku ke rumah Bu Siti dengan motornya. "Bu, titip Zidan ya. Ini untuk makan siang dan makan malam Zidan," ucapku menyerahkan tas besar berisi makanan dan camilan. Aku sengaja bangun di saat subuh untuk memasak makanan bagi Zidan. Aku harus menyiapkan semua keperluan putraku agar Bu Siti tidak kerepotan. "Iya, Rista. Jangan khaw