Aku meradang mendengar tuduhan Mas Yoga yang tak berdasar. Entah apa yang merasukinya sehingga tega menganggap istrinya sendiri melakukan hal yang tidak benar demi mendapatkan pekerjaan. Apakah seburuk itu pendapatnya tentang diriku.Tanpa sadar suaraku mulai serak karena menahan rasa pilu."Apa maksud Mas bicara begitu? Mas pikir aku merayu orang supaya diterima bekerja? Selama wawancara aku hanya bertemu dengan dua orang, Bu Fitri dan Pak Darmawan," ucapku menahan diri agar tidak menangis. Sudah cukup air mataku tumpah karena Mas Yoga. Mulai sekarang aku harus menjadi perempuan yang tegar dan bisa membela diri.Bukannya merasa bersalah atas tuduhannya, Mas Yoga malah semakin curiga."Siapa itu Pak Darmawan?""Dia direktur utama PT. Sejahtera, usianya sudah enam puluhan.""Kamu pikir aku bodoh. Mana mungkin direktur mau mewawancarai calon staf biasa?" decih Mas Yoga."Tapi kenyataannya memang begitu. Aku tidak sengaja menolong Pak Darmawan saat dia menjatuhkan dokumen di lobi. Waktu
Hawa dingin serasa merayap di seluruh tubuhku. Tak henti-hentinya aku membaca ulang isi pesan tak bernama itu. Di dalam keremangan, aku mencoba menenangkan diri sendiri. Mungkinkah si pemilik nomer salah mengirimkan pesannya kepadaku? Tapi jika ditelisik dari kata-katanya sepertinya pesan ini memang ditujukan untuk Mas Yoga. Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di kepalaku seperti gasing. Bila firasatku benar lalu siapa sesungguhnya orang ini? Kenapa dia memberikan ancaman tanpa mencantumkan nama? Dan yang paling membuatku risau, dari mana dia mendapatkan nomer ponselku? Saat aku masih menerka-nerka jawabannya, ponselku mendadak mati. Pasti penyebabnya karena daya baterai ponselku sudah habis total. Tak ayal kegelapan total menyelubungi aku saat ini. Tanpa setitik cahaya, aku merasa kehilangan oksigen di dalam paru-paru. Napasku pun terdengar pendek dan tersengal-sengal. Bagaikan ikan kekurangan air, aku megap-megap dalam kegelapan pekat ini. Tanganku menggapai ke udara kosong,
Pertanyaan Mas Yoga membuatku tak mampu berkata-kata. Cincin pernikahan adalah simbol cinta dan keterikatan suci antara suami dan istri. Namun sekarang Mas Yoga malah berpikir untuk menjualnya. Sungguhkah ini jalan terakhir bagi kami?"Rista, bagaimana?" tanya Mas Yoga menyentakku dari lamunan.Aku masih dilanda kebimbangan yang luar biasa. Kini aku dihadapkan pada dua pilihan sulit, antara mempertahankan lambang pernikahanku yang sarat akan kenangan, atau membiarkan suamiku dilaporkan kepada polisi. Aku tak bisa main-main dalam hal ini. Aku harus berpikir matang supaya tidak menyesal di kemudian hari."Aku...setuju, Mas," jawabku dengan berat hati. Untuk menyelesaikan suatu masalah terkadang kita harus rela kehilangan sesuatu."Kalau begitu aku akan menjualnya besok pagi. Aku janji begitu punya uang, aku akan membelikanmu cincin baru yang lebih bagus."Aku mengangguk pelan kendatipun aku menolak percaya pada janji Mas Yoga. Bukannya menghina, tetapi mengingat pinjaman Mas Yoga yang m
Dian, kata-katamu tidak sopan! Tahu apa kamu soal rumah tanggaku? Jangan asal menuduh kalau kamu tidak tahu apa yang terjadi," sentakku tersulut emosi. "Tapi aku kenal Kak Yoga lebih lama dari Mbak Rista. Mas Yoga itu selalu menjaga harga diri," kilah Dian."Kamu pikir manusia tidak bisa berubah? Kalau kamu mau bukti aku merongrong kakakmu atau tidak, tanyakan saja pada Mas Yoga. Dan tanyakan sekalian apa dia pernah meminjam uang kepada orang lain."Daripada sibuk membela diri, lebih baik aku menantang Dian untuk bicara dengan kakaknya. Apabila nantinya aku terbukti tidak bersalah, dia pasti akan malu sendiri. Dian kembali menanggapi perkataanku tetapi kini dengan nada yang lebih rendah. "Andaikata benar Kak Yoga sampai nekat berbuat begitu, pasti karena desakan kebutuhan. Mbak Rista harusnya bantu Kak Yoga dong. Kerja apa kek gitu, jangan diam saja di rumah. Istri zaman sekarang harus bisa cari duit juga, Mbak, jangan cuma minta uang terus kepada suami."Lidah anak ini benar-benar
Tanpa menghiraukan intimidasi yang diberikan Mas Yoga, aku memeluk Zidan. Aku sangat menyayangi putra semata wayangku ini. Namun aku sadar bahwa rasa sayang saja tidak cukup. Apabila aku terus berada di rumah, bagaimana aku bisa memberikan makanan bergizi dan pendidikan yang bagus untuk Zidan? Tidak, aku tidak boleh menyerah sebelum bertanding. Untuk sementara waktu, aku harus belajar mengesampingkan perasaanku. "Kita ke rumah Bu Siti sekarang, Mas," ujarku mantap. "Kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" "Iya, aku yakin," jawabku berjalan menuju pintu. Melihat pendirianku yang tidak bisa lagi digoyahkan, Mas Yoga akhirnya menyerah. Ia pun mengantarkan aku ke rumah Bu Siti dengan motornya. "Bu, titip Zidan ya. Ini untuk makan siang dan makan malam Zidan," ucapku menyerahkan tas besar berisi makanan dan camilan. Aku sengaja bangun di saat subuh untuk memasak makanan bagi Zidan. Aku harus menyiapkan semua keperluan putraku agar Bu Siti tidak kerepotan. "Iya, Rista. Jangan khaw
Begitu pintu lift terbuka, Pak Yanuar mendahului aku keluar dari lift. Aku mengekor dari belakang hingga sampai di sebuah ruangan dengan pintu berwarna putih. Dengan sekali dorong, Pak Yanuar berhasil membuka pintu yang terlihat berat itu.Ketika kami masuk, sontak semua mata memandang ke arah kami. Dan tentu saja yang paling diperhatikan adalah aku."Selamat pagi, Pak," seru beberapa orang staf."Pagi," jawab Pak Yanuar tergesa-gesa.Dari ekor mata, kulirik sekilas wajah para staf yang akan menjadi anak buahku. Mereka rata-rata masih muda dan berpembawaan tenang. Barangkali karena ini belum terhitung akhir bulan, sehingga mereka tidak terlalu tegang. Berbeda bila nanti menuju ke akhir bulan yang pastinya penuh dengan deadline yang mencekik."Saya mohon perhatian sebentar," ujar Pak Yanuar mendadak berhenti di tengah ruangan. Untung saja aku menjaga jarak dengannya. Bila tidak mungkin aku akan menabrak punggung Pak Yanuar.Para staf yang berjumlah tujuh orang itu langsung berdiri di m
“Dav, sebentar ya aku angkat telpon dulu,” ucapku pada Davina.“Iya, Bu, silakan.”Sebenarnya aku merasa tak enak hati karena harus menyela pembicaraan Davina. Namun aku tidak bisa mengabaikan telpon dari Bu Siti. Aku tidak mau menyesal di kemudian hari karena lebih mementingkan pekerjaan daripada putraku sendiri.Aku berjalan menjauh dari meja menuju ke sudut ruangan. Di sana ada rak tinggi yang sepertinya berisi dokumen-dokumen lama. Aku pun memilih tempat itu supaya percakapanku tidak didengarkan oleh staf yang lain.“Halo, Bu, maaf saya lama mengangkat telpon. Ada apa dengan Zidan? Apa dia sakit?” tanyaku was-was.“Justru Ibu yang minta maaf karena mengganggumu, Rista. Zidan sedang rewel.”Samar-samar kudengar suara tangisan Zidan dari balik telpon.“Rewel kenapa, Bu?”“Ibu sedang beli minyak goreng di warung sambil gendong Zidan. Dia nunjuk-nunjuk biskuit cokelat terus nangis. Boleh tidak Ibu membelikannya? Ibu takut kamu marah kalau Zidan jajan sembarangan,” tutur Bu Siti. Nada
Dadaku serasa tertusuk duri ketika mendengar ucapan Mas Yoga. Istri mana yang tidak akan terluka mendengar suaminya memberikan ultimatum sekeras itu. Apakah aku yang sudah keterlaluan kepada Mas Yoga sampai dia tersulut emosi?Aku sendiri dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pekerjaan ini mendesak untuk diselesaikan tetapi aku juga tidak bisa membiarkan Mas Yoga menunggu.“Rista, cepat putuskan!”“Aku pulang sendiri, Mas. Nanti aku naik ojek online. Tolong jemput Zidan di rumah Bu Siti,” jawabku tanpa ragu.Aku tidak ingin terbebani lagi oleh gertakan suamiku. Lebih baik pulang sendiri daripada makan hati. Lagipula tidak lama lagi aku juga harus terbiasa hidup mandiri tanpa kehadiran Mas Yoga.“Ya sudah, aku pulang sekarang.”Terdengar suara sambungan telpon yang dimatikan secara sepihak. Kembali hati ini berdenyut nyeri karena kelakukan suamiku. Di hari pertama, dia sudah uring-uringan apalagi nanti bila aku harus lembur sampai malam.Kucoba mengembalikan mood yang buruk dengan berkon