“Ada beberapa rekomendasi kampus yang memberikan beasiswa penuh untuk mahasiswa baru,” papar Ahsan. Dia memang sudah janji kepada Khair untuk memberikan rekomendasi kampus yang memiliki beasiswa penuh untuk program pasca-sarjana.
Beberapa kampus yang dipilihkan Ahsan adalah kampus negeri di sekitar Bandung, seperti UPI dan UIN. Beberapa kampus lain di luar kota juga Ahsan rekomendasikan untuk Khair. Dia bahkan, merekomendasikan juga kampus luar negeri yang mungkin cocok dengan minat Khair.
“Almamater saya dulu, bisa kamu lirik juga, loh. Di sana cukup nyaman. Lingkungannya pun cukup kondusif untuk belajar Islam. Tetapi, jika kamu ingin lebih dalam mempelajari tentang Islam, mungkin sebaiknya ke Timur Tengah saja, atau ke Mesir.”
Khair menarik kedua sudut bibirnya. Dia bahkan tidak pernah membayangkan bisa kuliah di luar negeri, sebab untuk kuliah di negeri sendiri saja tantangannya tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Kul
Dua hari kemudian, di pintu masuk kedai Khaira terpasang pita dan bunga-bunga. Di dalam kedai juga sudah terpajang dekorasi yang menghias dinding, atap, serta container booth. Tak hanya itu, di ujung ruangan yang menghadap langsung ke arah booth juga terpasang sebuah panggung kecil dari penyatuan beberapa meja caffe. Balon-balon yang diborong Khaira pun telah disebar di setiap sudut ruangan kedai. Ini semua ulah Riang dibantu Bi Ocih untuk mewujudkan sebuah ide gila, membuat pesta perayaan kelulusan Khair.Walaupun tertunda hingga berhari-hari, Riang rupanya tetap ingin memberi hadiah istimewa atas gelar Sarjana Pendidikan Islam yang baru disandang Khair.“Hari ini semua kopi gratis,” Riang mengumumkan itu dari atas panggung. Dia sudah menyewa sound system dan membawa gitar untuk mengisi acara hiburan dalam perayaan ini.Pengunjung mulai berdatangan, termasuk para ojol yang mengantri mengambil pesanan. Sementara Khair baru datang belakangan.&
“Tidak semua hal yang tidak kita sukai itu buruk. Terkadang kita hanya tak tahu itu baik atau bernilai baik karena tertutupi oleh ketidaksukaan kita sendiri,” ucap Ahsan.Khair menatap Ustaz Ahsan penuh tanda tanya. Pemikiran dosennya itu ternyata di luar dugaannya.“Ketika kamu nanti mendalami fiqih, kamu pasti akan menemukan begitu banyak perbedaan pendapat terkait suatu persoalan. Penilaiannya tidak bisa didasarkan kepada rasa suka atau tidak suka semata. Nanti kamu juga bisa pelajari sendiri perbedaan pendapat para ulama terkait seni dan sastra, termasuk pandangan mereka tentang musik. Itu PR buat kamu, Khair!” Ahsan tersenyum penuh makna.“Kirain kalau sudah lulus sidang munaqasah sudah tidak ada tugas apa-apa lagi dosen pembimbing,” canda Khair. Cair juga ketegangan yang sesaat lalu mencengkeramnya. Maka, tak disia-siakannya seteguk capuccinno dengan buih susu bertekstur agak tebal itu untuk menghangatkan suasana hatinya
“Sekarang, mari kita nikmati kopi dan lagu-lagu pilihan lainnya.” Suara Riang menggema kembali. Dia memutar beragam lagu hari itu. Ada nasyid kesukaan Khair sampai shalawat yang dipopulerkan grup musik kekinian, bahkan ada pula lagu barat dan lagu berbahasa lainnya yang bernafas islami. Khair sungguh dibuat takjub oleh gadis yang satu ini.“Saya senang melihat Riang merasa nyaman disini,” celetuk Ustaz Ahsan sambil memandang ke panggung tempat Riang berada.Khair mengernyitkan dahi. “Memangnya kenapa, Ustaz?”“Saya kenal dia dari cerita mama saya dan uminya Riang sendiri. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang dia. Dulu anak itu susah sekali diatur. Entah apa maunya. Disuruh kuliah tidak mau, disuruh kerja juga tidak mau. Hobinya kumpul-kumpul dengan beragam komunitas. Jiwanya bebas. Saya tidak sangka dia mau kerja di kedai kopi ini bahkan sambil kuliah pula,” tutur Ahsan.Khair membatin, “Jangan sampa
Akhir pekan yang cerah ditandai pagi yang indah. Cuaca sejuk dihiasi langit berawan. Mentari bahkan tak menyengat. Sinarnya menyemburat cantik diantara gumpalan awan bakkembang gula yang terserak di luasnya cakrawala. Khaira sudah menata rapi hijabnya di hadapan cermin yang menggantung di dinding kamar. Dia tidak punya meja rias karena tidak ada kosmetik atau alat make-up yang menuntutnya untuk memiliki benda itu. Terlebih, Khaira memang tidak mahir berdandan. Jangankan kosmetik mahal, bedak dan lipstik saja dia tidak pakai. Saat keluar kamar, Khair mengamati kakaknya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Tumben cakep. Teteh mau kemana?” tanya Khair kepo. Khaira mendelik. “Tumben cakep? Memang kemarin-kemarin enggak?” “Eh ….” Khair membekap mulutnya sendiri sambil cekikikan. “Maksud Khair, tumben Teh Khaira rapi, biasanya kan ….” Khaira mendelik lagi, “Biasanya apa?” “Hehe ….” Khair tidak berani meneruskan kalimatnya.
“Teh!” Khair menyodorkan kembang gula kapas berukuran besar, “Ibu selalu belikan ini untuk Khair dan Teh Khaira setiap ke taman hiburan.”Khaira yang sedang melepas lelah di sebuah kursi taman hanya menoleh sesaat. “Teteh enggak suka kembang gula.” Dia melepas pandang jauh ke cakrawala. Ekspresinya dingin seperti langit musim gugur yang segera berganti ke musim dingin.Awan di permukaan lazuardi tampak mengumpal serupa kapas kembang gula. Ingatan Khaira melayang ke sebuah momen di tengah pasar malam.Dia sangat iri kepada anak-anak kecil yang dengan riangnya menenteng kembang gula kapas sebesar bantal. Dia juga sangat menginginkan kembang gula kapas seperti punya mereka. Dia tertarik dengan warna dan bentuknya yang unik. Namun, nyatanya bukan itu yang menariklangkahnya mengikuti seorang anak pada malam itu.Khaira melihat anak itu dibelikan kembang gula kapas oleh orang tuanya. Anak itu tertawa gembira menyiratkan aura
“Khaira, Tante tungguin dari tadi siang? Mana sih kirimannya?” sentak Tante Inces lewat Voice note yang dikirim ke pesan WhatsApp Khaira.Gadis itu mendengarkannya setelah malam tiba, ketika Khair sudah terlelap tidur di kamar sebelah.Khaira: Khaira tidak punya nomor rekening, TanteTante Inces: Ya ampun. Hari gini? Kamu tuh, ya, dari dulu enggak ada kemajuan.Khaira: Bagaimana keadaan nenek sekarang?Tante Inces: Kalau kamu perduli, kirim uangnya secepat mungkin!“Astaghfirullah ….” Gumam Khaira. Seperti ada tali yang tiba-tiba menjerat lehernya hingga sesak menderanya. Dia jadi tidak bisa berpikir jernih dalam kondisi tertekan seperti ini.Tiba-tiba ponselnya berbunyi menampilkan panggilan dari sebuah nama yang sangat tidak asing baginya, Riang.“Assalamualaikum, Teh Khaira. Sudah tidur belum?” sapa gadis itu.“Belum, Yang. Ada apa?”“Stok bahan
Jantung Khair berdebar lebih kencang. Setelah berkeliling pasar dan tidak menemukan merek susu yang dicarinya, dia ditarik Riang ke sebuah tempat sejuk yang sayangnya malah membuat dadanya sesak. Riang membawanya ke sebuah super mall. “Biar belanjanya cepat, enggak muter-muter!” dalih Riang. Dia mengatakan sedang buru-buru karena sebentar lagi harus pergi ke kampus. Khair dengan patuh menurut, karena dia memang butuh. Dia bisa-bisa dijudesin Khaira jika tidak berhasil membawakan stok belanja pesanannya ke kedai. Meski demikian tetap saja Khair harus mengurut dada dan bersabar ketika Riang dengan santainya mencomot barang-barang dari rak display dan memasukkannya ke troli. “Hey, itu buat apa beli lotion sama face wash segala? Teh Khaira enggak pesen itu,” protes Khair. “Ini belanjaan aku dong,” sahut Riang cuek. “Kan biar kinclong di depan Khair. Eh …” Riang bermonolog dalam hati. “Terserah, deh, tapi jangan lupa stok buat kedai. Katanya mau ce
Begitu dia sampai di kedai dan membawa masuk semua belanjaan, pemuda itu langsung mencari keberadaan kakaknya. Namun, gadis berhijab yang biasanya berada di dalam booth itu tidak tampak. Bi Ocih lah satu-satunya orang yang ada di sana. “Bi, Teh Khaira mana?” tanya Khair kepada Bi Ocih. “Pergi keluar. Katanya ada urusan.” Khair gusar mendengarnya. Keningnya berkerut membuat alis yang lurus saling bertaut. “Pergi kemana, Bi?” “Neng Khaira enggak bilang.” “Sejak kapan perginya?” “Sudah agak lama sih. Setelah buka kedai, Neng Khaira dapat telepon terus pamit pergi,” tutur Bi Ocih. “Oh iya, dia titip ini!” Bi Ocih merogoh saku yang melekat di aprone-nya. “Buat bayar belanjaan Neng Riang. Kemana ya orangnya?” “Riang ke kampus dulu, nanti sore paling dia kesini.” Khair mengambil bangku untuk duduk. Lantas, dia mengeluarkan hape dari saku bajunya bermaksud menelepon ke nomor sang kakak. *** Di sebuah lobi hotel, h